Part 36 - Tentang perjuangan
Beberapa hal memang tidak bisa diwujudkan
Salah satunya memaksamu menyukaiku.
__
Nara keluar dari dalam kamar dengan penampilan rapi bersiap untuk berangkat sekolah. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai tanpa hiasan apapun. Sementara tubuh mungil Nara dibalut seragam sekolah khas siswi SMA.
Dengan ragu Nara menghampiri Barra yang datang menjemput ke rumah. Laki-laki itu sungguh gigih. Jelas ayah Nara tidak menyukainya, namun Barra tetap datang ke kediaman keluarga Nara. Bahkan saat ini Barra berhadapan dengan ayah Nara yang asik membaca koran, ayah Nara tampak tidak peduli dengan kehadiran Barra.
"Barra," Nara duduk di sofa kosong.
Barra menoleh, kemudian tersenyum memelas. Seolah mengatakan bantu gue untuk meluluhkan hati bokap lo.
"Pa, aku sama Barra berangkat ke sekolah dulu," Nara angkat suara. Sejujurnya dia juga takut dengan sang ayah.
Rudi melirik tajam. "Sarapan dulu kamu!"
"Sarapannya di sekolah aja, Pa. Takut telat," Nara tersenyum ragu-ragu.
"Sekarang!" suara Rudi tegas dan tak terbantah. Dengan berat hati Nara bangun dari duduknya dan bergegas menuju dapur. Saking gugupnya Nara bahkan lupa untuk menawari Barra untuk ikut sarapan bersama.
Kini suasana kembali hening. Barra meneguk liurnya sendiri dengan susah payah. Saat berpidato sebagai ketua OSIS Barra tidak pernah segrogi ini sebelumnya.
Otak Barra yang jenius mencari topik pembahasan yang tepat. Kira-kira jenis obrolah seperti apa yang disukai ayah Nara? Ah, yang pasti bukan seputar artis Korea.
"Om, lagi baca apa?" Pertanyaan bodoh, jelas-jelas ayah Nara sedang baca koran. Barra mengutuk kebodohannya. Seharusnya dia diam saja.
Apa ayah Nara tidak mendengar perkataan Barra? Laki-laki dewasa itu sama sekali tidak menunjukkan gelagat akan merespons.
Dicuekin calon camer lagi. Nasib orang ganteng gini amat, batin Barra.
"Om, suka baca koran?" Barra kembali coba peruntungan untuk berkomunikasi.
Sialnya hal itu membuat Barra mati gaya. Ayah Nara menatap tajam sebagai jawaban. Menurut lo?! kurang lebih seperti itu arti tatapan ayah Nara.
Barra memalingkan wajah. Bukan bermaksud tidak sopan, Barra tidak tahan menatap mata ayah Nara yang lebih tajam dari pada silet. Barra garuk tengkuknya, ia merasa kikuk.
"Kalau masih sekolah itu lebih baik fokus saja belajar bukannya justru pacaran! Seperti Kenan yang tidak neko-neko," ujar Rudi tanpa menatap pada lawan bicara.
Barra menunduk. Tidak tahu harus merepons seperti apa.
"Masih bocah berani cinta-cintaan! Kalau kamu memang seseorang yang baik seharusnya kamu tidak mengajak anak saya pacaran. Tidak ada manfaat sama sekali!"
Saat kata-kata Rudi terlontar, di saat itu pula Nara kembali memasuki ruang tamu tempat ayahnya dan Barra berada. Perasaan kasihan menyelinap masuk ke dalam hati Nara melihat kondiri Barra. Laki-laki itu terlihat menyedihkan di hadapan sang ayah.
Seharusnya Barra tidak perlu berjuang seperti ini untuknya. Barra lebih baik berhenti saja untuk mendapatkan hati Nara, karena itu lebih baik daripada Barra harus dipermalukan.
"Barra, ayo kita berangkat," ajak Nara. "Kami berangkat, Pa," Nara berlalu pergi terlebih dahulu.
"Permisi, Om," pamit Barra sungkan. Dengan cepat Barra menyamakan langkah dengan Nara.
"Lain kali lo nggak perlu datang lagi ke sini. Papa nggak suka!" peringat Nara sambil terus melangkah. Matanya bergerak mencari keberadaan motor Barra.
"Motornya gue parkir di depan komplek. Karena gugup gue jalan dari depan komplek sampai sini buat ngulur waktu," Barra seperti mampu membaca pikiran Nara.
Nara menghena napas sambil melirik Barra dengan jengah. Tidak pantas Nara menerima perlakuan spesial ini. Rasa bersalah Nara semakin dalam, sudah sebaik ini dan dia masih tidak mampu mencintai Barra. Apa yang salah sebenarnya?
"Barra, lo nggak perlu lakuin --"
"Udah, ayo." Barra menarik tangan Nara dengan lembut, ia sengaja melakukan itu karena tidak ingin mendengar kata-kata penyesalan dari Nara. Atau kata ingin putus dari Nara. Atau kata lain yang akan menyakitkan.
Keduanya melangkah bersama, Barra enggan melepaskan genggamannya pada tangan Nara. Hangat dan terasa nyaman. Barra genggam semakin erat, kemudian Barra masukkan jalinan tangan mereka ke dalam saku depan jaket yang sedang digunakannya.
"Barra," Nara berusaha mengeluarkan tangannya dari saku jaket Barra. Namun laki-laki itu menggenggam semakin erat.
"Bentar doang," ungkap Barra santai.
Nara pasrah. Ia biarkan tangannya dalam genggaman dan saku jaket milik sang pacar. Nara tahu Barra melewati waktu yang sulit saat bersama ayahnya, ini cara laki-laki itu menenangkan diri.
Tanpa Nara dan Barra sadari Kenan berjalan beberapa meter di belakang mereka. Menyaksikan adegan yang terlihat manis itu dengan pandangan tidak baik-baik saja.
-o0o-
Hari ini cuaca sangat mendung. Awan hitam di atas sana berlomba menutupi langit yang seharusnya biru. Belum sampai Nara dan Barra ke sekolah hujan turun terlebih dahulu. Membawa butiran air yang beradu untuk mencapai tanah.
Barra menepikan motor di bawah pohon rindang yang ada di tepi jalan. "Lo basah?" Barra melirik Nara.
Nara mengusap tangannya. Udara cukup menusuk, membuatnya merasa dingin.
"Pakai ini," Barra pakaikan jaket warna abu-abunya pada Nara. Kini hanya seragam SMA yang membalut tubuhnya.
Nara membatu dengan mata yang tak lepas dari pergerakan Barra. Dengan penuh kelembutan Barra menarik resleting jaket pada tubuh Nara. Kemudian laki-laki menutupi kepala Nara dengan topi jaket.
Barra menertawai penampilan Nara yang terlihat menggemaskan. "Pacar gue kayak ikan buntel gini."
Nara cemberut. Mendelik kesal dan sesekali mencibir. Di saat seperti ini hatinya masih saja tidak bergetar.
-o0o-
Nara memasuki kelas dengan pakaian setengah basah. Suasana kelas 11 IPS 4 sudah tampak ramai, lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Nara berjalan menuju kursinya dan duduk tepat di sisi Dini.
"Nisa belum datang?" tanya Nara. Dia lihat kursi Nisa kosong.
"Udah. Lagi pergi ke kelas pacarnya. Maklumlah bucin," Dini menyimpan ponsel ke dalam saku roknya. "Jaket baru, nih."
"Punya Barra, tadi dia kasih pinjam karena kami kehujanan di jalan," jawab Nara sesuai dengan fakta.
"Oh, gitu. Hari minggu ini lo datang ke pertandingan Barra?" Dini mengalihkan topik.
Kening Nara berkerut penuh tanya pertanda tidak paham. "Pertandingan apa?"
"Lho, berarti Barra belum kasih tau ke elo. Dia tanding lari hari minggu ini, kemarin kami nggak sengaja ketemu di kafe. Dia ngundang gue buat datang. Harusnya gue rahasiakan ini dari lo karena Barra mau ngajak lo secara langsung. Lo beruntung bisa pacaran sama Barra, dia benar-benar menjaga perasaan lo," binar mata Dini tercipta untuk kesedihan dan kekaguman.
"Oh, jadi pertandingan lari itu hari minggu ini," balas Nara dengan nada tidak antusias.
"Kenapa respons lo nggak antusias gitu? Ini sesuatu yang besar untuk Barra, seharusnya lo semangat. Jangan bikin dia sakit hati, Nara!" Dini tidak suka dengan sikap Nara. Seakan-akan temannya itu tidak tertarik dengan kepentingan Barra.
"Terus gue harus gimana?! Lompat-lompat girang?!" debat Nara.
"Jangan sampai Barra ngelihat sikap lo yang begini. Barra selalu antusias pada setiap hal yang berhubungan sama lo, harusnya lo juga gitu. Sikap lo ini bisa bikin Barra sakit hati, lagi. Lo udah sering banget bikin Barra sakit hati. Lo sadar nggak sih dia berjuang mati-matian buat lo?!" Tanpa sadar emosi Dini tersulut.
Kening Nara berkerut penuh tanya. Ditatapnya Dini dengan pandangan heran. "Lo kenapa, sih? Kenapa nyolot?""
"Gue nggak suka sama sikap lo! Kalau ingin dihargai orang lain, terlebih dahulu lo harus menghargai," tegas Dini.
"Lo aneh!" Nara menatap marah. Temannya ini terlalu banyak bicara.
"Elo yang aneh. Egois. Mau menang sendiri. Lo keras kepala. Kasihan banget Barra punya cewek kayak lo," tandas Dini.
Jelas Nara tersinggung, sekalipun dia membenarkan semua kata-kata Dini. Perdebatan Dini dan Nara mendapatkan perhatian dari teman-teman satu kelas mereka, beberapa murid melirik secara terang-terangan.
"Lo kenapa sih, Dini? Nggak usah terlalu ikut campur sama hubungan gue sekali pun lo itu sahabat gue!" Nara menyerang, dia tidak mau harga dirinya diinjak-injak.
"Gue berhak ikut campur sebagai orang yang suka sama Barra. Gue cuma ingin memastikan dia dapat cewek terbaik."
"Apa?!" pernyataan Dini membuat jantung Nara berdetak dengan ritme yang tidak normal. Terkejut. Bukan hanya Nara, bahkan Barra yang baru saja memasuki kelas terkejut bukan main mendengar semua pengakuan itu.
"Apa maksud lo, Dini?" suara Barra terdengar tidak percaya.
Tbc
Iya, aku tahu aku memang kerajinan sering up :D
Selamat membaca aja buat kalian.
Kasih kritik dan saran di sini 👉
🚫typo is wow🚫
Awas ada wow 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top