Part 45 - Coba untuk menjelaskan
"Lo nggak bilang kalau mereka lagi ada acara," bisik Barra.
"Tadikan gue udah bilang kalau mereka lagi ada acara makan-makan bareng, ketawa-ketawa bareng," Nara tidak mau disalahkan.
Setelah mengatakan akan membantu Nara berjuang, Barra menarik tangan Nara menuju rumah Kenan. Tadinya Barra ingin menjelaskan secara langsung tentang perasaan Nara pada Kenan. Jika Nara hanya diam saja, maka selama Kenan tidak akan tahu. Barra berniat membantu.
Kebahagiaan Nara di atas segalanya bagi Barra. Dia tidak apa.
Namun perhitungan Barra meleset kali ini. Ternyata di rumah Kenan sedang ada acara makan-makan bersama. Tidak mungkin dalam situasi seperti ini Barra dengan ngotot menjelaskan perasaan Nara.
"Ini pacar kamu kan, Nara?" tanya Arum selaku orangtua satu-satunya di antara para kaum muda yang tengah berkumpul saat ini.
"Mantan, Tante," Barra menyahut.
Arum jelas terkejut. "Cepat sekali kalian putus."
"Nggak jodoh, Tante," Barra lagi-lagi tersenyum.
"Ayo, ayo gabung makan sini. Nggak masalah kalau kamu hanya mantan Nara," Arum mempersilakan Barra.
Kenan sedikit terkejut mendengar pengakuan Barra. Sebelumnya Dini tidak pernah menceritakan padanya bahwa Nara dan Barra sudah putus. Mungkin salahnya juga yang tidak bertanya.
"Ayo, lanjut makan semua," Arum tersenyum ramah.
"Tante, aku tambah mie gorengnya, ya. Enak banget, pedasnya nendang," ungkap Dini dengan sumringah.
"Udah! Kamu jangan makan mie goreng lagi. Kamu sendiri pernah bilang nggak kuat makan pedas waktu kita makan bakso beberapa hari yang lalu," peringat Kenan.
Dini cemberut. "Dikit doang, kok."
"Nggak boleh!"
Entah mengapa di mata Nara Kenan terlihat begitu protektif pada Dini. Sudah sejauh apa sebenarnya hubungan mereka?
"Protektif banget sih Kak Kenan ini, tapi sweet. Pantas banyak digilai sama cewek," ceplos salah satu teman Kenan. Kemudian benarkan oleh teman-teman Kenan yang lain.
Nara meraih piring kosong, kemudian menyendok mie goreng buatan Arum dengan porsi banyak. Nara coba mengeyahkan rasa cemburu yang bergelut di hati. Bersikap biasa seolah memang tidak ada pergolakan dalam hatinya.
"Nara, mie masakan Tante ini lumayan pedas. Nanti kamu sakit perut, kamu nggak kuat makan pedas. Sebaiknya kamu minum es buah aja," Arum cukup tahu makanan yang baik bagi Nara dan tidak. Sejak kecil Nara tidak bisa makan pedas.
"Nara udah gede, Tante. Perut Nara udah tahan sama cabai," jawab Nara dengan mata yang tidak menatap siapa pun. Dia memakan mie porsi banyak tersebut dengan tergesah-gesah. Pedas, tentu saja. Lidah Nara terasa terbakar.
"Nara," ujar Barra prihatin. Ditatapnya wajah perempuan itu yang kini berubah merah menahan pedas.
"Enak banget," gumam Nara dengan nada bergetar. Matanya memanas dan air mata menggenang, entah karena mie yang terlalu pedas atau luka di hatinya.
Kenan menatap Nara dengan tatapan tidak mengerti. Kenan bukan orang bodoh yang tidak paham perasaan Nara. Pasti ada yang tidak beres dengan Nara. Tapi apa? Kenan tidak tahu.
Kenan mencoba tidak peduli, namun matanya terus saja mencuri pandang pada perempuan yang sibuk memakan mie dengan terpaksa.
"Sssttt," Nara dan Dini sama-sama meringis keras. Kedunya meletakkan piring mie, lalu memegang perut masing-masing dengan ekspresi kesakitan.
"Nah kan, kalian benar sakit perut," ujar Yogi.
"Perut aku melilit banget. Tante, boleh aku pinjam toilet?" minta Dini.
"Toilet ada di belakang. Aku kan udah bilang dari tadi jangan makan makanan pedas! Aku carikan obat buat kamu," Kenan bergegas mencari kotak obat. Sementar Dini mengikuti Kenan yang berjalan ke arah dapur, letak toilet rumah Kenan juga berada di sana.
Nara diam saja menyaksikan kepergian keduanya. Tangan Nara meremas perutnya sendiri. Terasa perih.
"Tante, Nara pakai toilet yang ada di kamar waktu Nara nginap di sini saja." Tanpa meminta izin Nara berlalu pergi.
Barra prihatin melihat punggung Nara yang semakin hilang hingga tidak lagi nampak. Tentu Barra tidak suka Nara tersakiti begini. Bagi Barra, Nara tetap yang tercinta walau hanya sebatas mantan. Barra ingin memastikan kebahagian sang mantan.
Iya, Barra tahu dia sangat baik. Tidak perlu memuji.
-o0o-
Nara keluar dari toilet, rasa terkejut tidak dapat Nara sembunyikan kala mendapati Kenan berada di atas ranjang kamar. Laki-laki itu bangun dari duduk santainya, menghampiri Nara yang berdiri kaku.
"Udah baikan?" tanya Kenan dengan nada suara dingin.
Nara mengangguk. Jantungannya berdebar, ada sesuatu yang menggelitik di hati.
"Ini, minum obatnya dulu," Kenan menyodorkan obat sakit perut pada Nara.
Nara terima obat itu tanpa berkata-kata. Nara anggap ini sebagai bentuk perhatian dari Kenan. Sudah berapa lama Nara tidak merasakannya? Boleh Nara bahagia saat ini?
Kenan berbalik dan bersiap untuk pergi. Dengan sigap Nara meraih ujung kaos yang sedang Kenan kenakan. Membuat langkah laki-laki terhenti. Kenan tatap Nara penuh tanya.
"Kak Kenan," panggil Nara pelan. Ia eratkan genggamannya pada kaos Kenan, takut Kenan pergi.
"Hmmm?" Masih saja dingin respons yang Kenan berikan.
Nara merangkai kata yang tepat untuk mengungkap isi hati. "Aku mau minta waktu Kak Kenan nanti malam. Bisa kita bicara?"
"Bicara tentang apa?" tanya Kenan.
"Nanti malam aku tunggu di taman komplek jam setengah delapan," jawab Nara sambil melepaskan kaos Kenan dari jari-jarinya.
Kenan tidak memberi jawaban. Laki-laki itu hanya menatap datar sebelum berlalu pergi. Datang atau tidak Nara akan tetap menunggu Kenan di taman komplek nanti malam. Nara ingin memperbaiki hubungan mereka, menjelaskan soal perasaannya. Diterima atau tidak, Nara tak peduli.
-o0o-
Acara makan bersama telah selesai pukul lima sore tadi. Semua teman Kenan telah pulang, hanya tinggal Dini saja yang mengeluh sakit perut. Sudah tidak terhitung berapa kali Dini keluar-masuk kamar mandi.
Arum merasa bertanggungjawab akan keadaan Dini. Wanita itu merasa bersalah karena masakkannya membuat Dini sakit perut hingga lemas, beruntung sakit perut Nara tidak separah Dini. Bisa-bisa Arum akan mogok memasak karena makanannya membuat dua orang sakit perut luar bisa.
Arum memintah Dini untuk istirahat di kamar yang pernah Nara tempati. Jika sudah lebih mendingan baru Arum akan mengizinkan Dini untuk pulang, itu pun harus Kenan yang mengantar. Biar motor Dini ditinggal di rumah Kenan dulu.
Hari sudah mulai gelap. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Kenan duduk di sofa ruang tamu setelah mengantarkan obat herbal racikan sang ibu pada Dini.
Kenan termenung sambil terus menatap jam dinding yang tergangung di sudut ruang tamu. Ia masih bimbang untuk datang ke taman komplek sesuai permintaan Nara atau tidak. Jujur, Kenan masih merasa sakit hati pada tetangganya itu.
"Dini sudah baikan?" tanya Arum.
"Sakit perutnya sudah lebih mendingan, Ma. Dia sedang siap-siap untuk pulang," jawab Kenan.
"Kamu harus antar Dini sampai rumah dengan selamat. Jangan ngebut bawa mobilnya! Sampaikan maaf Mama sama ibu Dini karena bikin anaknya sakit perut," Arum memberi wejangan.
"Iya, Ma," singkat Kenan.
"Dini itu orangnya baik! Cocok sama kamu. Mama setuju kalau kamu sama dia," Arum menatap sang putra dengan pandangan penuh maksud.
"Apaan sih, Ma," elak Kenan.
Tbc
Gimana sama part ini? anggap aja ini double up yg aku janjikan kemarin ya :D
Kasih uneg2 kalian di sini 👉
🛇 Awas ada typo 🛇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top