Part 42 - Berpaling
Ada yang memilih pergi dan menjauh.
Ada pula yang memilih untuk tetap tinggal.
Beberapanya lagi hanya pura-pura peduli.
--
Nara termenung di depan pagar rumah Kenan. Mengulas hal menyedihkan yang terjadi akhir-akhir ini. Masa SMA yang seharusnya indah berubah kelam.
Entah kesalahan apa yang telah Nara lakukan di masa lalu. Kenapa takdir hidup Nara sangat rumit?
Nara kembali melihat pada rumah Kenan, di halaman luas itu terparkir motor milik Dini. Kesedihan Nara semakin gila saat melihat helm milik Dini tergantung pada kaca spion bagian kiri, helm bermotif tengkorak itu dulu adalah miliknya.
Gue ini kenapa, sih? Kenapa harus menghindar dari mereka? Gue nggak punya salah di sini!
Nara mencari pembenaran untuk mengembalikan kepercayaan dirinya yang hilang. Sungguh, Nara tidak apa-apa jika Kenan harus bersama Dini. Dan sungguh Nara tidak apa-apa jika Dini menjauh.
Nara kembali memasuki pekarangan rumah. Genggamannya pada piring bolu semakin mengetat. Apa pun yang terjadi di depan sana bolu ini harus sampai pada Arum, ibu Kenan. Tidak peduli walau badai, topan dan tsunami menghadang. Oke, ini berlebihan.
Gue nggak perlu menghindar! batin Nara.
"Tante," sapaan awal Nara sukses menarik perhatian orang-orang yang duduk bersama di ruang tamu.
"Eh, ada Nara." Arum muncul dari arah dapur dengan membawa nampan berisi es jeruk dingin dan cemilan. Lalu menyajikan makanan dan minuman ringan tersebut di atas meja.
"Ini, Tante," Nara memberikan piring bolu tersebut pada Arum. Mata Nara hanya tertuju pada wanita berumur awal empat puluhan itu. Nara berusaha untuk tidak melihat ke arah lain.
"Wah, ini yang Tante tunggu-tunggu dari tadi. Udah masak bolunya? Sampaikan thank you so much sama mama kamu," Arum melahap bolu tersebut dengan antusias.
"Oh iya, Dini, ayo coba bolu buatan mama Nara. Enak banget, lho. Legit dan maknyusss," tawar Arum.
Dini tersenyum setengah. Mendadak suasana ini menjadi canggung. Melalui ekor matanya Dini melirik Nara yang duduk pada sofa single di sisi kanan.
"Ayo, jangan malu-malu," tawar Arum sekali lagi pada Dini.
Dini mengangguk, dengan gerakan cepat ia mengambil bolu tersebut. Mungkin karena faktor kurang hati-hati dan gugup Dini tidak sengaja menyenggol gelas berisi jus jeruk buatan ibu Kenan. Hingga gelas tersebut berakhir di atas lantai putih menjadi serpihan kecil.
Semua mata tertuju paca pecahan kaca itu. Hening beberapa saat. Hingga perkataan Dini memecahkan kebisuan akibat keterkejutan.
"Maaf, maaf Tante. Aku nggak sengaja," ujar Dini panik. Buru-buru ia memungut serpihan kaca yang berserakan dan meletakkannya di atas nampan agar tidak berantakan.
"Nggak masalah. Sudah, kamu nggak perlu bereskan, biar Tante saja yang bersihkan," pinta Arum.
"Biar aku saja, Tante," kekeh Dini. "Boleh pinjam pel dan sapu, Tante?" mintanya.
Arum menghela napas. Arum tidak marah, hanya saja Arum tidak tega melihat Dini yang membersihkan pecahan gelas yang berserakan itu dengan tangan kosong. Tidak ingin memperpanjang perdebatan Arum segera mengambil kain pel dan sapu.
"Maaf banget Kak Kenan karena aku buat berantakan," sesal Dini sambil meraih pecahan kaca.
"Udah, Dini. Kamu nggak perlu bersihkan ini. Apalagi dengan tangan kosong begitu, tangan kamu bisa luka," Kenan memperingati.
"Nggak masalah."
Kenan mengeram, pertanda dia tidak suka dengan perkataan dan tindakan Dini. "Aku bilang udah! Nanti tangan kamu bisa luka!"
Nara hanya diam dan tertengun menyaksikan adegan itu. Sangat drama menurutnya. Kekhawatiran Kenan sungguh berlebihan.
"Aku bilang udah! Biar nanti dibersihkan pakai sapu!" tegas Kenan.
Dini tidak mengindahkan. Tangannya tetap lincah membersihkan pecahan kaca , namun bergerak ragu kala ingin meraih pecahan kaca yang terlempar di sisi kaki Nara. Baiklah, untuk yang satu itu biarkan saja. Nanti akan dibersihkan menggunakan sapu bersama serpihan kecil lainnya.
"Beres!" Dengan bangga Dini memperlihatkan nampan yang penuh pecahan kaca gelas pada Kenan.
Kenan menatap kesal. "Kamu manusia paling keras kepala yang pernah aku jumpai. Kalau sampai kamu luka karena kaca-kaca itu, gimana?" omelnya.
"Kan ada Kak Kenan yang ngobatin," seloroh Dini.
"Dih, aku mah ogah. Letakkan nampan itu, biar aku saja yang bersihkan sisanya setelah Mama datang bawa sapu," pintah Kenan.
"Siap, Bos!" Dini langsung meletakkan nampan tersebut di atas meja.
Tanpa mereka sadari Nara sudah tidak ada lagi di sana. Perempuan itu berjalan tertatih meninggalkan rumah keluarga Kenan. Hatinya sakit dan kakinya berdarah. Kaca yang terlempar ke arah Nara tepat mengenai sudut atas kaki kirinya.
Tidak perlu ada yang mengetahui goresan luka itu. Karena ini tidak lebih penting dari pada menjaga dan memastikan Dini agar tidak tergores pecahan kaca.
"Lho, Nara mana?" Dan Arum adalah orang pertama yang menyadari kepergian Nara. Bukan Dini, apalagi Kenan.
Kaki Nara berhenti di halaman rumah. Matanya menatap nanar pada helm yang tergantung pada kaca spion motor Dini. Kemudian Nara melirik kakinya yang sedikit berdarah. Ini luka kedua yang Nara harapkan mendapat perhatian dari Kenan. Ah, sudahlah.
Nara melanjutkan langkah, ketika melewati motor Dini tangannya terulur mengambil helm motif tengkorak tersebut. Well, helm ini miliknya.
-o0o-
"Dini, lo udah dengar kabar nggak? Katanya Nara sama Barra putus," ujar Nisa sambil mengaduk mie ayam pesanannya. Tak lupa mencampur cabai serta saus agar makanan tersebut semakin nendang di lidah.
Dini melakukan hal yang sama dengan Nisa. Mengaduk mie ayam miliknya dengan semangat. Perut Dini tidak dapat diajak untuk kerja sama lagi, sudah sangat lapar setelah melewati mata pelajaran bahasa Inggris sebelum istirahat pertama.
"Gue dengar kabar ini sejak kemarin, awalnya gue nggak yakin. Eh, makin ke sini gosipnya makin heboh. Bahkan kemarin waktu pulang sekolah si Barra boncengan sama sekretaris OSIS. Ini bukti kalau mereka benaran putus," cerita Nisa dengan semangat.
Dini menikmati suapan pertama mie ayam miliknya sebelum memberi respons. "Oh, jadi mereka udah putus?"
Nisa mengangguk. "Lo senang dengarnya?"
"Biasa aja," sahut Dini santai.
Nisa menatap tak yakin. "Masa?"
Kali ini hati Dini tidak akan goyah lagi. Janji untuk melupakan Barra adalah hal mutlak yang tidak boleh diganggu gugat. Laki-laki itu hanya sebatas kisah yang tidak benar-benar tertuliskan.
"Rasanya emang biasa aja. Sayang banget mereka putus," Dini menyesap teh manis dingin membuat rasa pedas mie ayam yang ia santap sedikit meredah.
Nisa belum menanggalkan tatapan tidak yakin saat menatap Dini. Ke mana Dini yang uring-uringan saat dulu Barra pacaran dengan Nara? Mungkin saja Dini yang ada di hadapan Nisa saat ini bukan Dini yang suka pada Barra?
"Lo pura-pura santai. Jujur aja sama gue soal perasaan lo, Dini! Ini Barra cowok impian lo! Dia baru aja putus," ulang Nisa.
Dini menganggkat bahu tak peduli.
"Seenggaknya lo tunjukkan ekspresi berlebihan. Senang atau apa gitu, bukannya justru cuek bebek begini," Nisa tidak habis pikir.
Ponsel Dini yang tergeletak di atas meja kantin bergetar. Telepon via WA masuk, ada nama Kenan tertera di sana. Senyuman lebar mengembang indah di wajah Dini, hingga kedua sudut mata perempuan itu menyipit. Dengan cekatan dan tanpa ragu Dini menjawab panggilan tersebut.
"Kak Kenan," suara Dini kelewat riang.
Nisa tertengun menyaksikan kebahagian Dini saat menerima telepon dari Kenan, berbanding terbalik dengan respons yang diberikan Dini saat mendengar kabar putus Barra.
Nisa mengurut pangkal hidungnya sambil memikirkan berbagai macam spekulasi yang mungkin terjadi. Tolong jangan katakan kalau tanpa Dini sadari hatinya telah berpaling pada si penelpon, Kenan.
Ini sangat kompleks.
Tbc
Hai, hai, hai aduh maap up nya telat. Lagi ada kesibukan soalnya, alaah sok sibuk banget aku. Selamat membaca semua ~~
Kalau kalian di kasih pilihan. Lebih suka cerita yang konfliknya berat atau ringan?
Ayo dijawab :D biar bisa jadi bahan pertimbangan buat aku
>>>Awas ada wow
Typo is wow<<<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top