Part 31 - Jika aku pergi

Siapa pun dia yang buat kamu bahagia,
aku mengalah.
___

Dini segera berlari mencari tempat bersembunyi ketika melihat Barra akan keluar dari UKS. Sejak tadi ia bersembunyi di luar pintu UKS dan mendengarkan perdebatan antara Nara dan Barra, tanpa sengaja. Awalnya Dini mencari keberadaan Nara, lalu seorang murid mengatakan bahwa ia melihat Nara pergi ke UKS.

Mata Dini mengawasi punggung Barra yang berjalan semakin jauh. Dini tidak suka melihat seseorang yang ia suka sedih seperti itu. Andai dapat melakukan sesuatu untuk mengembalikan mood Barra pasti akan Dini lakukan.

Dini memilih untuk masuk ke dalam UKS, ia temukan Nara sedang duduk termenung di kursi yang di sana. Teman Dini itu persis seperti seseorang yang bingung akan tujuan hidupnya.

"Nara," panggil Dini.

Nara tersentak, ia tatap Dini dengan pandangan sayu.

"Lo ada masalah sama Barra? Maaf kalau gue ikut camput, tanpa sengaja tadi gue dengar semua percakapan kalian," Dini menarik kursi kosong untuk dirinya. Kursi yang biasa digunakan oleh murid-murid yang ingin berobat pada petugas UKS.

"Dia kecewa sama gue," jawab Nara. "Gue udah nyakitin hati cowok sebaik Barra. Gue nggak bisa bohong sama perasaan gue sendiri, gue nggak ada rasa pada Barra "

"Kenapa dulu lo terima Barra kalau memang lo nggak suka?! Karena masalah ini juga lo sampai berselisih sama orangtua lo!" Dini tidak habis pikir dengan jalan pikiran Nara.

"Dulu gue terlalu bersemangat. Gue ingin tahu gimana rasanya punya pacar. Gue cuma ingin seperti anak-anak lain yang punya kisah cinta remaja. Nyatanya nggak seindah yang gue bayangkan. Gue salah bermain-main sama perasaan seseorang." Sudut mata Nara berair.

Nara mulai mengingat kejadian-kejadian dalam hidupnya. Saat dia berselisih dengan sang ayah yang sangat disiplin. Saat dia yang begitu bangga ketika satu sekolah mengatakan kepantasannya bersanding dengan Barra. Dan saat ia berpikir bahwa ini semua akan berjalan indah.

"Gue juga salah karena tidak mengingatkan lo sebagai seorang sahabat. Sekarang banyak yang hatinya tersakiti," termasuk gue, Dini membatin.

"Kalian berkelahi karena Kak Kenan? Lo benar suka sama Kak Kenan?" Pertanyaan Dini membuat Nara kembali terhempas pada kebimbangan terdalam.

Nara menggeleng sebagai jawaban. Tidak mungkin mengakui rasa sukanya di hadapan seseorang yang juga menyukai Kenan. Ya, masih tercatat jelas dalam benak Nara bahwa sahabatnya itu sangat menyukai Kenan.

"Jangan bohong!" tegas Dini.

Nara lagi-lagi menggeleng tidak ingin mengakui.

"Jangan bohong, Nara! Kalian bertengkar karena Kak Kenan," Dini tak habis pikir mengapa Nara tidak ingin mengakui perasaannya. Dan Dini melupakan fakta bahwa ia pernah membuat pernyataan palsu tentang perasaannya pada Kenan.

"Kak Kenan bukan masalah utama. Barra terlalu cemburuan," sanggah Nara. "Barra nggak mau putus dari gue. Katanya dia masih mau berjuang sekali dan lebih keras lagi untuk hati gue."

Untuk urusan hati harus Nara akui bahwa Barra benar-benar kuat. Saat laki-laki itu mengetahui bahwa hati Nara sebenar tidak padanya, Barra justru memilih untuk tetap bertahan. Karena bagi Barra lebih mudah bertahan dari pada harus berpisah.

"Dia benar-benar sayang sama lo, Nara. Jangan lo sia-siakan Barra. Jangan buat dia sakit hati lagi. Lo harus coba untuk benar-benar tulus suka pada Barra," kata Dini.

Bagi Dini tidak lagi penting rasa cintanya. Sakit hati Dini akan ia simpan sendiri, dan akan menghilang seiring berjalannya waktu. Pengalaman sakit hati mengajarkannya untuk memastikan bahwa orang-orang di sekitarnya tidak sakit hati.

"Dan gue mau lo jujur tengang perasaan lo sendiri terhadap hati lo dan orang yang memiliki hati lo itu," tambah Dini.

"Saat ini gue hanya mencintai diri gue sendiri," Nara masih enggan untuk mengakui perasaannya di hadapan Dini.

-o0o-

"Kenan, lo dipanggil sama ketua jurusan ke kantornya," salah seorang teman Kenan datang menghampiri.

Kenan saat ini sedang asik nongkrong di taman fakultas bersama beberapa teman organisasi, termasuk Yogi. Membahas masalah yang memang pantas di bahas oleh mahasiswa pada umumnya, seperti politik dan ekonomi.

"Oke, gue segera ke sana," Kenan raih tas ransel hitamnnya yang tampak ringan. Hari ini dia hanya membawa beberapa lembar makalah saja.

Kenan menemui dosen itu sesuai dengan perintah di kantor ketua jurusan. Seorang bapak berusia empat puluhan yang duduk di balik meja menyambut kedatangan Kenan.

"Permisi, Pak," Kenan memasuki ruangan dan duduk di salah kursi yang ada di hadapan si dosen. Hanya meja persegi yang kini memisahkan keduanya.

"Akhirnya kamu datang juga. Bapak sudah menunggu kamu sejak tadi. Ah, rasanya saya tidak sabar ingin memberi tahu kabar bagus ini pada kamu," si bapak tampak sumringah.

Kenan tatap dosen yang biasa di sapa Pak Anto itu dengan tatapan penuh tanya.

"Ini kesempatan yang bagus untuk kamu," Pak Anto menyerahkan selembar kertas brosur serta sebuah formulis pada Kenan.

Kenan terima kertas tersebut. Ia membaca judul teratas yang bertuliskan BEASISWA SUPERSMART.

"Ini beasiswa ke Australia untuk jurusan Ekonomi. Fakultas merekomendasikan kamu untuk mencoba beasiswa ini, kamu memenuhi semua kriteria yang ada di persyaratannya. Jangan sia-siakan kesempatan ini, Kenan," Pak Anto menjelaskan dengan penuh rasa bangga.

Kenan meneliti brosur tersebut. Membaca persyaratan yang tertera dan memang ia mampu untuk memenuhinya. Kesempatan belajar selama dua tahun di Australia, terdengar begitu mengiurkan. Namun ada beberapa hal yang harus Kenan pertimbangkan terlebih dahulu.

"Tapi masa jabatan saya sebagai ketua BEM belum selesai, Pak," Kenan berdalih. Sesungguhnya bukan ini pertimbangan utamanya.

"Hidup ini penuh pilihan, Kenan. Jika kamu memilih pergi maka kamu harus meletakkan jabatan kamu. Dan jika kamu memilih untuk tinggal, maka kamu akan kehilangan kesempatan yang bagus ini," Pak Anto menjabarkan.

"Kampus dari seluruh Indonesia pasti ikut seleksi beasiswa ini. Saya rasa --"

"Jangan pesimis! Di situ tertera bahwa kamu hanya perlu membuat satu karya ilmiah mengenai isu perekonomian yang terjadi saat ini sebagai syarat utama dan penentuan. Saya rasa itu bukan hal sulit untuk kamu. Kemampuan bahasa asingmu juga sangat bagus," Pak Anto tidak meragukan kemampuan Kenan.

"Saya perlu waktu untuk mempertimbangkannya, Pak," sahut Kenan dengan nada rendah hati.

"Jangan terlalu lama berpikir. Fakultas dan jurusan akan mendukung kamu sepenuhnya."

-o0o-

Nara keluar dari dalam kamar dan menghampiri Kenan yang duduk di sofa ruang tamu. Laki-laki itu sibuk mengetik di laptop, entah tugas apa yang sedang Kenan kerjakan.

"Kak Ken," Nara duduk pada sisi kosong di sofa yang sama dengan Kenan.

"Hmmm?" sahut Kenan.

"Kak, nanti malam aku mau keluar jam 8," ujar Nara ragu.

Kenan melirik. "Mau ngapain?"

"Mau kerja kelompok sama teman-teman," jawab Nara jujur.

"Kerja kelompok? Kenapa harus malam? Kerja kelompok bisa sore."

"Kesepakatannya memang jam 8 malam," sahut Nara.

"Oh, ya?" Kenan masih serius dengan laptop.

Dari perkataan Kenan sepertinya Nara tidak akan mendapat izin. "Dan kenapa harus jam 8 malam? Itu terlalu lama."

"Ya suka-suka kelompok aku lah!" sahut Nara sebal. Nara mendumel dalam hati, kenapa dia bisa menyukai laki-laki seperti Kenan ini?

"Nggak boleh! Kalau mau kerja kelompok di sini saja supaya kamu nggak keluar malam. Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu, apa yang bakal aku bilang ke om Rudi nantinya?"

Nara menghela napas. Perkataan Kenan tidak dapat dibantah. Memilih untuk tidak pergi adalah jalan terbaik jika tidak ingin berdebat dengan Kenan, ditambah lagi Kenan membawa-bawa nama ayahnya.

"Nara," Kenan behenti sejenak mengetik di atas laptop.

"Apa?!" sahut Nara jutek.

"Kalau Kakak pergi jauh kira-kira ada yang nyariin nggak, ya?"

"Dih, siapa coba yang mau nyariin? Berharap banget bakal ada yang cari," cibir Nara.

"Kamu misalnya," Kenan berkata asal.

Mendadak Nara menjadi mati gaya. Salah tingkah dengan mata bergerak gugup. Jika Kenan mengatakan ini sebelum Nara menyadari perasaannya, pasti perkataan Kenan bukan sesuatu yang akan berdampak besar pada hati Nara. Namun, kini ceritanya berbeda.

Nara berdebar.

"Aku nggak bakal kecarian tuh," Nara berkata sok ketus. Menutupi gugup serta getaran perasaan yang ia miliki.

Dan senyuman paham terbit pada bibir Kenan.

Tbc

Sampai sini masih betah sama cerita ini??

Oh iya, aku punya cerita yang judulnya OH MANTAN! Dan tentu saja genrenya masih teenfict. mari cek di lapak sebelah 👉👉

🚫typo is wow 🚫
Awas ada wow 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top