Part 57 - Lelah

Tanpa kesimpulan,
Seperti itulah hubungan kita berakhir.
___

Kak Ken

Mata Nara menatap nanar pada ponselnya, atau lebih tepatnya pada chat terakhir yang ia kirim untuk Kenan.  Sudah dua hari lebih, dan pesan itu belum juga dibaca dan mendapat balasan. Lima bulan menunggu bukan waktu yang lama, ya, Nara punya stok kesabaran yang cukup banyak.

Dan semoga Kenan juga menunggunya jauh di sana.

"Awas!"

Nara merasakan kepalanya terkena sesuatu yang keras, namun tidak sampai melukai. Pekikan keras seseorang beriringan dengan ringisan sakit dari bibir Nara. Sebuah bola volly terlempar tepat pada kepala Nara.

Seorang murid laki-laki yang sejak tadi bermain volly di lapangan mendekat. Ini masih jam istirahat, kelas si murid itu mungkin akan mengikuti mata pelajaran olahraga setelah jam istirahat. Beberapa murid dari kelas itu tampak tidak sabar memulai pelajaran olahraga terlebih dahulu.

"Asssh," Nara merasakan kepalanya berdenyut. Ditambah rasa dongkol ketika sekumpulan murid perempuan yang duduk tidak jauh dari Nara menertawai dirinya. Dan beberapa warga sekolah yang melintas melirik-lirik pada Nara. Malu sudah pasti.

"Maaf, gue nggak sengaja," ujar si pelempar bola.

Nara melirik sinis. Entah kenapa air mata Nara tiba-tiba menggenang. Dia terlalu sensitif. Perasaan sedih karena Kenan bercampur dengan rasa malu dan sakit di kepala Nara.

"Errrr, maaf," ujar murid laki-laki itu lagi. Kemudian dia berlari menjauhi Nara, kembali melanjutkan permainan volly yang sempat tertunda.

Nara usap kepalanya, air mata itu pada akhirnya jatuh. Sesekali dia terisak. "Sakit banget."

Sekolompok perempuan yang duduk tidak jauh dari Nara curi-curi pandang padanya. Mereka tampak bergosip, lalu tertawa tidak jelas dan terkesan mengejek. Nara tahu, dia menjadi bahan becanda bagi orang-orang itu.

Nara usap air matanya dengan gerakan kasar, segera beranjak dari sana dan mencari tempat yang aman untuk menenangkan diri. Sebelum Nara memulai langkah kakinya, sebuah tangan terlebih dahulu meraih pergelangan tangan Nara. Orang itu menarik Nara lembut, dengan pasrah Nara mengikuti.

Nara menatap dalam punggung orang yang berjalan di depannya. Barra, selalu datang di saat yang tepat. Laki-laki itu seolah tahu kapan harus muncul di hadapan Nara. Dia seperti penolong yang memang sengaja dikirim Tuhan.

"Duduk," pintah Barra sambil menunjuk kursi taman di belakang perpustakaan.

Nara duduk seraya menghela napas.

"Di mana yang sakit?" tanya Barra.

Dengan pandangan memelas Nara menatap Barra, seolah sedang mengaduh tentang semua keluh kesahnya. Nara tatap dalam dua bola mata Barra.

"Kenapa lo nggak omelin cowok yang lempar bola itu?" Barra mengusap kepala Nara yang terkena lemparan bola.

Nara tersentak saat tangan Barra menyentuh puncak kepalanya. Ini pertama kali Barra dan Nara melakukan kontak fisik. Terasa sangat aneh. Senyuman tulus yang tercipta di bibir Barra entah mengapa menumbuhkan debaran halus di dada Nara. Dia terbuai.

Setelah itu Barra mengambil tempat duduk pada bagian kosong di sisi Nara. Kedua bungkam dengan gemelut pikiran masing-masing. Nara menatap langit biru yang dihiasi awan putih. Langit tampak cerah hari ini.

"Lo yakin kalau Kak Kenan juga berjuang di sana buat gue?" tanya Nara.

"Kenapa? Lo mulai ragu?" Barra balas bertanya.

Nara menghela napas, matanya bergerak liar dan enggan bertemu pandang dengan Barra. "Kalau disuruh untuk nunggu lebih lama lagi, gue masih sanggup. Tapi, gue takut Kak Kenan ingkar. Gue nggak mau sakit hati. Gue nggak mau berjuang sendiri. Gue butuh kepastian."

"Gue kira dengan melepas lo, lo bakal bahagia. Tenyata gue salah. Kalau tahu begini gue bakal tetap pertahankan lo kemarin," Barra menyesali keputusannya. Terkadang takdir tidak sesuai dengan harapan.

"Ternyata begini rasanga kena PHP," Nara tertawa miris.

Nara mengusap kasar air matanya yang tiba-tiba jatuh. Berulang kali dia lakukan itu. Sesekali Nara terisak. Akhirnya Nara mencapai titik lelahnya.

Tuhan itu baik, Nara bersyukur masih memiliki teman untuk berbagi luka. Sejak berselisih dengan Dini dan Nisa, Nara tidak berharap banyak akan diberikan teman untuk berbagi cerita oleh Tuhan. Dan ternyata masih ada Barra untuknya.

"Gue pengen bahagia, Barra. Gue pengen baik-baik aja. Gue cuma mau punya kisah cinta SMA yang bahagia," sesederhana itu keinginan Nara.

"Obati dulu luka yang lo punya. Selesaikan dulu perasaan itu, baru lo bisa buka lembaran baru," Barra menatap Nara dari samping.

Rambut sepunggung Nara hari ini diikat satu dan menampakkan lehernya yang putih. Pipi Nara terlihat lebih tirus, mata panda menunjukkan bahwa Nara tidak tidur semalaman. Perempuan ini sedang kacau.

Lagi-lagi Barra mengagumi wajah Nara yang selalu mampu memikatnya dalam keadaan apapun. Mata bulat, hidung kecil yang sangat pas di wajah Nara, dan bibir kecil yang sedikit berisi dibagian bawah. Perpaduan yang sangat sempurna untuk dikatakan cantik. Sayangnya akhir-akhir ini wajah itu selalu memasang senyuman palsu.

"Nara, kita pacara lagi aja. Gue bisa kasih lo kisa cinta SMA yang indah untuk dikenang seumur hidup."

Kedua bola mata Nara membola, jelas dia terkejut. Saat Nara menoleh pada laki-laki yang duduk di sampingnya itu, kedua bola mata Barra adalah hal pertama yang Nara dapati. Menatap dengan dalam dan penuh harap.

"Maksud lo apa" tanya Nara. Entah mengapa ini terasa begitu mendebarkan.

"Kak Kenan nggak akan tahu. Dan lagi pula lo memang nggak ada hubungan sama dia. Jadi apa salahnya kalau kita balikkan?" Barra terlihat tidak bercanda.

"Ngawur! Gue sayang sama Kak Kenan," Nara tertawa renyah, coba menghilangkan kegugupannya. Ini seperti ajakan untuk pacaran sekaligus perselingkuhan.

"Sederhana saja, Nara! Saat lo ada di pagi hari jangan menunggu sore untuk datang. Dan saat lo di sore hari jangan menunggu pagi. Lo paham kan maksud gue?"

"Otak gue terlalu dangkal untuk memikirkan itu," Nara mengelak. Walau sejujurnya dia membenarkan.

"Lo sungguh akan menyia-nyiakan gue yang jelas ada di sini?" Tidak bermaksud memaksa, namun harus Barra lakukan untuk menarik Nara dari rengkuhan kesedihan.

"Barra," Nara tidak tahu harus memberi jawaban seperti apa.

"Maaf kalau gue terlalu memaksa. Tapi, ayo kita coba jalani pelan-pelan."

Tbc

Spam next di sini 👉

Yang mau komentar julid di sini 👉

Jangan lupa mampir di lapak sebelah yang judulnya SMA
Ini cuplikan ceritanya
👇

"Bokapnya maki-maki dia karena hal itu. Aiden dikatain sampah," bibir Chaca semakin lancar menghibah tentang si anak ketua yayasan.

"Bisa nggak sih, kalau lo berdua mau gosipin gue jangan sampai gue dengar," suara Aiden mengenterupsi.

Sayang sekali saudara-saudara, Arum dan Chaca tercyduk lagi.

"Ketahuan kita, Cha," ringis Arum.

"Lo sih, ngomong pake suara toa," Chaca tersenyum masam sambil menatap pasrah pada Aiden. Pasrah deh, pasrah. Chaca pasrah kalau harus dinikahkan dengan Aiden. Eh?

Awas ada typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top