Part 29 - Tidak bahagia
Setiap langkah membawa kita berpisah.
--
Kenan tengah bernegosasi dengan seorang bapak pemilik mobil yang tidak sengaja Dini tabrak. Mobil tersebut tampak rusak di bagian depan, hanya penyok sedikit.
Kenan percaya masih ada orang baik di muka bumi ini, salah satunya adalah si bapak pemilik mobil berwarna hitam. Bapak itu tidak memperpanjang masalah, Kenan hanya perlu membayar biaya perbaikan mobil saja.
"Maaf sekali lagi, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja," sesal Dini.
"Iya, Nak. Lain kali hati-hati kalau bawa motor. Beruntung ini cuma kecelakaan kecil. Nyawa kita hanya satu jadi harus dijaga baik-baik," peringat bapak itu.
Dini menangguk. Merasa bersalah karena tidak hati-hati saat berkendara. Beruntung Dini menabrak mobil seseorang yang baik, dan di jalanan sepi sehingga tidak menimbulkan keributan.
"Kamu bukan super girl yang punya nyawa banyak. Kebiasaan kamu yang suka bawa motor ngebut harus diubah!" tegas Kenan.
"Dengerin apa kata pacar kamu," ceplos si bapak.
Dini dan Kenan terkejut. Sama terkejutnya dengan Nara yang sejak tadi hanya menjadi pendengar yang baik. Lidah Nara ingin membantah perkataan si bapak namun tidak terungkapkan, tertahan dan pada akhirnya Nara diam saja.
Dini menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Errr, dia bukan pacar saya, Pak."
"Ah, masa? Nak Kenan kelihatan khawatir sekali atas insiden ini. Tidak mungkin dia hanya sekedar teman kamu," si bapak menatap Dini dengan pandangan tidak percaya.
Kenan melirik pada Nara, ingin tahu seperti apa reaksi Nara. Perempuan itu tampak termenung, seperti seseorang yang sedang bingung akan pikirannya sendiri. Kenan tidak dapat menerka apa yang ada dalam pikiran Nara saat ini.
"Bukan, Pak. Kak Kenan ini hanya teman saya. Saya mah jomblo tulen," canda Dini. Membuat si bapak tertawa.
"Baiklah kalau begitu saya pamit dulu. Saya harus segera ke kantor, ini sudah sangat terlambat," si bapak pamit.
Sebelum bapak pemilik mobil itu pergi Dini meminta maaf sekali lagi. Tak lupa Dini mengucapkan terima kasih dengan tulus atas kebaikannya.
"Makasih ya Kak udah mau nolongin aku. Aku takut telepon ke rumah tadi, takutnya Mama marah dan nggak kasih aku untuk pake motor lagi. Jadi aku cuma kepikiran untuk hubungi Kak Kenan," jelas Dini pada Kenan selepas bapak pemilik mobil meninggalkan mereka.
"Selama masih bisa dibantu, pasti dong dibantuin. Aku juga panik waktu kamu bilang terlibat kecelakaan. Untungnya kamu nggak apa-apa. Makanya, lain kali itu bawa motor jangan ngebut. Kamu pikir, kamu titisan Valentino Rossi?" Kenan mengomel panjang lebar.
Dini menampilkan cengiran polos tak berdosa. "Buru-buru Kak karena takut telat makanya tadi ngebut."
"Alasan!" cibir Kenan.
Ini perasaan Nara saja atau bagaimana? Nara merasa tidak dianggap di sini. Kedua orang itu seolah-olah tidak menganggap Nara sebagai seseorang yang perlu untuk diajak berkomunikasi. Mereka asik dengan dunia mereka.
"Ayo, biar Kakak antar kalian berdua ke sekolah," ajak Kenan.
"Tapi motor aku gimana? Motornya nggak mau nyala," Dini menunjuk motor putihnya yang terparkir di pinggir jalan. Motor itu lecek sedikit dibagian depan.
"Motor kamu aman. Nanti biar orang bengkel langganan Kakak yang ngurus," Kenan menawarkan.
"Siap!" balas Dini semangat.
"Nara, ayo berangkat," kata Kenan.
Masih ingat ternyata lo kalau gue ada di sini, nyinyir Nara dalam hati.
"Ayo," sahut Nara singkat. Ia berjalan terlebih dahulu menuju mobil Kenan. Perih di kakinya akibat terjatuh tadi lagi-lagi terasa. Nara meringis pelan.
"Tunggu dulu!" suara Kenan mengudara, sarat akan kepanikan. "Luka kamu berdarah," lanjut Kenan.
Akhirnya sadar juga Kak Kenan kalau kaki aku berdarah, Nara melirik bercak darah di kaos kaki putihnya.
"Siku kamu berdarah," Kenan memeriksa siku Dini. Tergores cukup parah di sana.
Nara segera menoleh. Dilihatnya Kenan sibuk memeriksa siku Dini yang terluka. Satu ujung bibir Nara tertarik ke atas, ia tersenyum getir. Ada denyutan sakit di sudut hatinya.
Begilah adanya takdir. Harus tetap tersenyum walau sedang terluka. Harus tetap bahagia saat bersedih. Nara tidak akan menunjukkan kesedihannya dan ... rasa cemburunya.
Cemburu? Untuk apa?
Dini terdengar meringis. "Luka ringan kok," elaknnya.
"Ringan sih ringan! Tapi ini nggak bisa dianggap sepele. Kalau infeksi bagaimana? Kita cari klinik dekat sini untuk bersihkan luka kamu," perkataan Kenan terdengar tegas. Tidak terbantahkan.
-o0o-
Terkadang Nara merasa tidak ada yang membutuhkannya. Terkadang Nara merasa tidak ada yang menginginkannya, dan tidak ada yang peduli. Nara terlalu menutup mata akan kebahagiaan kala ia sedang bersedih. Membuatnya merasa sangat menderita dan tersiksa sendiri.
Hari ini Nara sedih. Perasaannya nelangsa melihat Kenan bersama Dini. Sahabat Nara yang satu itu sukses membuat Kenan panik sehingga menarik semua perhatian laki-laki itu hanya pada Dini, dan Nara terlupakan.
"Udah aku bilang ini cuma luka biasa dan nggak perlu di bawa ke klinik," Dini sudah mengatakan ini berulang kali sejak mereka pulang dari klinik. Kini luka di sikunya sudah dibersihkan, tidak ada yang serius.
Satu-satunya yang terluka parah di sini adalah hati Nara. Dia benci berada dalam situasi di mana Kenan dan Dini saling berbagi perhatian.
Nara diam saja, menikmati jalanan menuju sekolah melalui kaca jendela mobil Kenan. Sekarang pukul setengah sepuluh pagi, sudah sangat terlambat untuk masuk sekolah.
"Kak, gimana kalau aku dan Nara bolos aja hari ini? Udah terlambat banget untuk datang ke sekolah," rajuk Dini. Ia condongkan kepalanya ke arah depan, posisi Dini dan Nara saat ini duduk di kursi belakang sementara Kenan menyetir.
"Harus tetap sekolah! Nggak boleh bolos!" tegas Kenan tak terbantahkan.
Dini kembali menyandarkan punggungnya, lalu ia mencibir. "Nggak asik banget."
Kenan melirik Nara melalu kaca spion. Perempuan yang satu itu tidak banyak banyak bicara, tidak seperti Nara yang biasa.
"Na --"
"Woooaa, Kak Kenan, Nara, ada kafe bagus baru buka. Itu!" Dini memotong perkataan Kenan tanpa sadar. Jarinya menunjuk ke salah satu gedung yang baru saja mereka lewati.
"Mampir ke sana, kuy," tawar Dini. Rupanya ia masih tidak menyerah agar Kenan membiarkan mereka untuk bolos.
"Sekolah!"
Perkataan Kenan lagi-lagi membuat Dini merasa dongkol. Dini bergerak heboh untuk mencari posisi nyaman, tak sengaja sikunya yang terluka terbentur pada pintu mobil.
"Assh," Dini meringis perih.
"Dini, bisa nggak sih kamu tenang sedikit? Luka kamu masih belum kering jangan buat luka yang baru lagi," omel Kenan.
"Sejujurnya luka ini nggak sakit, Kak. Hati aku terluka lebih dalam dari ini," Dini berujar dengan nada dramatis.
"Buceeen," cibir Kenan.
Dini tertawa. Kenan juga ikut tertawa. Dan Nara hanya menjadi penikmat tawa mereka. Nara ingin ikut bahagia dan tertawa bersama Kenan dan Dini. Namun Nara tidak bisa!
Sangat sulit untuk pura-pura bahagia melihat kebersamaan Kenan dan Dini. Perasaan sesak ini membuat Nara menyadari bahwa dia cemburu bukan sebagai seorang adik atau tetangga. Nara cemburu untuk seorang laki-laki pada perempuan.
Nara menyadari bahwa ia menyukai Kenan. Degupan keras dan rasa cemburu yang ada tidak pernah Nara rasakan pada Barra, meyakinkannya bahwa rasa suka ini nyata.
Lalu apa yang harus Nara lakukan pada perasaan ini? Kenan belum tentu menyukainya. Ada Barra yang selalu ada untuk Nara. Dan ada Dini yang harus Nara jaga perasaannya.
Tbc
Yap, nggak terasa udah part 29 ☺
Kasih kritik dan saran untuk part ini 👉
Komen yang buanyaaak biar cepat up 😁😁
🚫typo is wow🚫
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top