Part 22 - Memutuskan dan lepaskan
Kau tau, aku benci hadirmu.
---
Nara meletakkan tas ransel di kursi yang biasa ia duduki. Dini yang sampai terlebih dahulu ke sekolah tampak cuek akan kehadiran Nara. Ia sibuk memainkan ponselnya.
Nara duduk di kursi. Sama halnya seperti Dini, Nara juga bersikap cuek dan tidak mau tahu. Nara keluarkan ponselnya dan sibuk sendiri dengan benda canggih tersebut.
"Nara," tiba-tiba Barra hadir. Laki-laki itu mengukir senyuman hangat. Ia tatap Nara dengan lembut.
Dini melirik sekilas pada Barra. Coba untuk bersikap biasa walau hatinya ingin tahu segala gerak-gerik laki-laki itu. Dini masih begitu memuja Barra sekalipun Barra adalah pacar sahabatnya sendiri.
"Nara, gue ditunjuk sekolah untuk mewakili cabang olahraga lari dari sekolah kita dipekan olahraga tingkat SMA. Sore ini latihan pertama," wajah Barra terlihat sangat sumringah.
Barra ini ibarat paket komplik seorang manusia. Nilai akademiknya selalu menjadi yang terbaik di kelas. Untuk olahraga Barra juga tidak ketinggalan. Bahkan Barra merupakan salah satu pelari tercepat yang dimiliki SMA Panca Dharma.
"Selamat," Nara terseyum.
Barra mengangguk antusias. Saat diberitahu pelatih bahwa ia akan mewakili sekolah di cabang lari 1000 meter yang pertama kali terlintas dibenak Barra adalah memberitahu kabar ini pada Nara.
"Gue bahagia," kata Barra.
Nara dan Barra saling melempar senyum. Melupakan Dini yang tenggelam dalam luka. Luka pada sudut hati Dini semakin dalam. Perasaan iri dan cemburu melebur jadi satu, membuat sesak tidak tertahan.
"Nanti sore temani gue latihan, ya," Barra mengacak rambut pada puncak kepala Nara. Disaat yang bersama Nisa datang.
Melihat kearaban Barra dan Nara hal yang pertama kali Nisa pikirkan adalah perasaan Dini. Sudah pasti bahwa hati Dini tidak baik-baik saja, Nisa tahu itu.
"Dini, temani gue ke kantin dong. Gue belum sarapan, nih," ajak Nisa. Itu hanya dustanya saja untuk menyelamatkan Dini dari rasa sakit. Nisa sudah sarapan sebelum berangkat ke sekolah tadi.
Dini tidak merespons. Perempuan itu tampak termenung.
"Dini," Nisa mendekati Dini dan menyentuh pundak temannya itu.
"Hah?" Dini tampak bingung.
"Temani gue ke kantin," ulang Nisa.
"Oh, ayo," Dini bergegas bangkit. Berjalan terlebih dahulu diikuti Nisa.
Nara dan Barra mengikuti langkah keduanya dengan gerakan mata hingga mereka hilang di balik pintu kelas. Tak terlihat lagi.
"Dini lagi kurang sehat? Dia kelihatan nggak semangat," komentar Barra.
Nara mengangkat bahu pertanda tidak tahu. Bagaimana mungkin ia bisa tahu jika hubungannya dengan Dini tidak baik-baik saja? Tidak lagi saling berbagi cerita, canda dan tawa.
"Pulang sekolah gue tunggu di lapangan olahraga. Lo harus lihat betapa tampan gue saat jadi pelari," kata Barra, senyuman antusias tidak kunjung hilang dari bibirnya.
Nara mencibir. "Pelari dari kenyataan."
Barra tertawa ringan.
"Semoga lo menang di lomba kali ini. Gue selalu dukung apa pun yang terbaik untuk lo. Enak ya jadi lo, punya banyak bakat untuk modal masa depan. Nggak kayak gue," Nara mendengus sedih.
"Siapa bilang lo nggak punya bakat?" tanya Barra serius.
"Gue yang bilang, bahkan mama, papa dan bahkan Kak Ken --" Nara tidak melanjutkan kalimatnya.
"Kak Kenan?" tebak Barra.
Nara diam.
"Lo tahu kan Nara kalau gue cemburu semua hal yang berhubungan dengan Kenan. Gue harap lo menjaga jarak dengannya," beritahu Barra.
Menjaga jarak? Nara meringis dalam hati. Kemarin ia baru saja berbaikan dengan Kenan. Apa Barra akan marah jika mengetahui hal ini?
"Jangan terlalu akrab sama cowok itu. Maaf kalau menurut lo gue posesif. Tapi ini lah yang gue rasakan, gue nggak suka kalau lo selalu bersama dengannya. Gue takut lo lebih butuh dia daripada gue," jelas Barra.
"Dih, dasar posesif. Pacar gue cemburuan banget, sih," Nara coba mencairkan suasana. Nada suara Nara terdengar penuh canda.
Barra menghargai usaha Nara untuk melucu, ia balas dengan tawa ringan. Lagi-lagi tangan Barra bergerak menuju puncak kepala perempuan itu untuk mengacak rambut Nara.
"Ih, rusak nih rambut gue." Nara menjauhkan kepalanya dari jangkau Kenan.
Tiba-tiba Nara merasakan ponsel yang ia simpan di saku rok abunya bergetar. "Kayaknya ada chat masuk, deh." Nara mengeluarkan ponselnya.
Kak Kenan sok iya: Ke sekolah itu cari ilmu, bukan cari pacar!
Nara memaki dalam hati karena membaca pesan masuk dari Kenan. Matanya menatap sekitar dengan waspada, sudah lama rasanya Nara tidak diawasi oleh mata-mata Kenan sejak mereka berselisih.
"Chat dari siapa?" tanya Barra.
"Dari tukang sayur komplek. Katanya kenapa mama jarang beli sayur sama dia akhir-akhir ini," elak Nara.
"Hmmm?"
-o0o-
"Dini, gue paham gimana --"
"Oh iya, kita ada PR bahasa Inggris, kan? Ah, gue lupa kerjakan. Pinjem punya lo nanti," Dini memotong perkataan Nisa.
"Dini."
"Tadi malam gue nggak sempat belajar. Gue pergi keluar sama Kak Kenan dan Nara," Dini tersenyum miris. "Dan gue ditinggal gitu aja."
"Dini."
"Gue justru dititipkan sama temannya Kak Kenan untuk diantar pulang. Padahal kami berangkat bareng, dan mereka ngebuang gue gitu aja saat nggak dibutuhkan lagi. Bahkan gue nggak tahu kalau Nara akan ikut. Lo paham gimana terlukanya harga diri gue, kan?" cerita Dini.
Dini merasakan luka yang terpahit. Dini selalu berbesar hati namun takdir selalu membawa menuju kepedihan. Dini orang baik, tapi kenapa tidak pernah beruntung? Baik urusan cinta maupun pertemanan.
"Lo marah sama Nara?" tanya Nisa.
Dini membuang pandangannya. Suasana kantin cukup ramai pagi ini, tinggi matahari masih rendah. Para murid datang silih berganti untuk mengenyangkan cacing di perut masing-masing.
"Gue nggak punya hak untuk marah, Nisa. Gue putuskan untuk melupakan Barra. Lagi pula siapa gue berani memaksakan perasaan padanya?"
Kata orang cinta tidak harus memiliki. Dini ingin mengakhir drama ini sebelum semakin rumit untuk semua orang. Dini berperan sebagai orang yang disakiti oleh orang yang tidak ingin mengerti. Dibodohi oleh cinta sepihak.
"Gue bakal cari cowok lain," tekad Dini.
"Mau gue bantu cari?" tawar Nisa diiringi senyuman jail. "Gue punya banyak kenalan."
"Gue nggak percaya sama semua kenalan lo!"
"Ck," Nisa berdecak sebal.
"Nisa, lo harus rahasiakan soal Barra pada Nara. Cukup kita yang tahu soal ini. Gue nggak mau hubungan gue dan Nara semakin canggung. Biar saja dia tahu kalau gue suka sama Kak Kenan," jelas Dini.
Seperti apa pun sikap Nara padanya, Dini masih ingin membangun hubungan persahabatan yang baik dengan Nara. Karena Dini tahu Nara menyakatinya tanpa disadari oleh temannya itu.
"Hei, gue punya ide. Gimana kalau lo PDKT-an sama Kak Kenan aja," usul Nisa.
Sontak saja tawa Dini pecah. Dia akan menjadi pacar Kenan? Hal itu tidak pernah terlintas di pikiran Dini sebelumnya. Selama ini mereka hanya menjadi pasangan berbagi cerita saja.
"Nggak mungkim gue sama Kak Kenan jadi pasangan. Kak Kenan suka sama orang lain," ungkap Dini.
"Suka sama Nara?" tebak Nisa.
"Semudah itu lo tahu? Ya, Nara aja yang bodoh dan dia nggak sadar."
"Kita udah lama menerka kalau Kak Kenan suka sama Nara, bahkan jauh sebelum masalah ini terjadi," ujar Nisa sambil memeriksa ponselnya barangkali ada chat dari sang pacar.
"Dini, nggak ada salahnya kalau lo coba menjalin hubungan lebih dari sekedar teman curhat sama Kak Kenan. Lo juga berhak bahagia," tambah Nisa.
Membuat Dini termenung.
Tbc
Cepat kan up nya??
Seperti biasa, tinggalkan pendapatkan kalian tengang part ini.
Kalau komennya banyak aku bakal up lagi 😁😁
Ig: ami_rahmi98
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top