Part 35 - Mana yang terbaik
Saat untuk mundur,
Hati sudah terlanjur hancur.
__
"Jadi Kak Kenan mau pergi?" Dini mengulang pertanyaan yang sama untuk kesekian kali.
"Masih belum pasti. Aku harus mempertimbangkan beberapa hal. Sejujurnya bukan beberapa hal, aku belum rela untuk jauh dari keluarga dan... Nara," Kenan tersenyum hambar.
"Keluarga Kak Kenan sudah kasih izin.
Sekarang masalahnya ada pada hati Kak Kenan dan Nara. Coba Kak Kenan bicarakan hal ini sama Nara. Tukar pikiran sama dia," saran Dini.
"Belum ada waktu yang tepat."
"Beruntung banget jadi Nara. Semua orang selalu cari waktu yang tepat untuk ungkapan sesuatu yang penting padanya. Orang-orang sangat takut kalau sampai Nara sakit hati. Ah, aku juga mau diperlakukan begitu," sorot mata Dini meredup.
"Nantinya akan ada orang yang mempelakukan begitu, seseorang yang sayang sama kamu. Yang takut kamu akan terluka dan begitu menjagamu. Tuhan itu baik, Dini!" Kenan coba meyakinkan Dini bahwa kebahagian itu ada untuk setiap orang.
"Kak Kenan, benar! Hanya belum waktunya aja. Huh, coba aja Barra bukan pacar sahabat aku sendiri," decak Dini.
"Harusnya aku yang mau curhat di sini, bukan kamu," Kenan mengingatkan tujuan awal mereka bertemu adalah untuk bertukar pikiran tentang kepergiaanya ke Australia.
"Iya, iya! Menurut aku sebaiknya Kak Kenan terima beasiswa itu. Ini untuk masa depan Kak Kenan, dan Nara akan ada di masa depan Kak Kenan nantinya. Jadi secara nggak langung kepergian Kakak ini juga untuk Nara.
"Bukan hanya itu, Kak. Coba beri ruang untuk hati Kak Kenan selama di sana nantinya. Nikmati hidup. Cari kesenangan, karena hidup ini bukan hanya tentang kesedihan cinta. Tapi jangan pernah lupa dengan tujuan, Kak Kenan," Dini menutup penjelasan panjangnya dengan tatapan meyakinkan.
Kenan menyentil kening Dini, membuat perempuan itu meringis. "Tumben kamu bijak."
"Dan aku tegaskan sama Kak kenan. Selama di Autrali nanti jangan kecantol sama cewek-cewek di sana. Ingat, ada Nara!" tegas Dini.
"Lah, kamu bilang cari kesenangan di sana. Kalau ada yang cantik, kenapa enggak?" Kenan memasang wajah polos.
Dini mencibir. "Ya, kalau itu terjadi paling Nara yang patah hati."
"Kenapa dia harus patah hati? Toh, kami nggak ada hubungan apa pun," debat Kenan.
"Karena Nara suka sama Kakak."
Kenan sontak tertawa lebar. Lucu sekali, bualan Dini terdengar lucu dan memuakkan.
"Ih, aku nggak becanda! Ini--"
"Udahlah, Dini! Aku lagi memantapkan hati untuk menerima beasiswa itu. Nara nggak ada rasa saja rasanya sangat sulit untuk pergi, apalagi kalau dia ada rasa. Benaran batal pergi aku," Kenan memotong perkataan Dini.
"Dasar para bucin!" cibir Dini.
"Anda juga bucin kalau Anda lupa soal itu," Kenan mendebat.
"Tapi aku serius, Kak. Nara itu kayaknya suka sama Kak Kenan karena aku pernah dengar Nara dan Barra berantem gara-gara Kakak," sorot mata Dini kembali serius.
"Kerena siapa dan apa?" Kenan ingin meyakinkan pendengarannya tentang penjelasan Dini.
"Karena Kak Kenan! Barra cemburu kalian terlalu dekat," tambah Dini.
Kenan mengehela napas. "Itu bukan berarti Nara suka sama aku! Barra cemburu karena aku dan Nara terlalu dekat? Hei, dia hanya orang baru di sini! Sementara aku dan Nara sudah kenal bahkan sejak kami kecil. Barra nggak bisa mengatur hubungan kami!"
"Kok jadi nyalahin Barra, sih?!" Tentu Dini tidak terima laki-laki pujaannya disalahkan.
"Lah, kenyataannya memang begitu. Barra sok ngatur!" Kenan tidak mau disalahkan.
"Tapi jangan salahin Barra juga dong! Barra udah banyak sakit hari karena Nara! Jelas-jelas ini salah Nara!" debat Dini.
"Lho? Kenapa jadi Nara yang salah? Barra saja yang terlalu cemburuan jadi cowok!"
Hei, ada apa dengan Kenan dan Dini? Mereka meributkan hubungan orang lain, saat yang memiliki hubungan saja tidak seheboh keduanya.
"Yang salah itu Nara! Titik!" Dini tetap ngotot akan pendiriannya.
"Yang salah -- tunggu dulu! Kenapa kita jadi berantem karena hubungan orang lain? Yang punya hubungan siapa? Yang repot siapa?" Kenan pada akhirnya menyadari kebodohannya.
"Kak Kenan, sih, bodoh," kata Dini santai sambil meminum jus jeruknya yang tinggal setengah gelas.
"Kita sama saja! Ah, kadang rasanya mau bebas dari kisah cinta dramatis ini. Pengen cari cewek lain aja yang mau langsung di bawa ke KUA," Kenan menghela napas pasrah sambil menyandarkan punggung pada kursi kafe.
"Ajak aku ajaaa," Dini menggoyangkan bahu, berlagak sok imut dengan suara manis.
"Ih, ogah!" Kenan menampilkan wajah jijik. Tentu saja ini hanya candaan.
"Awas aja kalau nantinya Kak Kenan suka sama aku! Aku tolak mentah-mentah baru tau rasa!" Kemudian Dini menyesap jus jeruknya hingga tandas.
-o0o-
Nara sengaja duduk di kursi depan teras rumahnya sambil memainkan ponsel. Sesekali ia melirik ke arah pagar rumah, menantikan seseorang yang seharusnya akan datang berkunjung sore ini.
Benar sekali, Nara menantikan Kenan. Laki-laki itu memiliki janji dengan sang ayah untuk jogging bersama. Namun, sudah satu jam lebih Nara menunggu Kenan yang tidak kunjung datang. Hari sudah pukul setengah lima sore.
Nara menghela napas. Menunggu memang sesuatu yang membosankan, hal yang paling menguji kesabaran.
Refleks Nara bangun dari duduknya saat Kenan memasuki area pekarangan. Laki-laki tinggi itu tampak keren sekalipun sedang memakai celana olahraga berwarna hitam dan kaos kuning. Serta sepatuh olahraga yang melindungi kakinya.
Kenapa nggak dari dulu gue sadar kalau kak Kenan ganteng? sesal Nara.
Kenan berjalan menghampiri Nara ditemani cahaya matahari sore yang menerpa. Kenan terlihat sangat tampan. Jambul kebanggaan Kenan melengkapi penampilan kerennya. Uh, jantung Nara kembali bergetar.
"Ke-kenapa lama banget baru dateng?" Sial, apa suara Nara terdengar gugup?
Kenan nyengir. "Baru pulang."
"Dari mana?" Nara ingin tahu.
"Nongkrong sama teman," jawab Kenan.
"Siapa?"
"Dini."
Ck, Nara mendecih dalam hati. "Oh," dan itu respons yang keluar dari mulutnya.
Nara kembali duduk. Perasaannya memburuk entah kenapa, bukan entah kenapa, tapi karena Dini. Nara menyesal menunggu laki-laki itu di depan teras rumah selama satu jam, sementara yang ditunggu asik jalan dengan perempuan lain.
"Om di mana?" Kenan duduk di kursi kosong.
"Nggak tau!" jawab Nara cuek.
Kenan mengangkat satu alisnya. Dingin banget.
"Kamu kenapa?" tanya Kenan.
"Nggak apa," lagi-lagi Nara terlihat tidak peduli.
Dasar, nggak peka!
Masalah terbesar kaum perempun hanya satu, terlalu sering kode. Ayolah para perempuan, kaum Adam itu bukan cenayang yang tahu jalan pikiran dan hati seseorang jika tidak diungkapkan.
"Nara," panggil Kenan yang coba membuka kembali komunikasi.
"Hm?"
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu," sambung Kenan.
Nara pura-pura tidak peduli dan asik dengan ponselnya. "Ngomong aja."
Kenan merasa tidak senang dengan respons yang Nara berikan. Bukan ini yang dia harapkan. Kenan ingin mengatakan perihal beasiswa ke Australia yang akan ia ikuti. Rasanya respons Nara terlalu cuek untuk sesuatu yang penting bagi Kenan.
"Nara, coba tatap aku selama sepuluh detik," pintah Kenan.
"Nggak mau!" tolak Nara tanpa berpikir untuk menerima.
"Apa perintahku terlalu sulit, Nara?! Aku cuma minta sepuluh detik waktu kamu," kesal Kenan yang merasa tidak dihargai.
"Aku bilang nggak mau!" Nara menaikan nada suara.
Kenan tercengang. Tiba-tiba ia merasa menyesal menjadikan Nara alasan untuk sulit pergi ke Australia. Perempuan ini sama sekali tidak menghargainya.
"Kenapa kamu selalu sinis untuk setiap hal yang berhubungan denganku, Nara?! Sikap kamu ini menunjukkan kalau aku seseorang yang sepele. Tidak pantas dihargai. Begitu?" Kenan berkata dengan suara dalam. Penuh rasa sakit hati.
Tubuh Nara menegang. Dia menoleh dari ponselnya, kini menatap Kenan yang juga balas menatap. Sorot mata Kenan lain dari biasa, tidak ada kebahagiaan di sana. Nara dapat menangkap kekecewaan dalam dua bola mata itu.
Sudah dua kali Kenan menatap Nara dengan cara seperti itu. Pertama di hari Nara ketahuan pacaran dengan Barra. Dan yang kedua saat ini.
"Kak Kenan," cicit Nara pelan. Kenan berlalu pergi tanpa pamit. Tak menoleh sama sekali ke arah Nara. Berjalan dengan langkah mantap menjauhinya.
"Kalau aja Kak Kenan tau apa yang aku rasakan," bisik Nara pada kegudahannya.
"Lho, kenapa Kenan pulang?" tanya ayah Nara bingung. Lelaki itu baru keluar dari rumah.
Nara hanya menghela napas sebagai jawaban.
Tbc
100 vote aja langsung aku post part berikutnya 😎
Banyak yg punya pikiran buruk sama Dini :v padahal kalau dilihat-lihat Dini di sini kasihan.
⚠Typo is wow
Awas ada wow ⚠
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top