Part 33 - Perjuangan
Mengapa begitu sulit?
Padahal rasa kita bukan sesuatu yang rumit.
___
Barra menunggu di depan kelas Nara. Kebetulah hari ini adalah jadwal Nara piket harian. Bel pulang sudah berbunyi lima belas menit yang lalu.
"Nara," panggil Barra.
Nara yang baru keluar dari dalam kelas menghentikan langkah. Diikuti Nisa dan Dini yang juga keluar bersamnya.
"Hari ini gue nggak bisa nemani lo latihan," jelas Nara tanpa diminta.
Hati Barra meradang, ia ditolak bahkan sebelum memulai.
"Hari ini orangtua gue balik dari luar kota. Kak Kenan minta supaya gue langsung pulang," tambah Nara.
Oke, untuk alasan ini Barra terima kalau orangtua Nara pulang hari ini. Namun Barra tidak suka bagian Kenan meminta Nara untuk langsung pulang yang artinya Nara akan pulang bersama Kenan.
"Gue duluan," Nara melangkah pergi dengan tergesah-gesah sebelum Barra mencegah.
"Hati-hati," masih sempat Nara mendengar kata itu keluar dari bibir Barra.
"Kami duluan, Barra," Dini menatap prihatin pada Barra. Merasa kasihan melihat laki-laki itu.
-o0o-
"Mama." Nara berlari ke dalam pelukan sang ibu. Hampir dua minggu tidak bertemu membuat rasa rindu ibu dan anak itu memuncah.
"Kamu sehat, Sayang?" tanya Indah sambil mengusap punggung Nara.
Nara mengurai pelukannya. Memasang wajah nelangsa sambil menangguk. "Sehat."
"Bagaimana perjalanan kalian, Rudi?" Ayah Kenan ikut menyambut kepulangan orangtua Nara.
"Ah, cukup melelahkan. Ayo, kita masuk ke dalam saja," Ayah Nara mempersilahkan keluarga Kenan untuk masuk ke dalam rumah.
"Mari. Banyak yang harus kita bahas. Hari ini harga saham beberapa emiten unggulan di Bursa Efek sedang anjlok." Pembahasan ayah Nara dan Kenan tidak jauh-jauh dari masalah bisnis, uang dan politik. Dua lelaki dewasa itu hilang di balik pintu ruangan kerja ayah Nara.
"Rumah akan sepi lagi karena Nara pergi," ungkap Arum sedih.
"Nanti aku bakal sering-sering nginap kok Tante di kamar Kak Kenan," ceplos Nara.
"Hah?" Pernyataan Nara membuat orang-orang tercengang.
"Becanda. Di kamar aku maksudnya. Kan sekarang aku udah punya kamar sendiri di rumah keluarga Tante," Nara cengegesan.
"Kopernya sudah di turunkan dari dalam mobil, Tante?" tanya Kenan pada ibu Nara.
Indah menggeleng. "Nanti saja."
"Biar Kenan bantu," Kenan menawarkan diri. Dengan sigap bergegas menghampiri mobil milik keluarga Nara. Membuka bagasi belakang dan mengeluarkan satu koper ukuran besar.
"Nggak ada oleh-oleh, nih?" tanya ibu Kenan, Arum. Mereka kini memasuki rumah bersama-sama.
"Iya, Ma, aku juga mau oleh-oleh," Nara masih setia menempel pada ibunya.
"Nggak ada oleh-oleh. Semua serba sibuk jadi tidak sempat untuk beli ini dan itu. Nara, pergi tukar seragam sekolah kamu!" suruh Indah agar Nara segera mengganti seragam sekolahnya. Nara tidak menurut, ia justru ikut duduk bersama yang lain di sofa ruang tamu.
"Bagaimana tingkah Nara selama ditinggal? Anak ini tidak merepotkan, kan?" tanya Indah.
"Nggak sama sekali, Tante," jawab Kenan. Ia ikut bergabung setelah meletakkan koper orangtua Nara di sudut ruangan.
"Apa Nara sering keluar untuk pergi pacaran?" Indah menatap penuh selidik.
"Ih, Mama. Kenapa nanya gitu, sih?" Nara cemberut.
"Permisi."
Obrolan tersebut berhenti di sana. Sebuah suara mengalihkan fokus semua orang yang kini menoleh ke pintu utama. Nara mendadak takut melihat siapa yang datang bertamu ke rumah keluarganya.
Barra berdiri di ambang pintu. Dengan senyuman setengah yang menunjukkan bahwa Barra tidak begitu percaya diri. Namun mentalnya untuk bertemu orangtua Nara tidak perlu diragukan, karena itu ia ada di sini.
"Barra," cicit Nara tidak percaya.
Sorot mata Kenan menajam. Jelas dia tidak suka akan kehadiran laki-laki yang bernama Barra itu.
"Siang, Semua," Barra memasuki rumah tanpa dipersilahkan. Seragam sekolah yang sama dengan Nara menemani penampilannya. Barra datang dengan bekal buah jeruk.
"Mari duduk, Nak," Indah mempersilakan.
"Wah, siapa ini yang datang? Biar Tante tebak, kamu pacar Nara?" Arum bertanya mendahuli semua orang.
Barra tersenyum kalem. "Iya, Tante," jawabnya mantap.
"Ganteng banget kamu," ceplos Arum. Membuat Kenan merasa dongkol, apa ibu Kenan tidak sadar kalau laki-laki yang baru saja ia puji adalah saingan anaknya sendiri?
"Barra lo kenapa bisa ada di sini?" Nara pindah tempat duduk pada sisi kosong di samping Barra.
Barra tidak mendengarkan Nara, ia justru meletakkan bungkusan plastik putih berisi jeruk di atas meja. "Ini untuk Tante," kata Barra.
Indah tersenyum kaku, "tidak perlu repot-repot, Nak."
Ekspresi Kenan berubah kelam dengan cibiran samar keluar dari bibirnya. Pandai sekali si Barra itu cari muka di hadapan ibu Nara. Membuat Kenan merasa dongkol.
"Nak Barra ini ganteng sekali. Wajah bulenya turunan dari siapa?" tanya Arum antusias, Kenan semakin dongkol melihat binar mata sang ibu yang begitu memuja ketampanan Barra.
Barra terkekeh. "Tante, bisa saja. Papa ada darah Jermannya Tante."
"Coba saja wajah Kenan setampan kamu," Arum kembali memuji.
"Aku kurang tampan apa coba?" cibir Kenan. Hei, apa ibunya buta pada ketampanan Kenan yang sudah diakui satu fakultas bahkan kampus? Banyak kaum hawa antri untuk bisa dekat dengan Kenan.
Sebenarnya anak dari seorang Arum siapa di sini? Kenan atau Barra?
"Kak Kenan juga tampan, kok," Barra merendah.
"Masih lebih tampan kamu," kekeh Arum.
"Mama itu mamanya aku. Masa anak sendiri dijatuhin gitu harga dirinya," protes Kenan.
"Wah, ada yang tampan ini. Mirip aku." Ayah Kenan ikut bergabung di ruang tamu. Diikuti ayah Nara yang duduk di sofa single.
Nara melirik takut pada ayahnya, takut bahwa sang ayah marah akan kehadiran Barra. Ia menunduk dalam dan tidak berani menatap.
"Ini pacar Nara, Mas," ujar Arum pada pada suaminya, Mario.
"Jadi ini pacarnya Nara. Ya Tuhan, kamu ini dewa atau manusia? Ganteng banget, kayak ada bule-bulenya gitu," puji Mario.
Belum selesai Kenan kesal pada sang ibu, kini ayahnya sendiri ikut-ikutan memuji ketampanan Barra. Tolong ingatkan Kenan nanti untuk pindah kartu keluarga.
Mata ayahnya Nara menyorot datar. Pandangannya tertuju pada Nara dan Barra yang duduk saling bersebelahan. Membuat keduanya tegang. Tidak dapat Barra pungkiri bahwa ia gugup.
"Siang, Om. Saya Barra," Barra memperkenalkan diri pada Rudi, ayah Nara.
Rudi tak bereaksi. Ia tunjukkan senyuman tipis saja sebagai penghargaan. Rudi sejak awal tidak suka bahwa Nara pacaran, jadi jangan salahkan jika sikap yang ditunjukkannya dingin. Well, ini hanya bentuk rasa khawatir orangtua.
"Kenan, bagaimana kuliah kamu?" Rudi justru mengajak Kenan untuk berkomunikasi.
"Lancar, Om," sahut Kenan antusias. Merasa menang bahwa Rudi lebih memilih berbincang dengannya daripada basa-basi dengan Barra.
"Hebat kamu. Menjadi ketua BEM dikampus tapi kuliah tidak ketinggalan. Om bangga pada kamu," puji Rudi.
Ah, seharusnya Rudi saja yang menjadi ayah Kenan. Tidak seperti Arum dan Mario yang lebih memuji ketampanan Barra.
Barra merasakan kehadirannya tidak dianggap oleh ayah Nara. Sedih sekali, bahkan Barra belum memulai apa-apa tetapi sudah ditolak secara tidak langsung.
"Oh iya, Kenan, bagaimana kalau kita jogging sore ini? Om sudah lama tidak olahraga," tawar Rudi.
"Boleh saya gabung, Om? Kebetulan saya ini pelari di sekolah. Saya --"
Sayangnya belum selesai Barra berkata-kata Rudi sudah memotong terlebih dahulu. "Saya bertanya pada Kenan," katanya datar.
Kenan bersorak kegirangan dalam hati. Mendapat dukungan dari ayah Nara tentu saja membuatnya bahagia. Hati ayah Nara sudah ditangan hanya tinggal berjuang untuk hati Nara saja.
"Bisa, Om. Sore ini kita jogging keliling komplek," ujar Kenan.
Barra menghela napas. Ia tahu orang-orang kini menatap dengan pandangan kasihan padanya. Barra tidak pernah merasakan semenyedihkan ini sebelumnya. Ayolah, Barra itu seorang bintang sekolah yang selalu dieluh-eluhkan. Kini harga dirinya tergores untuk seorang Nara.
Tidak apa-apa.
"Barra sebaiknya lo pulang," ucap Nara dengan suara pelan. Nara tidak tega melihat Barra berjuang seperti ini untuk hatinya yang memang tidak untuk laki-laki itu.
"Apa harus?" Barra menoleh pada Nara dan menatap dengan intens. Coba untuk mengungkapkan segala kesedihanpada Nara melalui sorot mata.
Tbc
Gimana sama part ini?
Masih mau lanjut??
🚫awas ada typo🚫
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top