Part 47 - Tanyakan saja

Sebaik apa pun pemeran pembantu
Tetap tidak bisa mengantikan pemeran utama.
--

Mata Nara terpaku pada pagar rumah milik keluarga Kenan. Besi tinggi menjulang gagah seolah menjadi batas untuk dirinya dan keluarga itu, terutama dengan Kenan. Sangat sulit untuk kembali berbaur, duduk bersama sambil berbagi cerita tidak penting. Semua telah berubah.

Nara melanjutkan langkah, menuju rumah keluarganya sendiri yang berdiri tepat di samping rumah Kenan. Seperti kedua bangunan itu yang selalu berdampingan, Nara ingin dia dan Kenan juga begitu. Selalu berdampingan.

Kaki Nara bergerak menuju dapur. Nara ingin menghilangkan rasa haus dengan air putih dingin. Langkah Nara terhenti saat melewati teras belakang.

"Kalian akan benar-benar pindah, Arum?" itu suara ibu Nara, Indah. Lawan bicaranya ibu Kenan.

"Iya. Sejak tahu Kenan lulus beasiswa ke Australia, Mas Mario langsung mengajukan permohonan mutasi ke sana. Syukurnya permintaan itu diterima perusahaan. Sulit melepas Kenan sendiri ke negeri orang, dia putra kami satu-satunya," jelas Arum.

Nara tercengang. Kakinya lemas mendengar penjelasan ibu Kenan. Dunia Nara sejenak terhenti, jurang terdalam kehidupan seolah tepat di depan mata Nara. Poros hidupnya goyah.

Lalu senyuman sinis tercipta, Nara menarik satu ujung bibirnya. Nara merasa kecewa yang teramat sangat dalam, entah kecewa  pada dirinya sendiri atau pada Kenan. Ingin menangisi keadaan yang tidak pernah sesuai dengan harapan.

"Aku pulang dulu, Indah. Sebentar lagi teman Kenan datang bertamu," pamit Arum. Buru-buru Nara pergi dari sana sebelum ada yang menyadari kehadirannya.

Saat sore hari Nara bingung harus melakukan apa. Tidak ada yang mampu mengembalikan suasana hati Nara. Gelisah dan merasa sendiri. Entah pada siapa Nara harus berbagi cerita.

Kenan yang akan pergi begitu menganggu pikiran Nara. Kapan laki-laki itu akan pergi? Kenan tega sekali tidak memberitahunya.

Nara memilih keliling komplek perumahan. Membeli es krim rasa coklat dan memakannya seorang diri di taman komplek.

"Ehem."

Nara menoleh saat sisi kosong di sampingnya diduduki seseorang. Hampir saja es krim jatuh dari genggamam Nara. Matanya berkedip-kedip lucu beberapa kali.

"Kak Kenan," cicit Nara tak yakin.

Kenan melirik sekilas. Memasang wajah dingin seolah dia tidak peduli.

"Kak Kenan," ulang Nara.

Kenan diam.

"Asssh," diamnya Kenan berubah menjadi ringisan sakit. Nara memukul punggungnya cukup kuat.

Bugh!

Sekali lagi Nara memukul punggung Kenan dengan kepalan tangan. Membuat Kenan kembali meringis, "asssh."

"Jahat banget sih jadi manusia!" maki Nara. Air mata menggenang di sudut matanya. Dengan cepat Nara usap.

"Aku minta Kak Kenan datang ke sini tadi malam. Kenapa baru datang sekarang?!" Nara membersihkan air matanya dengan kasar. Emosi yang ia tahan meluap ke permukaan.

"Aku datang tadi malam!"

"Bohong! Aku nungguin Kak Kenan kayak orang bodoh di sini dua jam lebih," amuk Nara.

"Aku datang! Kamu yang nggak datang," Kenan tidak mau disalahkan akan sesuatu yang tidak ia perbuat.

"Aku datang!"

"Aku juga!"

Nara dan Kenan sama-sama terdiam. Saling menatap satu sama lain. Sepertinya ada kesalah di sini.

"Aku datang sejak jam setengah delapan tadi malam," ujar Nara.

"Aku juga!" sahut Kenan tak mau kalah.

"Aku nungguin Kak Kenan tepat di kursi ini," Nara menepuk kursi yang sedang mereka duduki.

"Aku nunggu kamu di sana." Kenan menunjuk sembilan puluh derajat ke arah belakang. Ada sebuah kursi taman di balik pohon melati besar di sana.

Nara meringis. Tentu saja mereka tidak bertemu tadi malam. Bagaimana mungkin mereka dapat bertemu saat posisi duduk keduanya saling memunggungi. Kenan datang dari arah timur, sementara Nara datang dari arah barat.

Mata Nara berubah bingung. "Salah sendiri kenapa Kak Kenan nggak ngechat aku. Mana aku tahu kalau Kak Kenan duduk di sana."

Kenan memutar bola matanya dengan gerakan malas. "Harusnya kamu yang inisiatif karena kamu yang ngajak ketemuan."

Nara menghela napas, ia lahap es krim yang hampir saja meleleh hingga tandas. Nara lempar stik es krim itu ke tong sampah terdekat. Lalu suasana hening. Keduanya tidak dapat menaklukkan suasana yang tercipta.

"Kamu mau ngomong soal apa?" tanya Kenan pada akhirnya.

"Kak Kenan mau pindah?"

Sejenak tubuh Kenan menegang. "Kamu tahu dari mana?"

"Aku nggak sengaja dengar mama sama tante Arum ngobrol. Selamat ya, Kak, buat beasiswanya. Semoga lancar." Nara memilih untuk tersenyum saat gemulut kesedihan bergejolak dalam hatinya.

Nara mungkin orang yang egois, keras kepala dan pembangkang. Tapi jika itu menyangkut masa depan Kenan semua akan Nara ke sampingkan. Lagi pula siapa ia berani bersedih karena kepergian Kenan? Nara cukup sadar posisinya sebagai tetangga yang hanya mencintai tanpa kata.

"Kuliah di Australia pasti seru. Hmmm, di sana banyak cewek-cewek bule yang cantik," lanjut Nara.

"Lalu?"

"Hmmm, ya Kak Kenan pasti senang pergi ke sana," Nara enggan menatap wajah Kenan.

Kenan berdecih. "Kenapa, Nara? Setiap komunikasi sama kamu rasanya selalu menyakitkan. Kamu tarik kesimpulan sendiri tentang ini dan itu. Dari mana kamu tahu kalau aku senang pergi ke sana? Dari mana kamu tahu kalau suasana di sana akan lebih seru? Kamu tahu dari mana?!"

"Karena semua orang pasti begitu," jawab Nara.

"Nggak semua, Nara! Nggak semua orang! Aku nggak bahagia pergi ke sana! Aku nggak merasa di sana akan lebih seru. Harusnya kamu tanya dulu bagaimana perasaanku sebelum berasumsi." Mata Kenan menyorot tajam.

Nara menunduk, kedua tangannya saling meremas gugup. Nara akui dia salah, entahlah, Nara bukan tipe orang yang pandai berbasi-basi. Nara orang yang berapi-api kala sedang emosi, suka berpikir sendiri dan menarik pendapat dari sudut pandangnya yang ia anggap benar.

"Apa salahnya kamu bertanya dulu, Nara? Apa aku bahagia? Apa yang aku rasakan? Terkadang apa yang kamu lihat dan dengar belum tentu benar," Kenan memelas di hadapan Nara. Berharap perempuan itu akan mengerti.

Dengan sisa keberanian yang ada Nara angkat kepalanya. Objek pertama yang Nara dapati ada sepasang bola mata milik Kenan. Ada banyak harapan pada dua telaga tenang itu.

Kenan menatap Nara dengan sungguh-sungguh. Dan Nara tenggelam semakin dalam. Nara merindukan Kenan.

"A-apa yang Kak Kenan rasakan?" suara Nara terdengar seperti bisikan.

"Apa Kak Kenan bahagia hari ini?"

"Kak Kenan memang ingin pergi?"

"Apa Kak Kenan senang jauh dariku?"

"Apa bersama Dini jauh lebih membahagiakan?"

"Apa Kak Kenan suka sama Dini?"

Nara berhenti sejenak. Mencari keberanian lebih banyak lagi untuk terus menatap Kenan. Debaran di dada Nara semakin gila.

Sejujurnya Nara tidak mampu untuk lebih jauh lagi mengungkapkan rasa miliknya dengan rangkaian kata-kata, namun beberapa hal memang memerlukan lisan untuk bertindak. Karena tidak semua orang mampu memahami dengan tatapan mata dan tindakan.

"Apa Kak Kenan tahu kalau aku suka sama Kakak?"

Tbc

Yuhuuuu, aku balik lagi 😁😁 aku lagi senang banget nih, soalnya respon di part sebelumnya buaaagus banget ❤

Yang mau mereka baikan coba komen 👉

🛇 Awas ada typo 🛇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top