Part 19 - Siapa yang salah?

Nara mengaduk bakso miliknya dengan gerakan lesu. Sejak pagi tadi Nara kehilangan gairah hidup. Entahlah, Nara kesal perihal Dini dan Kenan.

"Lo kenapa?" suara Barra menarik Nara dari dunianya yang sepi.

Nara tatap Barra dengan pandangan lesuh. Memelas seolah sedang mengadu bahwa dia tidak baik-baik saja.

"Mereka cocok, ya." Bisik seorang murid perempuan ketika melintas dari meja yang Nara dan Barra duduki.

"Kita cocok tuh kata mereka," kata Barra sambil menunjuk dua orang murid yang kini sedang memesan makanan.

Nara tertawa renyah. Lagi-lagi rasa bangga melingkupi perasaannya ketika orang-orang mengatakan bahwa ia serasi dengan Barra. Oh ayolah, siapa yang tidak bangga menjadi pacar Barra si ketua OSIS bule yang kegantengannya tidak perlu diragukan lagi.

"Apa nanti lo masih nginap di rumah cowok yang namanya Kenan itu?" tanya Barra sambil menyesap tehnya.

"Hmmm," Nara mengangguk.

"Jujur, gue cemburu," aku Barra.

"Wah, pacar gue bisa cemburu ternyata. Gue pikir seorang Barra nggak akan sempat memikirkan perasaan menye-menye begitu," cibir Nara.

Selama mengenal Barra dari kejauhan tidak terbesit dalam opini Nara bahwa laki-laki yang ada di depannya saat ini memiliki rasa cemburu. Nara berpikir Barra adalah orang yang kaku dan selalu serius.

"Tolong catat dengan baik, Nara. Barra yang ganteng ini juga manusia biasa. Bisa sakit dan terluka," canda  Barra.

Nara mencibir. Seolah terganggu dengan kenarsisan sang pacar.

"Ih, alay banget sumpah," Nara menirukan gaya orang yang ingin memuntahkan isi perutnya.

"Biar alay yang penting gue ganteng. Dan poin penting lainnya lo sayang sama gue."

Sayang?

Perkataan Barra menganggu hati dan pikiran Nara.

Sayang?

Sayang yang seperti apa?

"Lo sayang sama gue, kan?" tanya Barra serius. Ia selami mata coklat milik Nara. Mencari jawaban atas pertanyaannya.

Nara diam tak merespons, hanyut dalam imajinasinya sendiri. Nara tenggelam dalam mata tajam Barra. Mencari sesuatu yang dapat membuatnya bergetar, nyatanya Nara merasa hampa. Yang ia cari tidak ada di sana. Dan Nara sendiri tidak tahu apa yang sedang ia cari.

"Nara," panggil Barra.

Nara termenung.

"Sayang," sentak Barra sambil menyentuh pundak Nara.

Nara tersentak. Kaget dan bingung.

"Sa-yang?" cicit Nara.

"Iya, Sayang? Kenapa?" balas Barra sambil menatap jail.

"Ih, nggak usah sok romantis deh. Gue geli nih," Nara bergedik ngeri. Coba mengalihkan pembahasan yang ada.

Barra tertawa gemas. Ia cubit hidung Nara dengan geram. "Lucu banget, sih."

"Barra," Nara melepaskan jepitan jari Barra dari hidungnya. "Tuh, kan. Hidung gue jadi merah. Lihat nih! Tanggungjawab lo!" rajuk Nara.

Barra kembali tertawa. Entah sudah berapa kali ia tertawa pada kesempatan kali ini hanya karena tingkah Nara. Barra merasa menggebu dan bersemangat setiap bersama gadis itu.

"Jangan ketawa," pintah Nara dengan wajah cemberut.

Barra membersihkan sudut matanya yang berair. "Gue bahagia, Nara. Sangat bahagia."

Nara terpaku saat mata Barra menghujaminya dengan penuh sayang. Ketulusan yang tiada akhir. Lengkungan tajam ke atas tercipta indah di bibir Barra, menggambarkan betapa bahagia ia.

"Gue udah lama menunggu saat seperti ini. Kita duduk bersama dan membicarakan hal-hal tidak penting. Tertawa dan kita bahagia," cerita Barra.

"Cukup waktu berhenti di sini. Sesederhana ini kebahagiaan menurut gue," Barra tersenyum semakin indah.

Tanpa sadar Nara ikut menarik kedua sudut bibirnya, dan tersenyum pada Barra. Pipinya terasa panas.

_o0o_

"Nara, lo udah selesai tugas dari Pak Ahmad?" tanya Nisa begitu Nara sampai di kelas.

Nara duduk di kursi biasa yang ia tempati, tepat di samping Dini. Waktu istirahat jam pertama masih tersisa lima menit lagi. Setelah dari kantin Nara kembali ke kelas, sementara Barra pergi ke perpustakaan.

"Memangnya kita ada PR?" Nara balik bertanya. Ia lirik Nisa yang duduk di seberang barisan sejajar dengan kursinya.

"Ini tugas kita. Lo tinggal salin," Dini yang menjawab pertanyaan Nara. Ia berikan buku tugasnya.

"Nggak perlu," ujar Nara singkat.

Dini mengangkat satu alisnya. Ini tidak seperti Nara yang biasa. Jika Dini memberikan contekan biasanya Nara akan menjerit alay, lalu memeluk Dini erat. Tindakan yang sungguh berlebihan. Begitu juga sebaliknya jika Nara yang memberi contekan.

"Gue bisa kerjakan sendiri," ungkap Nara tanpa menatap Dini. Ia keluarkan buku tugasnya.

"Lo marah sama gue?" tanya Dini.

"Biasa aja," jawab Nara sambil mengerjakan tugasnya.

Dini tersenyum miris. Ia tarik kembali buku tugasnya dari hadapan Nara. Dini simpan ke dalam laci. Kebaikannya tidak dihargai di sini. Sakit hati sudah pasti.

Nisa diam melihat interaksi yang terjalin antara Nara dan Dini. Tidak sehangat biasanya, hubungan Nara dan Dini terlihat sangat dingin. Seperti ada dinding kokoh yang memisahkan mereka.

Tidak tahan dengan suasana yang tercipta Dini memilih pergi keluar kelas. Meninggalkan Nara yang sibuk menulis. 

"Dini," panggil Nisa. Namun dihiraukan. Membuat Nisa pada akhirnya memilih untuk mengejar Dini.

"Dini," Nisa duduk di samping Dini, di kursi permanen terbuat dari beton lapis keramik. Tepat di depan kelas mereka.

"Gue nggak ngerti sama sikap Nara! Di mana letak kesalahan gue?! Lo lihatkan gimana dia bersikap saat gue coba untuk jalin komunikasi. Gue coba ngalah, tapi malah diinjak-injak," Dini menumpahkan emosinya.

"Apa dia nggak paham gimana sakitnya hati gue? Gue nggak suka sama Kak Kenan kalau dia marah ke gue karena itu," sudut mata Dini berair.

"Bukannya tadi pagi lo bilang suka sama Kak Kenan?" Nisa tidak paham.

Dini menggeleng. "Bukan! Bukan Kak Kenan yang gue suka. Tapi Barra."

"Barra?!" Nisa terkejut.

"Gue suka sama Barra. Gue senang setiap dia lewat dari depan kelas kita. Gue berdebar setiap berpapasan dengannya. Dan tanpa kalian sadari gue selalu bersikap hiperactiv kalau dia ada di sekitar kita," Dini menceritakan cinta diam-diamnya.

Nisa kehilangan kata-kata. Tidak dapat memilai siapa yang salah dan benar di sini. Entah itu Nara atau Dini. Keduanya sama-sama sahabat berarti bagi Nisa.

Di satu sisi ada Nara yang menjadi pacar Barra. Di sisi lain ada Dini yang menyimpan rasa untuk Barra.

Siapa yang harus disalahkan di sini?

Dini membersihkan air matanya yang siap untuk jatuh. "Gue coba untuk sadar diri kalau Barra suka sama sahabat gue sendiri. Tapi sikap Nara bikin hati gue semakin sakit."

"Nara nggak bermaksud begitu, Din," Nisa berujar lembut. Bukan maksud ingin membela Nara, ia hanya tidak ingin situasi ini semakin panas.

"Dia bersikap seolah gue nggak boleh dekat sama Kak Kenan. Sementara dia sendiri udah punya Barra. Egois banget!" Dini berdecak.

"Jangan salahkan siapa pun di sini. Semua sama-sama salah. Tidak saling terbuka satu sama lain," komentar Nisa.

"Gue yang paling salah di sini! Gue yang salah!" kata Dini emosi. Ia bangkit dari duduknya. Kembali masuk ke dalam kelas dibalut dengan emosi, lalu Dini duduk di samping Nara tanpa berkomukasi.

Tbc

Awas ada typo teman-teman.

Tunggu part selanjutnya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top