Part 21 - Tidak ingin kehilangan
Nara tersenyum tak jelas sambil melirik Kenan. Bibirnya tertarik ke atas secara sempurna menciptakan senyuman cantik. Lega sekali rasanya ketika Kenan mau berbaikan.
Kini mereka duduk bersama di taman kota. Meninggalkan acara makan bersama begitu saja.
"Kak, aku mau es krim dong," minta Nara sambil menunjuk pedagang bermotor dengan gerobak es krim yang berwarna merah.
"Nggak ada es krim! Udah malam!" jawab Kenan dengan fokus tertuju pada ponsel.
Nara mencibir pelan, kok masih nyebelin, sih?!
"Kak Ken, dari tadi sibuk sama HP terus. Chating-an sama siapa, sih?! Baru juga baikan udah bikin kesal aja," omel Nara dengan bibir monyong.
"Ini lagi hubungin Dini. Kasihan dia entar nungguin kita. Sekalian bilang ke Yogi supaya Dini di antar pulang," jelas Kenan.
"Dini udah gede kali. Dia tahu kok jalan pulang ke rumah."
Kenan melirik tajam. "Dini berangkat bareng kita. Harusnya dia juga pulang bareng kita. Nggak baik lepas tanggung jawab begitu saja."
"Iya, iya! Diceramahin deh aku. Kadang aku iri sama Dini, orang-orang mudah banget suka sama pribadi dia. Nggak kayak aku," komentar Nara.
"Hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang mungkin orang lain inginkan. Belajar bersyukur, Nara!" tegas Kenan.
Dari sudut pandang Nara, perempuan itu sangat ingin menjadi Dini yang sangat mudah bergaul. Sementara dari pihak Dini, juga demikian. Dini ingin menjadi Nara agar dapat bersama Barra.
Terkadang hidup memang sebercanda itu.
"Kak Kenan jajanin aku dong," bujuk Nara dengan memasang wajah seimut mungkin.
"Aku? Nggak pakai kata gue lagi, nih?" sindir Kenan tajam.
Nara mencibir. "Kenapa sih Kak Kenan nyebelin banget? Ih, harusnya papa nggak nitipin aku ke Kakak. Bikin naik darah tiap hari. Aku tambah tua nih jadinya. Kalau nggak mau jajanin aku bilang aja kali!"
"Mulut kamu benar-benar diciptakan nggak pake rem. Minta jajan tuh sama pacar kamu," sahut Kenan sambil menyandarkan punggungnya di kursi taman.
"Kalau Barra ada di sini aku minta jajan sama dia kali. Cuma masalahnya yang ada di depan aku sekarang Kak Kenan. Masa iya aku minta jajannya sama pacar mbak itu," Nara melirik pasangan kekasih yang duduk tak jauh dari mereka.
"Bawel! Bawel. Seharusnya Om Rudi nitipkan kamu ke KPK, korupsi kata," Kenan mendebat.
"Memangnya aku koruptor? Cantik gini malah dikatain. Liah nih, karena Kak Kenan kaki aku lecet gara-gara pake hells," adu Nara. Ia perlihatkan luka lecet di belakang kakinya.
Kenan melirik luka lecet tersebut. Namun hanya sekilas. Kenan memasang ekspresi tidak masalah yang membuat Nara jengkel. Kenan tetap bersandar santai pada kursi taman.
"Kak Ken, luka nih," Nara menunjuk-nunjuk luka di kakinya dengan gerakan mata, minta perhatian.
"Ah, nggak parah kok," jawab Kenan sekenanya.
"Kalau inpeksi, gimana? Terus kaki aku dianputasi, gimana? Hayo lho, memangnya Kak Kenan mau punya tetangga cacat?" Nara melebih-lebihkan perihal lukanya.
Kenan menyentil kening Nara. Membuat perempuan itu meringis kesakitan. "Drama."
"Ini realita, Kak." Mata Nara menyorot yakin.
"Ya terus kita harus gimana supaya luka kamu yang nggak seberapa itu nggak inpeksi?" tanya Kenan.
"Kita hubungin menteri kesehatan aja."
Sudut bibur Kenan berkedut-kedut nyeri. Ia menatap tidak percaya pada Nara yang memasang wajah polos. Ide yang sungguh luar biasa. Menghubungi menteri kesehatan hanya untuk luka yang tidak seberapa.
Otak Nara diciptakan dari apa sebenarnya?
"Kenapa nggak hubungi Ibnu Sina aja sekalian, Bapak Kedokteran Dunia," cibir Kenan.
"Ide bagus!" Nara memekik setuju.
Kenan pusing berhadapan dengan Nara malam ini. Jika dulu Nara yang selalu ia buat kesal, kini Nara yang membuat Kenan harus menyiapkan kesabaran lebih banyak lagi.
Ah, berbaikan dengan Nara sepertinya bukan ide bagus.
"Nggak perlu Ibnu Sina mengobati luka aku. Nggak perlu panggil menteri kesehatan untuk memeriksa kaki aku. Cukup Kak Kenan ada di sini sudah lebih dari cukup."
Krik. Krik.
Sorot Mata Kenan berubah bingung. Kenan tatap Nara dengan pandangan aneh. Apa Kenan baru saja digombal oleh bocah SMA?
"Kamu belajar kata-kata menggelikan itu dari mana, Nara?" tanya Kenan.
"Ish, tau ah! Udah sana beliin jajan buat aku. Jangan lupa sekalian plaster luka," Nara memalingkan pandangan dari Kenan.
Padahal Nara hanya ingin mengutarakan kebahagian setelah berbaikan dengan Kenan. Tapi laki-laki itu justru geli mendengar kalimat damai dari Nara.
"Ngambek," Kenan menyenggol bahu Nara.
Nara melirik sinis. Ia bersihkan bahunya yang disenggol oleh Kenan. Seolah menyatakan bahwa bersentuhan dengan laki-laki itu akan membawa virus mematikan.
Kenan tersenyum geli. Walau begitu, Kenan merasakan kebahagiaan tersendiri malam ini. Luka hatinya seolah sembuh, ia dan Nara sudah berbaikan. Jantung Kenan berdetak indah hanya karena kebersamaan mereka.
"Nara," panggil Kenan.
Nara tidak menyahut. Perempuan itu masih kesal, dan terdengar cibiran dari bibirnya.
"Nara," panggil Kenan lagi.
"Apa, ih?" sahut Nara sok kesal.
"Kamu tahu filosofi Yin dan Yang?" tanya Kenan, tatapan matanya melembut. Tidak ada kejailan lagi di sana.
"Nggak tahu, nggak pernah dengar dan nggak mau tahu," jawab Nara sok cuek.
"Banyak baca buku makanya! Otak dipakai jangan cuma buat gosip dan pacaran. Sia-sia otak yang dikasih Tuhan sama kamu," ledek Kenan.
Nara cemberut. "Memangnya arti Jin dan Sa-Yang apaan?"
"Bukan Jin dan Sayang, tapi Yin dan Yang! Ya ampun," Kenan geram sendiri.
"Iya, itu maksud aku," ralat Nara.
"Cari tahu masalah itu, setelah kamu tahu makna Yin dan Yang ada sesuatu yang akan aku sampaikan ke kamu," Kenan menatap lurus ke depan.
Nara terdiam. Ia menoleh pada Kenan yang tampak termenung. Laki-laki menatap jauh ke depan sana, terlampau jauh. Temaram lampu taman menerpa wajah Kenan yang tampan, dan untuk pertama kalinya Nara mengakui betapa sempurna garis wajah Kenan.
Kenan memiliki rahang tegas nan kokoh. Hidung lancip yang cukup mancung dibandingkan orang Asia pada umumnya, Kenan mendapatkan hidung itu dari sang ayah. Rambut berwarna coklat legam bersinar terang. Jangan lupakan bibirnya yang terpahat dengan seksi. Dan yang paling Nara suka adalah mata Kenan yang tajam dan selalu menyorot jeli.
Ke mana saja Nara? Kenapa ia baru menyadari betapa sempurna Kenan? Pantas saja Dini jatuh hati pada laki-laki itu.
"Kalau dilihat-lihat Kak Ken lumayan juga," gumam Nara.
Kenan menoleh pada Nara. "Lumayan?"
"Lumayan ganteng."
Bibir Kenan mencebik kesal. "Ke mana aja kamu? Kenapa baru sadar kalau aku ganteng?"
"Dipuji dikit langsung nyebelin! Hm, sebenarnya apa yang dilihat Dini dari Kak Kenan?" Nara mencibir pelan.
"Apa?" Kenan tak paham perkataan Nara.
"Nggak ada!" sahut Nara.
Nara menerka-nerka jika sampai Kenan tahu bahwa Dini menyukainya, apa Kenan akan menyukai Dini juga? Lalu bagaimana dengan Nara? Hanya sekedar berteman dengan Dini saja Kenan hampir melupakan Nara. Nara belum siap kehilangan Kenan dari hidupnya.
Mendadak Nara merasa takut.
Tbc
Awas ada typo 😁
Kasih komentar kalian tentang part ini 👉
Komen yang banyak supaya cepat up 😊😊
Ig: ami_rahmi98
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top