Part 17 - Kecewa

"Om, di luar kota, Tan?" tanya Nara pada Arum.

Saat ini keduanya sedang duduk bersama di sofa ruang tamu menunggu Kenan pulang. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 7 malam.

"Hmmm, Om kamu baru berangkat kemarin malam. Sekitar dua minggu lagi baru pulang," jawab Arum sambil membolak-balik majalah fashion-nya.

Bibir Nara sebenarnya gatal ingin menanyakan kenapa Kenan belum pulang. Namun ia tahan perkara gengsi. Laki-laki itu sungguh menyebalkan pergi begitu saja tanpa pamit setelah mengantar Nara pulang.

"Lain kali bawa pacar kamu main-main ke sini dong. Tante  mau liat seberapa ganteng," kata Arum.

Nara terkekeh. "Pacar aku ganteng melampaui cakrawala. Uh, aktor Korea mah lewat. Wajah pacar aku bule-bule gimana gituuu," sahut Nara antusias.

"Gantengan mana sama Kenan?"

"Gantengan Barra dong," sahut Nara asal. Bersamaan dengan itu Kenan datang memasuki rumah. Kalimat Nara masih sempat Kenan dengar.

Ck, dari segi mana pun masih gantengan gue, batinnya.

"Aku ke kamar dulu," Kenan melenggang pergi begitu saja, tanpa melihat pada Nara sedikit pun.

Nara mengawasi langkah Kenan. Buru-buru Nara bangun dari duduknya, berniat mengikuti Kenan dari belakang. "Tante, aku mau bicara sebentar sama Kak Kenan."

"Huh?" respon Arum bingung melihat Nara berjalan cepat.

"Kak Kenan!" panggil Nara sambil menyusul Kenan menaiki tangga rumah menuju lantai dua.

"Kenan Mahendra!"

Kenan hiraukan. Langkahnya bergerak mantap tanpa sedikit pun simpati pada Nara yang melangkah setengah berlari.

"Kak Kenan, mana helm gue?!" suara kuat dari Nara menghentikan langkah Kenan tepat di ujung tangga.

"Helm?" Kenan berbalik, menatap Nara yang kini berdiri satu undakan tangga di bawahnya.

"Lo dari mana?! Dari tempat Dini, kan?! Mana helm itu? Ada sama Dini lagi?! Itu punya gue!" napas Nara menderuh cepat. Emosinya mulai tersulut.

"Itu milik Dini," jawab Kenan datar.

Nara tidak terima. Kenapa Kenan sangat membela Dini?

"Itu punya gue! Punya gue! Kembalikan!" Nara memekik marah.

"Lo sendiri yang bilang nggak butuh helm busuk itu," perkataan Kenan menampar ulu hati Nara.

Nara terdiam, ya dia memang mengatakan itu tadi. Tapi bukan seperti itu maksud Nara. Emosi menguasainya ketika Kenan seolah lebih memihak pada Dini.

Nara ingin Kenan membujuknya seperti dulu. Nara ingin Kenan mengedepankannya seperti dulu. Nara ingin Kenan menjadi pembelanya seperti dulu.

"Sebaiknya lo masuk ke dalam kamar. Belajar yang rajin dan kerjakan PR! Besok lo harus sekolah," perintah Kenan.

Mata Nara berkaca-kaca. Ia tatap manik mata Kenan dengan dalam, ingin menyampaikan sakit hatinya yang tak terucap. Nara rindu kehidupannya yang damai seperti dulu.

"Masuk!" perintah Kenan lebih keras lagi.

Nara menaiki anak tangga, kamarnya memang berada di lantai dua. Tepat di samping kamar Kenan. Kamar yang sudah Arum hias secantik mungkin ala putri kerajaan.

"Jangan keluar dari kamar lo! Gue mau lo merenungi kesalahan yang telah lo lakukan beberapa waktu ini! Tentang keegoisan lo!" ujar Kenan sekali lagi sebelum Nara memasuki kemar.

Air mata Nara jatuh. Ia buka pintu kamarnya, masuk dengan perasaan gunda. Nara menangis tanpa suara. Entah pada siapa Nara harus mengadu, nyata kini ia tidak punya tempat untuk bersandar lagi.

Sementara itu Kenan masih tak beranjak dari tempatnya. Mata terpaku pada pintu kamar Nara yang telah tertutup rapat. Ada tulisan princess Nara tergantung di depan pintu dari kayu jati tersebut, itu pasti kejaan Ibu Kenan.

"Kenan, Nara mana?" tanya Arum seraya menghampiri Kenan yang berdiri tak jelas, menurutnya.

"Udah Kenan suruh masuk kamar dan nggak boleh keluar. Dia harus dihukum," jawab Kenan.

"Kalian kenapa lagi? Berantem?" tanya Arum.

"Biasalah, Ma. Nara semakin nakal. Sesekali harus dikerasi supaya dia sadar salahnya. Kenan suruh dia untuk tidak keluar kamar dan merenungi semua tingkahnya," Kenan menghela napas. Jujur dia tidak tega memperlakukan Nara seperti ini.

"Tapi Nara belum makan malam," lirih Arum.

Kenan terkejut. "Apa?"

_o0o_

"Nara ngambek karena kamu. Tuh, dia nggak mau turun buat makan malam," Arum kembali duduk di kursi makan. Sudah beberapa kali ia bolak-balik untuk membujuk Nara makan malam.

Kenan diam. Seleranya untuk mengisi perut hilang sudah. Jangankan ibunya, Kenan juga khawatir jika Nara tidak makan.

"Nara nggak akan mati kalau nggak makan malam sekali ini," sahut Kenan asal.

"Ih, kamu ini," Arum menatap kesal pada putranya. "Mama nggak mau tau, pokoknya kamu harus bujuk Nara makan malam," pintah Arum.

Kenan menghela napas. "Kalau Nara nggak mau makan, Kenan harus gimana? Makanannya buat Kenan aja?"

"Nggak lucu," sahut Arum sebal.

Kenan menghela napas. Dia memang tidak berniat melucu.

Pukul 9 malam. Kenan naik ke lantai atas. Sudah lima menit dia mondar-mandir di depan pintu kamar Nara. Perempuan itu belum juga makan malam, dan Kenan khawatir.

Kenan angkat tangannya ingin mengetuk pintu kamar Nara, namun ia urungkan. Ia kembali ingin mengetuk, namun ia urungkan lagi. Beberapa kali seperti itu hingga Kenan terlihat seperti orang yang tidak memiliki pekerjaan.

Kenan menempelkan telingannya pada pintu kamar. Mencoba menguping, tapi tak ada suara terdengar dari dalam kamar.

"Aiiih," Kenan mengacak rambutnya frustasi. Ia galau dan bingung sendiri.

"Nara, makan!" teriak Kenan kuat. Lalu, ia tendang pintu kamar Nara dengan kaki kirinya. Well, itu tindakan terbaik untuk menjaga gengsi.

"NGGAK MAU!" Nara balas berteriak, lebih keras dari suara Kenan.

Kenan mencibir. "TERSERAH! TERSERAH LO MAU MAKAN ATAU NGGAK. JANGAN SALAHKAN GUE KALAU LO SAKIT!" teriak Kenan lagi.

"BODO AMAT!" teriak Nara.

"MAKAN! KERAS KEPALA BANGET, SIH," jawab Kenan.

"MAKAN AJA SANA SENDIRI!" Nara kembali berteriak dari dalam kamar.

"BERHENTI BERTERIAK! Ini bukan hutan!" teriakan lain terdengar dari lantai satu. Itu suara ibu Kenan.

Dan semoga pita suara mereka tidak rusak karena berteriak satu sama lain.

_o0o_

Dini tersenyum memikirkan hal yang menurutnya aneh hari ini. Helm yang Kenan berikan Dini simpan di atas nakas samping ranjangnya. Tanpa sadar Dini tersenyum geli mengingat sejarah panjang helm tersebut.

"Dasar Kak Kenan," kekeh Dini.

Fokus Dini tertarik menuju ponselnya, benda persegi dengan logo apel digigit itu bergetar. Dini meraih ponselnya yang terletak di samping bantal.

Ada nomor baru, menchat Dini melalui WA. Segera  Dini mengecek siapa pengirim pesan tersebut, Barra. Tak ingin salah,Dini mengucek matanya. Ternyata memang Barra.

"Barra? Barra ngechat gue?" Dini bangun dari posisi rebahannya. Demi apa? Pacar impiannya mengirim pesan padanya saat ini.

Barra: malam Dini, gue bisa minta kontak Nara selain nomor WA atau IG nya?

Senyuman lebar Dini berubah menjadi raut kecewa. Dia terlalu banyak berharap.

Dini: untuk apa?

Barra: gue khawatir karena dia gk balas chat gue sama sekali

Bodo amat, batin Dini sebal. Bibirnya cemberut.

Dini: gue gk punya

Dini melempar ponselnya secara sembarang. Sebenarnya bisa saja Dini memberikan nomor ponsel Kenan, karena sahabatnya itu ada di rumah Kenan saat ini. Namun itu bukan ide yang bagus.

Dini kembali merebahkan tubuhnya. Kapan ia akan mendapatkan apa yang ia mau? Kenapa takdir selucu ini?

Tbc

Makasih udah mampir 😊😊

Kalian pilih Dini atau Nara?

Awas ada typo 😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top