Part 34 - Untuk Dini
Ketika logika mengalahkan rasa.
Aku dengan tidak tahu malu bersikap egois,
ingin memilikimu.
--
Barra memilih pulang dari rumah keluarga Nara dengan perasaan kecewa. Kehadirannya yang tidak diharapkan oleh ayah Nara membuat Barra berkecil hati. Kobaran semangat juang Barra padam begitu saja. Seolah menyerah adalah satu-satunya jalan.
Kini Barra duduk di salah satu kafe seorang diri. Hanya ada dia, kesedihan dan segelas kopi hitam dalam hidup Barra saat ini. Berulang kali helaan napas lelah lepas dari bibirnya.
"Kecewa karena Nara? Loyo banget muka lo!"
Kursi kosong yang ada di hadapan Barra di tarik. Dini duduk nyaman di sana. Mempersembahkan senyuman dengan aura positif pada Barra.
Barra balas tersenyum. Mengapa Dini selalu hadir saat dirinya terluka? Perempuan itu seolah menjadi penawar luka yang memang sengaja dikirimkan Tuhan.
"Dini," ucap Barra pelan. Seperti bisikan.
"Kalau ketua OSIS lagi galau begini ternyata kelakuannya. Duduk sendiri meratapi nasip di sudut kafe. Termenung seolah memikirkan masalah perekonomian yang semakin merosot. Dasar melankolis," cibir Dini dengan mata mendelik.
Barra tertawa ringan. Dini jelas menghinanya, namun entah mengapa itu terdengar seperti lelucuan yang memang pantas untuk ditertawakan. Barra raih kopi miliknya, menyesap pelan.
"Ngomong-ngomong lo benar-benar lagi sedih?" tanya Dini.
Barra angkat bahunya sebagai jawaban.
"Gue punya lelucon kalau lo mau dengar," Dini terlihat antusias. Senyuman tak kunjung pudar, berbanding terbalik dengan apa yang dirasakannya.
"Gue nggak yakin kalau itu bakal lucu." Barra meremehkan.
"Ck, gue lagi berusaha ngehibur lo! Seenggaknya dengerin dulu kek lelucon gue ini," decak Dini. Ekspresinya berubah bete, atau pura-pura bete lebih tepatnya.
Barra lagi-lagi tertawa. "Awas aja kalau nggak lucu!"
"Nggak jadi deh. Entar kalau lelucon gue garing lo nggak ketawa kan gue sendiri yang malu. Gue ini pendengar yang baik, lo bisa cerita sama gue tentang masalah lo. Itu pun kalau lo mau," Dini mengalihkan topik.
Barra menghela napas. Kemudian dia berkata, "gue nggak paham kenapa Nara begitu berpengaruh besar dalam hidup gue. Sulit banget untuk menaklukan dia dan hatinya. Dan Kenan jadi ketakutan tersendiri buat gue."
"Kenan cuma sebatas tetangga Nara," Dini meyakinkan.
"Tetangga? Ya, mereka cuma tetangga. Mereka nggak lebih dari tetangga, gue yakin hal itu. Tapi hubungan mereka bikin harga diri gue terluka. Ada satu ikatan yang bikin gue cemas, soal perasaan mereka," Barra menatap serius pada Dini sambil terus bercerita.
"Mereka terbiasa satu sama lain, hal itu yang buat mereka sulit untuk tidak saling mencari. Gue cuma orang baru di sini. Sial, bahkan bokap Nara lebih senang Kenan daripada gue," tambahnya.
"Kenapa lo nggak putusin Nara aja?" Dini memaki pertanyaan bodohnya.
Barra lagi-lagi mengehela napas untuk mengurasi beban yang ada di hati, nyatanya hal itu kurang ampuh. Barra tetap merasakan sesak yang cukup menganggu ritme kehidupannya. Sakit hati, namun ia tidak ingin terlihat lemah dan sedih.
"Sederhana aja, gue nggak mau putus karena gue ini bucin," nadanya terdengar bercanda.
Dini mencibir. "Ck, dasar! Gue nanya serius tau!"
"Gue sayang sama Nara. Gue akan coba berjuang semampu gue. Ya, kalau memang nggak jodoh nantinya, gue bisa apa? Gue nggak mungkin menentang takdir Tuhan," Barra melirik kopinya yang sudah dingin.
"Kira-kira nantinya jodoh lo siapa, ya?" tanya Dini dengan ekspresi berpikir. Berharap bahwa itu adalah dia.
Barra tertawa tingan, ketampanannya jauh lebih terlihat kala tawa terdengar. "Yang pasti bukan lo."
Dini tahu perkataan Barra hanya sebatas candaan, namun sebagai orang yang menyukai Barra jelas kata-kata Barra menyakiti hati Dini. Dan lagi-lagi Dini kehilangan kepercayaannya pada cinta.
"Gue juga nggak mau kali jodoh sama lo. Ganteng juga enggak," Dini mendelik sok kesal, tidak tampak kesedihan.
"Lo lucu banget, sih," lagi-lagi Barra tertawa karena perkataan Dini yang tidak bermanfaat.
Jantung Dini berdetak tak karuan. Keinginan terbesarnya untuk menghibur Barra telah terpenuhi. Dini bahagia bisa menjadi alasan tawa laki-laki itu. Seperti ini saja sudah lebih dari cukup untuk Dini. Cinta sebelah tangannya tidak terlihat menyedihkan.
"Oh iya, Dini, hari minggu ini gue ikut pertandingan lari. Bolehlah lo datang kasih semangat buat gue pakai suara toa lo itu. Lo mau datang?" tanya Barra.
Tanpa sadar Dini mengangguk semangat. "Pasti! Pasti gue datang," janjinya.
"Janji, ya! Lo orang pertama yang gue undang. Bahkan Nara aja belum gue minta untuk datang. Well, gue belum punya kesempatan untuk ngomong sama Nara." Terlihat Barra menyayangkan hal ini.
"Nanti gue ajak Nara," saran Dini.
"Jangan. Biar gue sendiri yang ngundang Nara, nanti jadinya nggak spesial lagi kalau lo yang ngomong. Lo hanya perlu datang hari minggu ini, pertandingannya di lapangan olahraga kota," Barra menyesap kopi dinginnya yang tidak seenak ketika hangat.
Dini menarik satu kesimpulan dari perkataan Barra, dia tidak sespesial Nara. Tidak apa-apa.
"Cabut, yuk. Lo bawa kendaraan? Biar gue antar lo pulang kalau memang nggak," tawar Barra.
"Lo duluan aja. Gue masih nunggu teman," Dini menyayangkan kesempatan bagus ini. Sayangnya Dini tidak bisa menerima tawaran Barra karena telah memiliki janji dengan seseorang.
"Siapa? Nara atau Nisa?" Barra menebak.
"Bukan mereka. Ada deh. Pokoknya gue udah janjian sama teman buat ketemuan di sini," jawab Dini sejujurnya.
Barra mengangguk. "Gue titip ini. Tolong lo bayarkan nanti," Barra memberi uang tukaran lima pulih ribu pada Dini.
"Cuma kopi, kan? Sisa uangnya buat gue, ya." Dini terima uang tersebut.
Barra bangun dari duduknya. "Iya, iya. Gue cabut duluan."
Dini membalas dengan anggukan. Ia mengiringi kepergian Barra dengan senyuman tidak rela. Waktu kebersamaan Dini dan Barra sampai di sini saja, padahal Dini ingin berdua lebih lama.
"Nggak bakal gue jajankan duit ini," ujar Dini senang.
Dini menyimpanan uang yang Barra berikan dengan hati-hati ke dalam dompet khusus miliknya. Menyatukan lembaran tersebut dengan lembaran lain, sudah dua lembar uang milik Barra yang Dini simpan. Apa pun yang terjadi tidak akan Dini belikan uang tersebut, sekalipun jika nanti ia sangat butuh untuk membeli kuota.
Lima belas menit Dini duduk sendiri. Ia masih setia menunggu seseorang itu. Beberapa kali pramusaji kafe menawarkan Dini untuk memesan sesuatu, namun Dini tolak dengan dalih masih menunggu seseorang.
Lima menit berikutnya penantian Dini berakhir. Seseorang menepuk pundaknya. Dini menoleh, akhirnya yang Dini tunggu datang juga.
"Lama banget," Dini cemberut.
Dia tertawa. "Lamaan mana dari pada nunggu seseorang buat peka?"
"Lagi nyindir nih ceritanya? Dasar Kenan kampret!" hina Dini. Oh tidak, Dini tidak sadar bahwa dia seberani ini untuk menghina seorang cogan.
Kenan tarik kursi untuk ia duduki. "Kok kasar? Eh, ini kopi siapa?" tunjuk Kenan pada kopi bekas Barra.
"Barra," jawab Dini singkat.
"Wah, ada wangi-wangi penikungan," Kenan menirukan gaya orang mengendus. Membuat Dini mencibir kesal. Bibirnya menekuk ke bawah secara tajam.
Kenan tertawa renyah.
"Jangan ketawa, ah! Entar aku nggak mau dengerin curhatan Kak Kenan baru tau rasa!"
"Lah, dia ngambek."
Tbc
Satu part penuh khusus untuk Dini :)
Kalian lebih suka Nara atau Dini?
Atau aku hehehe
🚫 Awas ada typo 🚫
Tunggu nextnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top