Part 37 - Melepaskan

Lucu ya
Takdir mempertemukan aku dan kamu
Namun menyatukan kamu dan dia.
__

Dini membatu. Merasa terhempas pada titik terbawah dalam hidupnya. Malu dan amarah bertemu pada satu titik yang menyakitkan. Cinta dalam diamnya, bagaimana Dini akan menyelamatkan cintanya?

Tidak, Dini tidak malu akan perasaan yang ia miliki. Hanya saja ini akan sangat menyedihkan mengingat orang yang Dini cinta memiliki cinta lain.

Barra menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Laki-laki itu terkejut. Nara juga begitu. Dan kini Dini menjadi bahan perhatian teman-teman satu kelasnya.

"Bukannya lo suka sama Kak Kenan?" Nara mempertanyakan pengakuan Dini beberapa waktu yang lalu.

Dini menunduk dalam. Menatap jalinan jarinya yang saling meremas gugup. Dini tidak berani menatap Nara, dan juga Barra tentunya.

Sementara Barra tidak tahu harus bersikap seperti apa. Selama ini Dini adalah teman cerita yang baik baginya, sekaligus sahabat dari pacarnya sendiri. Barra tidak menyangka bahwa Dini menyimpan rasa lebih padanya.

Bisik-bisik murid lain mulai terdengar. Riuh dengan suara yang teratur. Dini tahu teman-teman satu kelasnya mulai bergosip tentang dirinya.

"Sebaiknya kita bicara di tempat lain," suara Barra menyelah. Ia berjalan keluar kelas 11 IPS 4 dengan tatapan dingin, cepat sekali Barra mengendalikan emosi. Seolah tidak ada gemelut dalam dadanya.

Dini bangun, berjalan tergesah-gesah tanpa menatap siapa pun. Langkahnya penuh pengawasan dari orang-orang yang ingin tahu. Sementara Nara menghela napas, sepertinya ini akan menjadi sesuatu yang rumit.

Taman belakang perpustakaan menjadi tempat bagi ketiganya untuk duduk bersama. Menenangkan pikiran sebelum memulai pembicaraan. Nara dan Dini duduk di kursi taman bercat coklat, sementara Barra berdiri sekitar dua langkah di depan Nara dan Dini.

Dini bingung harus memulai dari mana. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Pandangan Nara dan Barra padanya sangat sulit untuk Dini nilai. Apa kedua orang itu marah? Atau justru akan membecinya?

"Barra," suara Dini tercekat. "Gue --"

"Biar gue dulu yang bicara," Barra memotong. Ia putar tubuhnya dan menatap tepat pada bola mata Dini. Dapat Dini rasakan keseriusan dari cara Barra menatap.

"Thank's buat perasaan lo ke gue, Dini," Barra berkata. Dini dan Nara menjadi pendengar. "Bukan hak gue untuk mendikte lo suka sama siapa. Karena setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai."

"Lo nggak marah sama gue?" tanya Dini ragu.

"Silakan lo suka sama gue. Itu hak lo. Tapi maaf, di sini gue juga berhak untuk suka pada seseorang yang hati gue pilih. Dan lo tahu pasti siapa orang itu. Dini, gue nggak minta lo berhenti. Tapi kebahagian lo bukan sama gue, cari seseorang yang lebih tepat untuk lo cintai."

Ya, Barra memang sangat bijak dalam menanggapi setiap hal. Tidak salah memang dia dipilih sebagai ketua OSIS. Sikapnya begitu tenang dan terkontrol.

Dini menunduk dengan sudut mata berair. Ini akhir dari kisah cinta diam-diamnya. Dini telah ditolak sebelum dia mencoba untuk melangkah maju. Barra meminta Dini mundur, maka akan Dini lakukan secara teratur.

"Maaf," cicit Dini.

"Cinta nggak pernah salah, Dini! Jadi simpan kata  maaf lo itu. Lo nggak salah di sini," Barra menatap Dini yang tak punya keberanian untuk balas menatap. Barra tahu hati perempuan itu sedang hancur.

"Gue nggak ada niat buruk pada hubungan kalian sekalipun gue suka sama Barra," Dini mengusap sudut matanya.

"Gue nggak tahu harus ngomong apa, Dini. Kenapa lo nggak pernah cerita tentang perasaan lo ke Barra?" Nara tidak mengerti jalan pikiran Dini.

Dini diam tidak menjawab. Dia hanya menunduk saja seperti seorang tersangka.

"Gue cuma minta satu hal sama lo, Dini. Coba hapus perasaan yang lo punya, karena hati gue cuma buat Nara."

Baik Nara dan Dini sama-sama berdetak karena pernyataan Barra. Dini tentu sakit hati. Sementara Nara merasa tidak pantas menerima cinta tulus dari Barra.

Dini bangun dari duduknya. Mengukir senyuman tipis dengan kepala yang tidak sepenuhnya tegak.

"Gue bakal hapus perasaan ini! Kalian tenang saja." Dini menutup percakapan mereka hari ini. Dia melangkah pergi terlebih dahulu.

Nara mengawasi punggung kecil Dini hingga tidak tampak lagi. Sumpah, Nara juga tidak tahu harus bersikap seperti apa. Selama ini dia meyakini bahwa Dini menyukai Kenan, bukan Barra. Namun kini temannya itu membuat pengakuan lain yang tentu diluar ekspetasi Nara.

"Gue sama sekali nggak lihat rasa cemburu di mata lo," kata-kata Barra mampu menarik dunia Nara.

Nara balas menatap Barra yang berdiri di depannya. Ia dongakkan kepala, posisi Nara masih duduk di kursi taman.

"Lo memang nggak ada rasa sedikit pun sama gue," tandas Barra.

-o0o-

"Ken, lo jadi ikut beasiswa itu?" Yogi menghampiri Kenan yang sedang santai di kantin fakultas.

"Hmm," gumam Kenan seadanya.

"Ah, kalau lo lolos, BEM bakal kehilangan ketua dong. Gue dengar si Novi juga ikut seleksi beasiswa. Wah, kalau lo sama Novi lolos terus belajar bareng di negeri orang, gue nggak bisa bayangkan apa yang terjadi. Awas cinlok lo berdua," kata Yogi ngawur.

"Ngaco lo! Gue baru jatuhkan berkas persyaratan pagi ini. Lolos syukur, nggak lolos ya berarti bukan rejeki," balas Kenan dengan nada enteng.

"Pacar SMA lo bakal tinggal dong kalau sampai lo pergi," goda Yogi.

Kenan melirik sinis kala Yogi menyinggung soal pacar SMA. Mendadak dia teringat Nara dan pertengkaran mereka saat bertemu terakhir kali. Hingga hari ini belum ada titik temu hubungan Kenan dan Nara. Bahkan Kenan belum mengatakan perihal beasiswa pada Nara. Dan mungkin tidak akan pernah Kenan katakan karena bagi Nara ini tidak penting.

Ponsel Kenan yang ada di atas meja bergetar. Menarik perhatian Kenan dan Yogi. Ada nama Dini tertera di sana. Segera Kenan angkat panggilan masuk tersebut.

"Halo?" sapa Kenan. Kemudian detik berikutnya Kenan berubah panik. "Dini, kamu kenapa nagis? Ada apa, hmm?"

Yogi melirik Kenan dengan pandangan penasaran. Menerka-nerka mengapa Kenan mendadak panik.

"Ya udah! Kakak bakal datang jemput kamu. Tunggu di sana," Kenan menutup telepon tersebut. Dengan buru-buru Kenan menyimpan ponselnya, kemudian meraih kunci mobil dan ransel yang tergeletak di atas meja.

"Kenapa?" tanya Yogi heran.

"Gue cabut duluan," Kenan menjawab seadanya.

"Terus gue ditinggal gitu aja?"

"Bayarin makanan gue kali ini, entar gue ganti," tanpa mendengar jawaban Yogi kaki Kenan melangkah pergi begitu saja.

"Iya! Eh, maksudnya nggak mau gue! Woi, Kenan, masa gue ditinggal kayak jomblo. Mana disuruh bayar makanan lagi. Kenan! Elaaah, si kampret!"

Tbc

Aku punya rekomendasi cerita dari arizkiaaja yang judulnya CINTA ITU FITRAH. Dijamin bakal bikin baper sebaper bapernya. Mari mampir ~~

Coba aku minta kritik dan saran dulu sama cerita ini 👉

Oh iya, ayo putar mulmed. Ada lagu dari Kenan buat Nara yg kekanakan. 😊

⚠Typo is wow
Awas ada wow⚠

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top