Part 28 - Yin dan Yang

Ada sesuatu yang aku rindukan,
Entah itu kamu, kita atau cerita kemarin.
---

Nara berguling-guling di atas ranjang. Tangannya menggenggam ponsel yang  digunakan untuk mencaritahu tentang Yin dan Yang.

Nara mengetik kata Yin dan Yang dimesin pencarian google. Nara mengklik salah satu artikel. Membaca sekilas saja apa yang ada di artikel tersebut.

"Yin dan Yang adalah sebuah filosofi yang dipercaya oleh masyarakat Tiongkok, yang menjadi dasar pada berbagai bidang termasuk pengobatan dan bela diri."

Nara melempar ponselnya ke sisi ranjang. "Kak Kenan mau gue belajar belajar bela atau gimana?"

Nara mendengus sebal, ia tidak melanjutkan untuk membaca alinea berikutnya hingga tuntas. Menurutnya itu artikel yang membosankan. Untuk apa Kenan meminta Nara mencari tahu hal membosankan tentang makna Yin dan Yang.

Dan lagi pula Nara sedang sebal pada Kenan. Seenaknya laki-laki itu mempermainkan perasaannya. Menyuarakan rasa suka yang hanya sebatas candaan. Ck, itu tidak lucu!

Yin dan Yang mempunyai arti bahwa sesuatu hal tidak dapat berdiri sendiri tanpa di dampingi hal lain yang saling bertolak belakang. Seperti baik dan buruk, hitam dan putih, atau laki-laki dan perempuan. Dengan dua sisi yang berdeda tersebut maka kehidupan akan berjalan dengan seimbang.

Yin dan Yang mengambarkan makna kehidupan yang sesungguhnya. Lambang hitam dengan bulatan putih disatukan dengan putih dengan bulatan hitam, Yin dan Yang menggambarkan bahwa kehidupun memiliki sisi gelap dan terang yang salalu beriringan. Sesuatu tidak dapat berdiri sendiri tanpa didampingi yang berkebalikan.

Yin adalah gelap. Dan Yang gambarkan dengan sesuatu yang lembut. Meski filosofi ini lebih dihubungkan dengan seni bela diri. Namun Kenan berharap ia dan Nara seperti Yin-Yang, tidak dapat berdiri sandiri tanpa didampingi satu sama lain walau mereka bertolak belakang.

-o0o-

Barra mengusap kaca spion motor miliknya. Sesekali Barra memperbaiki tatanan jambulnya agar terlihat semakin menawan. Tak lupa Barra melatih senyuman yang nanti akan ditunjukkan di hadapan Nara.

Bukan tanpa alasan, hari ini sangat spesial bagi Barra. Tepat tanggal ini satu bulan yang lalu Nara dan Barra pacaran, terdengar sedikit lebay memang tapi Barra ingin melewati waktu yang indah dengan Nara. Satu buket bunga mawar telah Barra siapkan untuk Nara.

"Kak Kenan, tungguin."

Teriakan Nara terdengar. Barra menoleh ke sumber suara dan melihat perempuan itu berlari mengejar Kenan yang tampak berjalan dengan langkah panjang. Nara terlihat sangat bahagia dan menikmati moment bersama Kenan, perempuan itu tidak pernah sebahagia itu kala di sisinya.

"Kak Kenan yang sok ganteng, tungguin aku," Nara terus berlari.

"Ayo, cepat," sahut Kenan.

Barra hidupkan mesin motor, menutup helm full face-nya terlebih dahulu. Barra buang bunga yang akan ia berikan pada Nara sebagai bentuk kekesalan Barra melihat Nara yang begitu akrab dengan laki-laki lain.

Barra hanya anak SMA biasa, katakan ia terlalu berlebihan untuk perasaannya pada Nara. Ya, Barra tahu, hidup merupakan senda gurau yang harus selalu dinikmati, hanya saja ini adalah bagian dari keseriusan. Nara adalah keseriusan bagi Barra.

Barra memutar motornya, melaju pergi bersama kekecewaan dan meninggalkan perkomplekan rumah Nara.

"Kak Kenan, serius kita mau naik angkutan umum hari ini?" tanya Nara untuk kesekian kalinya.

"Hmmm," Kenan merasa jengah dengan pertanyaan Nara.

Hari ini Kenan dengan sengaja tidak membawa kendaraan, baik mobil atau pun motor. Bukan bermaksud jahat, Kenan ingin Nara sedikit lebih lama untuk sampai ke sekolah dengan begitu Nara tidak akan bertemu Barra pagi ini.

Kenan tidak suka jika mengingat ini adalah hari jadi Nara dan Barra. Ah, kekanakan sekali. Apa hari-hari seperti itu harus dirayakan?

"Kak, lima belas menit lagi aku telat. Kita masih harus jalan ke halte, belum lagi kita harus nunggu bis. Kalau aku sampai telat ini semua gara-gara Kak Kenan," Nara mengomel.

"Bawel banget, sih," cibir Kenan sambil melangkah lebar, membuat Nara lagi-lagi tertinggal.

"Kak Kenan, tungguin," Nara berlari mengejar Kenan.

Kenan melirik ke belakang, bukannya memperlambat langkah Kenan justru berjalan semakin cepat. Membuat Nara semakin mengomel tidak jelas.

"Kak Kenan, tungguin. Kalau enggak aku jatuh, nih. Jatuh, nih," Nara mengancam akan jatuh agar Kenan menunggunya.

Kenan tidak peduli dan sama sekali tidak menoleh ke arah Nara. Kenan tetap melangkah santai, menelusuri jalanan di bawah langit pagi yang cerah. Matahari masih tampak malu-malu memberikan cahayanya di atas sana.

Bruk!

Terdengar suara benturan. Refleks langkah Kenan terhenti.

"Nah kan, aku benaran jatuh. Gara-gara Kak Kenan sih nggak mau nungguin aku. Ini juga, siapa yang naruh batu di sini? Udah tahu aku mau lewat!" Nara meringis kesakitan.

Ternyata suara benturan keras itu adalah bunyi pantat Nara yang beradu dengan kerasnya aspal jalanan. Kenan menoleh ke belakang, melihat Nara yang mengomel-ngomel tidak jelas. Bahkan perempuan itu menyalahkan batu yang ada di depannya sebagai tersangka utama atas insiden jatuh tersebut.

Kenan tersenyum gemas melihat tingkah Nara. Ia bersiap mendekati Nara, namun ponsel yang ada di saku celana Kenan terlebih dahulu menghentikan langkahnya. Kenan mengeluarkan benda kecil persegi itu, ada panggilan masuk dari Dini.

Dini? Tumben sekali ia menelepon pagi-pagi begini.

"Huaaa, kaki aku lecet," pekik Nara heboh.

"Halo, Dini?" Kenan menempatkan ponsel di telinga kirinya.

"Apa?! Kamu di mana sekarang?" Kenan terlihat panik.

"Oke! Oke! Aku ke sana. Kamu jangan ke mana-mana sampai aku datang," peringat Kenan, lalu mematikan sambungan telepon tersebut.

"Kak Kenan, tolongin aku --" perkataan Nara menggantung di sana. Kenan berputar arah, berjalan menjauh dan semakin jauh.

Nara tatap punggung Kenan yang semakin hilang bersama jarak tanpa menoleh ke belakang. Untuk pertama kalinya Kenan berjalan berlawanan arah dengan Nara. Untuk pertama kalinya laki-laki itu tidak datang menghampiri Nara.

Apa yang lebih penting dari Nara saat ini bagi Kenan?

Satu-satunya hal yang hampir menjadi sesuatu yang penting bagi laki-laki itu selain Nara adalah, Dini.

Nara bangun dari jatuhnya. Terasa perih di bagian mata kaki Nara, ada bercak darah terlihat di kaos kaki putih Nara. Mata kakinya tergores kecil, namun cukup perih.

Apa Kak Kenan pergi karena Dini? tebak Nara.

Nara menunduk dan melangkah dengan lesuh. Rasa aneh kembali muncul setiap kali Kenan dekat dengan Dini. Ah, bukan dengan Dini saja. Nara juga merasa tak nyaman jika Kenan dekat dengan Novi atau perempuan mana pun.

"Nara, ya ampun, aku hampir aja lupa sama kamu," Kenan datang kembali dengan napas terengah-engah. Laki-laki itu seperti baru berlari.

"Ayo, kita balik ke rumah ambil mobil. Dini butuh bantuan kita," panik Kenan dan berjalan terlebih dahulu.

Nara menikmati kepanikan Kenan dalam diam. Kenan lagi-lagi meninggalkannya. Kaki panjang milik laki-laki itu berjalan berlawanan arah dengannya. Apa Kenan tidak tahu kalau kaki kecil Nara sulit untuk mengejar?

Nara singkirkan semua keegoisan, ia berlari mengejar Kenan yang melangkah dengan terburu-buru. Jika tidak ingin kehilangan, maka harus dikejar. Jangan lepaskan rangkaian jejak takdir yang ada. Luka di mata kaki Nara bukan sebuah masalah untuk menyamakan langkah dengan Kenan.

"Dini kenapa?" Kaki Nara bergerak cepat.

"Dini habis nabrak mobil orang. Itu anak memang nggak bisa hati-hati. Dia pasti bawa motornya ugal-ugalan. Udah dibilangin kalau berkendara itu pelan-pelan aja," Kenan mengomel tidak jelas.

Dan Nara menyadari bahwa Kenan kini bukan hanya miliknya lagi, bukan hanya pelindungnya lagi dan bukan hanya penyelamatnya lagi. Kini Kenan juga pelindung bagi Dini.

Tbc

Masih mau lanjut??? Mau??

Kasih kritik dan saran dulu untuk part selanjutnya 👉

🚫Awas ada typo🚫

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top