Part 39 - Menjauh

Asing menjadi dekat,
Dekat menjadi jauh,
Semua hanya soal waktu.
__

"Di mana Dini?"

Nara menutup buku paket bahasa Indonesianya. Buku tugas dan alat tulis Nara simpan ke dalam laci meja. Kelas mereka baru saja melewati mata pelajaran bahasa Indonesia, kini masuk jam istirahat pertama.

"Di mana Dini?" tanya Nisa sekali lagi dengan nada tidak sabaran. "Gue dengar dari anak-anak kalian berantem tadi pagi," tambahnya.

"Gue nggak tahu dia di mana," jawab Nara singkat, dia sama sekali tidak menatap Nisa.

Nisa menghela napas menghadapi sikap Nara yang dingin. Nisa mengambil tempat duduk yang biasa Dini tempati, tepat di sisi Nara. "Gue tau apa yang terjadi tadi pagi. Sialnya, gue nggak bisa berbuat apa-apa saat itu. Nara, Dini nggak bermaksud jahat sama lo dan Barra."

"Jadi lo udah tahu kalau Dini suka sama Barra?! Atau jangan-jangan di sini cuma gue yang bodoh. Kalian ini sahabat gue atau apa?! Apa gue memang nggak penting?!" Harus Nara akui gejolak dalam dirinya sangat menggebu.

"Bukan masalah itu, Nara. Dini diam karena dia mau jaga perasaan lo sekalipun dia suka sama Barra. Coba lo bayangkan kalau lo ada di posisi Dini. Gimana sakit hatinya Dini ngeliat sahabatnya sendiri jalan sama orang yang dia sukai?" jelas Nisa.

Nara tersenyum sedih. "Apa hanya perasaan Dini aja yang harus dijaga di sini?! Apa sakit hatinya saja yang penting?!"

"Lo nggak ngerti, Nara! Lo nggak pernah berusaha memahami orang lain. Lo selalu memandang sesuatu dari sudut pandang lo tanpa melihat bagaimana kebenarannya. Apa lo nggak paham apa yang gue katakan tadi? Dini diam karena dia mau jaga perasaan lo," Nisa harus benar-benar bersabar menghadapi Nara yang luar biasa keras kepala.

"Ngejaga perasaan gue? Sikap dia justru bikin gue sakit hati! Gue ngerasa nggak dihargai! Gue ngerasa dibodohi. Dan sialnya gue ngerasa jahat di sini! Gue benci!" Sudut mata Nara mulai berair.

"Nara," Nisa coba meraih tangan Nara, namun temannya itu menolak. "Dengerin gue, Nara. Lo harus berusaha memahami terlebih dahulu, sebelum lo ingin orang-orang memahami lo. Sikap keras kepala lo itu sebenarnya yang buat lo sakit hati."

Nara buang pandangannya. Nara mendapati beberapa teman satu kelas mereka melirik penuh minat padanya dan Nisa. Dan Nara tidak peduli pandangan ingin tahu itu.

"Apa ini artinya lo lebih memihak Dini?" tanya Nara dengan nada dingin.

Nisa tercengang. "Jadi lo berpikir kalau lo dan Dini adalah dua pihak yang saling berseberangan? Kalian musuh? Begitu maksud lo? Pikiran lo benar-benar picik, Nara."

Nara diam tak menyahut. Hanya ekspresi dingin yang Nara tunjukkan dengan mata berair. Tanpa diketahui siapa pun jantung Nara berderak tak karuan. Oh baiklah, Nara akui dia memang takut.

"Gue berani bertaruh kalau Dini nggak pernah menganggap lo musuh sakalipun lo pacaran sama cowok yang dia suka! Dan lo? Dasar egois!" Nisa tersenyum sinis.

Nisa bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan Nara begitu saja. Jujur Nisa merasa kecewa dengan sikap Nara ini. Nisa memilih untuk menjauh daripada ia melontarkan kata-kata pedas yang akan menyakiti hati Nara dan membuat semua semakin sulit.

Dan entahlah, Nara tidak tahu mengapa semua orang begitu menyudutkannya. Jangan salahkan sikap Nara yang begitu keras. Nara tidak ingin disalahkan di sini. Nara hanya ingin melindungi harga dirinya.

-o0o-

Dini melambaikan tangan pada Kenan. Seharian bersama Kenan membuat senyuman Dini perlahan-lahan kembali. Dia bahagia, tentu saja. Dini bersyukur memiliki Kenan sebagai teman berbagi suka dan dukanya. Kaki Dini memasuki rumah, tubuhnya mendadak kaku melihat Nara duduk di sofa ruang tamu rumahnya bersama sang ibu.

"Kamu sudah pulang, Nak? Ini Nara nungguin kamu dari tadi," sambut ibu Dini.

"Ada yang mau gue bicarakan sama lo," kata Nara singkat.

Dini menawari Nara untuk bicara di kamarnya. Kini Nara duduk di kursi meja rias milik Dini, sementara yang punya kamar duduk di tepi ranjang.

Nara melirik poto dirinya, Dini dan Nisa yang terbingkai di atas meja rias Dini. Di poto tersebut mereka bertiga tersenyum bahagia ke arah kamera dengan latar gedung SMA Panca Dharma. Foto itu diambil saat kenaikan kelas 11 semester ganjil. Saat itu semua masih terasa indah.

"Gue masih ingat waktu pertama kali kita kenalan. Kita satu kelompok saat MOS. Hanya kita berdua yang nggak punya kenalan dikelompok itu. Bengong-bengongan kayak orang bodoh," Nara mengingat pertemuannya dengan Dini.

"Hari pertama MOS, lo berdiri di dekat tiang bendera. Gue udah perhatikan lo dari awal pembagian kelompok dan bakal gue jadikan target untuk kenalan. Dan kodok yang lompat di kaki lo bikin kita akhirnya saling menyapa," sahut Dini.

Nara termenung. "Gue ketakutan liat kodok itu, dengan tampang sok berani lo ngusir kodoknya."

"Bukan sok berani, Nara. Gue memang berani," ralat Dini.

"Menurut gue kita memang di takdirkan buat temanan. Pembagian kelas 10 kita satu kelas, dan di sana kita ketemu Nisa. Kalau boleh jujur gue nyaman temanan sama lo. Tapi sepertinya kita terlalu bertolak belakang," Nara tatap Dini dengan serius.

"Ya, kita terlalu berbeda. Harusnya kita saling melengkapi dengan perbedaan itu, tapi nyatanya perbedaan membuat rasa nyaman yang ada semakin pudar. Kita selalu berlari ke arah yang berbeda," Dini balas menatap Nara.

Nara mengehela napas. Ia meremas rok abu-abunya guna mencari kekuatan, nyatanya hanya hampa yang Nara temui. Nara merasa sesak, seperti ada dua batu besar yang menghimpit dadanya.

"Makasih lo udah mau temanan sama gue. Maaf kalau sikap gue selama ini sering bikin lo sakit hati. Gue rasa mulai sekarang sebaiknya kita saling menjauh. Ini bukan karena Barra, tapi gue kita memang nggak cocok sahabatan," Nara sudah memikirkan matang-matang keputusannya ini.

Dini tidak terkejut dengan apa yang Nara inginkan. Hubungan pertemanan mereka memang cukup renggang akhir-akhir ini. Bahkan Dini yakin akan semakin renggang setelah kejadian ini. Jika memang pertemanan mereka tidak bisa diselamatkan lagi dan hanya menimbulkan sakit hati saja, ya, memang seharusnya saling menjauh.

"Gue hargai keputusan lo," Dini menghela napas berat. Jujur ini tidak mudah.

Kata orang-orang bahwa mantan sahabat itu tidak ada. Huh, bohong sekali.

"Mulai besok kita adalah orang asing yang seolah-olah tidak saling mengenal," Dini menarik satu ujung bibirnya. Dini masih tidak percaya bahwa akan mengatakan hal ini pada sahabatnya sendiri.

"Tapi kita bukan musuh. Hanya saling tidak peduli saja," Nara bangun dari duduknya dengan sudut mata berair. Nara tidak tahu sebelumnya kalau memutuskan hubungan dengan sahabat rasanya akan sesakit ini.

"Semoga ke depannya takdir kita nggak saling bersinggungan lagi. Gue balik dulu kalau gitu," Nara bersiap untuk pergi.

"Hmmm," Dini berguman dengan suara bergetar.

Dini sama sekali tidak berniat untuk mengantar kepergian Nara sampai depan pintu rumah. Dini lebih memilih menghempaskan tubuh di atas ranjangnya. Ia lelah, Dini ingin beristirahat sejenak dan melupakan masalah yang ada.

Tbc

Gimana sama part ini?
Suka, nggak?

Keluarkan uneg2 kalian 👉

⚠ Awas ada typo ⚠

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top