Part 44 - Berjuang
Bagaimana rasanya didiamkan oleh dia yang sebelumnya sangat hangat memanggil namamu?
--
Hari berlalu, jarum jam terus berputar dan tanggal berganti. Luka akan sembuh bersama waktu yang bergulir ke depan. Meninggalkan masa lalu yang pandai sekali merobek kebahagian hari ini. Masa depan terlihat indah di depan sana, namun ia tak pasti.
Nara menapaki jalan komplek perumahannya. Tas ransel pink miliknya bergerak ke kanan dan ke kiri sesuai dengan pergerakan Nara. Sudah tiga minggu lebih berlalu, dan semangatnya tidak kunjung membaik.
"Nara," kaki Nara berhenti melangkah, seseorang memanggilnya dari arah belakang. Nara menoleh dan mendapati Arum tersenyum cerah.
"Tante," balas Nara.
Arum menyusul Nara. "Kamu baru pulang sekolah? Ada kerjaan nggak di rumah? Ayo, kamu bantu Tante masak. Hari ini teman-teman Kenan datang bertamu."
Nara berpikir sejenak, kemudian menangguk sekilas membalas perkataan Arum. Digandengnya tangan ibu Kenan itu dengan gerakan lesuh.
"Memanggnya ada acara apa sampai ngundang teman-teman Kak Kenan?"
"Itu, Kenan mau per --" Arum tidak melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba ia teringat akan perkataan Kenan yang meminta siapa pun untuk tidak memberitahu Nara tentang keberangkatannya ke Australia. Dan acara makan bersama hari ini sebagai bentuk perpisahan kecil-kecilan bersama teman-teman Kenan.
"Nggak ada acara spesial. Tante lagi kepengen aja undang teman-teman Kenan. Oh iya, teman kamu Dini juga bakal datang nanti," beritahu Arum.
"Dan novi juga udah di rumah bantu Tante masak," tambahnya.
Diam-diam Nara berdecak kesal dalam hati. Pasti akan ada drama lagi dalam acara hari ini. Ada Dini, dan bahkan Novi.
"Tante, dari mana?" tanya Nara.
"Tadi Tante kehabisan garam," Arum menangkat kantung plastik putih berisi garam yang ia beli di mini market depan komplek.
"Nara malas datang, ah," ucap Nara. Mereka berjalan beriringan dengan tangan Nara yang mengapit lengan kiri Arum.
"Harus datang dong. Kamu malas datang karena Tante minta buat bantu masak?" tanya Arum.
Nara menggeleng. "Bukan."
"Terus, kenapa? Semua teman-teman Kenan pada datang. Masa kamu yang sudah temanan sama Kenan sejak kecil nggak datang. Ngomong-ngomong nanti juga bakal banyak teman perempuan Kenan yang datang, nanti kamu bantuin Tante pilih calon yang cocok untuk Kenan," Arum sumringan akan idenya.
Arum mungkin tidak memiliki niatan buruk, namun tanpa wanitu itu sadari dia telah menyakiti hati Nara. Sungguh, perasaan Nara tidak baik-baik saja melihat Kenan bersama yang lain.
"Nanti Nara datang ke rumah Tante, deh. Sekarang Nara pulang dulu buat ganti baju." Nara pamit pada Arum. Kini ia berjalan memasuki pekarangan rumahnya sendiri.
Setalah membersihkan diri dan berganti pakaian, Nara pamit pada ibunya untuk pergi ke rumah Kenan. Tak sulit mendapatkan izin dari sang ibu mengingat keluarga mereka yang begitu akrab.
Di depan rumah Kenan ada sebuah mobil yang Nara yakini milik teman Kenan bernama Yogi. Lalu saat memasuki rumah terdengar suara tawa dari arah ruang tamu, ada Kenan dan dua temannya.
Nara berjalan melewati mereka begitu saja dan langsung menuju dapur. Ada Arum, Novi serta satu peremuan lain yang tidak Nara tahu siapa. Mereka asik memasak sambil saling melempar guyonan. Arum terlihat nyaman berada di dekat Novi.
Kenapa semua orang terlihat begitu cocok untuk berdampingan dengan Kenan dan keluarga laki-laki itu? Kecuali Nara, menurutnya.
"Tante --"
"Tante Aruuum," suara Dini terlebih dahulu mengudara.
"Dini sudah datang. Eh, Nara juga ada di sini," Arum menyambut dengan suka cita.
Nara menghela napas lelah. Ia sudah tahu bahwa datang ke rumah Kenan bukanlah pilihan yang tepat. Nara tidak bisa mengakrabkan diri dengan suasana.
Bahkan saat memasak Nara hanya duduk di kursi makan menyaksikan Dini, Novi, Arum dan teman perempuan Kenan lainnya bercengkrama. Nara pura-pura sibuk dengan ponsel, seolah tidak peduli namun sesungguhnya ia tidak baik-baik saja.
"Ayo, makanannya kita sajikan di ruang tamu dan acara makan-makan bisa segera di mulai. Pasti semua udah pada lapar," Arum memberi instruksi.
Dengan cepat mereka bergegas membawa masakan ke ruang tamu. Ada es buah, mie goreng, dan berbagai cemilan yang membuat perut menjerit kelaparan.
"Ayo, Nara," ajak Arum sekedar saja sambil membawa piring-piring.
Nara berjalan dua langkah di belakang Arum. Ekspresi wajah yang Nara tunjukkan berbanding terbalik dengan orang-orang yang ada di sini, mereka terlihat bahagia.
Sesampainya di ruang tamu Nara semakin merasa sendiri di antara keramaian itu. Ada sekitar lima belas orang, mereka bercanda dangan tawa yang tidak kunjung berhenti. Saling melempar guyonan.
Suasana semakin heboh saat teman-teman Kenan menjodoh-jodohkan laki-laki itu dengan Dini. Mereka mengatakan Dini mampu mengimbagi Kenan, dari segi penampilan dan sifat. Kenan balas candaan itu dengan tawa renyah, dan Dini tampak malu-malu. Sementara Arum bersikap antusias dan memberi dukungan.
"Nah, Ken, nyokap lo aja setuju kalau lo sama Dini. Iya, kan, Tante?" tanya Gustaf pada Arum.
Arum mengangguk. "Setuju pakai banget."
"Aku udah nggak ada harapan lagi dong," Novi menyela dengan wajah cemberut, terdengar bercanda.
"Lo sama gue aja, Nov," sela Yogi.
"Ogah!"
Nara berdiri dengan gerakan pelan agar tidak menimbulkan suara, takut akan ada yang menyadari keberadaannya. Oh ayolah, sejak tadi memang tidak ada yang menyadari keberadaan Nara di sini. Tidak ada yang mengajaknya bicara. Namanya tidak pernah disebut dalam obrolan.
"Kemarin gue jumpa Dini sama Kenan. Mereka lagi beli helm. Tau nggak helm itu di beli buat siapa? Ya, buat Dini lah! Biar Dini selalu terlindungi."
"Suuiiit, suuiiit."
"Aku juga mau dilindungi dong."
"Pengen dibeliin helm."
Rangkaian candaan itu masih dapat Nara dengar sebelum benar-benar keluar dari rumah keluarga Kenan. Sudut mata Nara berair, hatinya terkoyak lebar. Luka itu semakin menganga dan terasa perih. Nara tidak mampu menjelaskan rasa sakit ini dengan rangkaian kata.
Nara ingin Kenannya kembali! Hanya ini yang mampu mengobati rasa sakit hati Nara.
-o0o-
Saat kembali ke rumah Nara melihat ada sebuah motor terparkir di halaman. Jika tidak salah menebak motor besar itu milik Barra. Ada apa gerangan Barra datang bertamu saat status mereka hanya sebatas mantan?
"Nah, itu Nara sudah pulang," Indah menyambut kedatangan Nara.
Mata Nara tidak lepas dari Barra yang duduk santai di sofa. Laki-laki itu balas menatap. Melalui sorot matanya Nara bertanya ada apa?
"Barra udah lama nungguin. Katanya kangen ngobrol sama kamu," Indah menarik tangan Nara agar duduk di sisinya. Memang sikap ibu Nara berbanding terbalik dengan sang ayah yang sangat disiplin. Indah sedikit lebih lunak.
"Ya sudah, Tante tinggal dulu ke belakang. Nak Barra jangan kesorean pulangnya, ya. Tahu sendiri ayah Nara itu seperti apa."
Sebelum Nara datang, Indah telah menceritakan tentang sifat suaminya pada Barra. Bagaimana kedisiplin adalah hal yang begitu penting bagi ayah Nara.
Pacaran adalah satu hal yang paling tidak disukai ayah Nara, karena menurut beliau pacaran hanya menumbuhkan perasaan menye-menye yang dapat merusak rotasi kehidupan yang sudah tertata baik.
"Mau apa lo ke sini?" tanya Nara dingin selepas kepergian ibunya.
"Gue kebetulan lewat sini. Sayang banget kalau nggak mampir ke rumah mantan," balas Barra dengan nada tanpa beban.
Nara lagi-lagi menunjukkan ekspresi tidak bersahabat. Masih terekam jelas dalam ingatannya bagaimana orang-orang bergosip tentang dia yang hanya dijadikan mainan oleh Barra.
"Lo nggak perlu datang ke sini! Gue nggak suka! Dan gue nggak mau bikin gebetan lo salah paham dan jadi bahan gosip satu sekolah," desis Nara tajam.
Barra menatap tidak yakin. "Gebetan apanya?"
"Si sekretasi OSIS," jawab Nara malas.
"Oh, Achi. Dia memang suka sama gue, tapi gue masih suka sama mantan," Barra tidak segan-segan untuk mengakui perasaannya.
"Udahlah, Barra. Sebaiknya lo pulang," usir Nara.
"Putus bukan berarti musuhan, bukan? Gue datang ke sini sebagai teman. Apa salahnya?"
Nara berdecih. Teman? Ck, dia tidak percaya kata itu. Tidak ada teman dalam hidupnya. Hanya ada Nara dan dirinya sendiri.
"Gue lihat Kenan sama Dini makin akrab. Kemarin gue nggak sengaja lihat mereka di tempat makan. Dan Kenan juga sering datang ke sekolah buat jemput Dini," cerita Barra.
Nara diam saja.
"Jujur sama gue, lo kehilangan Kenan?" Barra bertanya.
"Iya!" jawab Nara tegas. "Bahkan saat ini teman-teman Kak Kenan, bahkan mama Kak Kenan sendiri menjodoh-jodohkan Dini dan Kak Kenan. Mereka semua makan bersama, ketawa bersama dan nggak yang peduli sama gue."
Barra prihatin mendengar cerita sang mantan. Awalnya dia mengira bahwa Nara akan bahagia setelah lepas darinya. Ternyata perempuan itu semakin terluka dalam.
"Lo nggak akan dapat apa yang lo mau tanpa perjuangan. Kalau hanya duduk diam di sini lo akan kehilangan," nasehat Barra.
Nara balas menatap dengan sayu. "Apa gue harus berjungan?"
"Harus! Biar gue ajarkan cara berjuang yang benar. Ayo, ikut gue!"
TBC
Part ini 1,3k kata lebih. Udah lumayan puuanjang menurut aku. Atau masih kurang??
Pengen double up tapi mau liat respon dari kalian dulu 😁
Typo is wow ⚠
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top