7 | Lose Before Trying
Yang belum Follow wattpadku, follow dulu ya biar nggak ketinggalan info update-an cerita ini.
Vote dan komennya.
Teruntuk kamu, ada kisah yang belum usai. Ada harapan yang tak kunjung datang. Semoga kelak kita dipertemukan pada telaga kebahagiaan.
Riuh seantero ruangan ini membuat Arunika menarik napas dalam-dalam. Keringat menguyur hingga ke pelipisnya. Menggigit bibir, raut wajah lelaki itu menghantui. Aga bisa membuat Arunika memikirkan pria selain ayah. Aga memupus hatinya agar dapat menarik uluran cinta. Getaran di dadanya seolah tak hilang, malah menggebu tak ada arah.
Menggenggam totebag berwarna baby blue, lalu mengusap tengkuk agar dapat tenang. Sebelum ke ruangan ini, Arunika sempat menyandangi ruangan dekan fakultas dan dosen pembimbingnya. Walau Arunika belum tahap revisi, setidaknya dia harus mengabari sang dosen tersebut bahwa dia akan segera mengubah status.
"Arun." Suara bas milik lelaki bertubuh tinggi menyentakkan lamunannya. Arunika mengerjap, senyum kaku terbingkai di wajah.
"Kenapa, Bang?"
Lelaki itu Fajar, kakak tingkatnya yang kini sedang sibuk dengan skirpsi dan revisi. Fajar selalu menyangkutpautkan nama mereka, sebab mempunyai arti yang sama.
Ya. Arunika berasal dari bahasa sansekerta yang berarti fajar.
Fajar mengulas senyum seraya mengitari netranya ke penjuru ruangan yang dominan di isi oleh anggota perempuan.
Green Light Comunity of University Sriwijaya, komunitas yang mewadahi minat dan kepedulian para mahasiswa UNSRI tentang lingkungan hidup. Selain membangkitkan minat para mahasiswa, di komunitas ini mampu menimbulkan kepekaan untuk para masyarakat untuk tergerak dan menyerap isu-isu lingkungan yang ada. Biasanya di kenal dengan GLCUNSRI.
Terutama Arunika, dia dapat banyak pelajaran dari komunitas ini. Selain wawasan, teman-teman satu frekuensi pun mampu mengisi kekosongan hatinya.
"Apa kabar, Ika? Sudah lama banget, ya." Fajar melambaikan tangan kanannya.
Fajar Akbar Atmadja, mahasiswa Fakultas Psikologi. Sebagai ketua GLCUNSRI tahun 2018, Fajar terbilang masih aktif dan produktif di komunitas ini. Apalagi, sekarang sibuk-sibuknya untuk revisi, dia merelakan waktu untuk melihat persiapan acara yang akan digelar satu pekan nanti.
Anggota GLCUNSRI sedang disibukkan dengan persiapan seminar lingkungan. Bahkan para kaum adam sampai tak pulang demi merampungkan proses ini.
Arunika tersenyum semringah. "Alhamdulillah, Bang. Ika sehat," jawab Arunika, lalu meletakkan totebag di atas meja-yang kebetulan diletakkan oleh anggota di samping pintu masuk. "Seminar Proposalnya kapan, Bang? Cepetan dong, nanti Ika susul, lho," timpalnya seraya tertawa kecil.
Mendesah pelan, tubuhnya ia daratkan di kursi dekat meja. "Maunya sih cepet-cepet, supaya bisa segera halalin anak gadis orang."
Arunika mencebik tak suka. Ketika Aurora yang berada di hadapannya berjalan, sontak dirinya melambaikan tangan.
"Halah! Jodohnya aja belum tampak hilalnya, Bang." Aurora mengibaskan tangan ke udara seakan menghilangkan imajinasi dari Fajar.
Dia hanya bisa geleng-geleng kepala, kedua perempuan ini bisa merengkuh perasaannya. Adalah, Arunika. Gadis yang ceria, pantang menyerah, dan tak kenal lelah. Selama kenal dengan Arunika, dia tak pernah melihat gadis itu mengeluh sebelum pekerjaan terealisasi sempurna. Sebagai anak biologi, Arunika memang dituntut dan cenderung teliti. Bersyukurlah, para anggota komunitas ini, rata-rata di isi oleh jurusan biologi.
"Ada Ika, kamu, Tami. Tinggal pilih aja." Fajar menepuk bahu seolah perkasa.
Menegang, bibirnya kikuk tak tenang. Arunika tersenyum seraya mengusap tengkuknya yang tak gatal. Perkataan Fajar merusak atensinya saat ini. Baiklah. Mungkin saatnya dia memberikan kabar yang akan merubah kehidupannya. "Hem," mengerlingkan mata gusar, tangannya merogoh totebag dan mengeluarkan kertas tebal bercorak floral berwarna nude. "I-ini," sambungnya seraya mengulurkan undangan tersebut.
Tubuh Fajar seketika mengejang. Sepasang netranya tak henti merangkum benda yang diulurkan Arunika. Sesak, dadanya terasa di sembilu belati dan rajam. Nama Arunika tertera di cover depan undangan tersebut.
Alis Aurora bertaut. "Ini apa?" basa-basinya, walau dia pasti tahu bahwa itu adalah secarik undangan pernikahan. "Kamu mau nikah?" ulang Aurora seraya mengerjap tak beraturan. Menoleh ke arah Fajar yang kini membisu di tempat duduknya, Aurora memandang wajah kakak tingkatnya itu dengan perasaan masygul.
Badannya terkesiap tatkala Meira mengambil undangan itu spontan. Sontak dirinya membelalakkan mata, bukan saatnya agar Meira mengetahui pernikahannya.
Menelisik tajam pada secarik undangan itu, dadanya bergayutan tak tenang.
Arunika & Aga.
Tertera di depan cover tersebut sepasang nama yang akan terikat oleh janji sakral. Entahlah. Dia sekarang tak seberani tadi. "Aku harap kalian datang nanti," lirih Arunika gamang.
Namun, mereka berempat membisu. Sama-sama mencerna tiap nama yang tertera di undangan itu. Meira dan Aurora saling pandang ketika sinyal di otak mereka tertangkap jelas.
"Ini Pak Aga?" Aurora mengarahkan telunjuknya pada nama mempelai pria. Arunika menahan gemuruh di dada, bebera detik dia diam seolah sekujur tubuh tak mau merespon apa-apa.
"Aku mau memberikan kepada yang lain," dia tak menjawab, mengalihkan senyuman penuh tersirat. Maaf, Ra. Ada Meira di sini.
Dia tak mau membuat ruangan komunitas ini berguncang. Arunika tak ingin sepenjuru Universitas Sriwijaya mengetahui kabar pernikahannya. Setidaknya, sebelum acara seminar ini berlangsung. Dia tak tahu harus di letakkan di mana wajahnya nanti.
Arunika melangkahkan kakinya untuk lebih masuk ke ruangan sekretariat. Tertunduk lesu, matanya melihat ujung sepatu. Jujur saja, Arunika tak seberani itu.
Spanduk bertajuk Seminar Lingkungan Bersama GLCUNSRI terbentang lebar di dinding panggung. Aula hotel Sriwijaya kini disulap semegah mungkin. Stall tersusun apik di belakang tempat duduk para pengunjung nanti. Selain, seminar mengenai lingkungan akan ada game show, menampilkan berbagai cara untuk merawat lingkungan, dan hadiah menarik.
Para anggota cukup kewalahan, sebab baru kali ini mereka akan mengadakan seminar terbesar selama empat tahun berdiri. Mengundang para jajaran petinggi di kampus, bahkan peminat dari siswa-siswi Palembang pun cukup banyak. Rata-rata yang akan datang dalam seminar ini pun anak-anak sekolahan.
"Test ...," bunyi walkie-talkie yang tersangkut di samping pinggang membuat Arunika tersentak. "Saya minta kumpul dulu di ruangan belakang." Itu suara Bara--ketua pelaksana dalam acara ini. Dia yang mengatur untuk menyukseskan seminar pertama komunitas mereka.
Arunika melirik Utami yang sedang meneguk air mineral. Sesudah melepas dahaga, Utami mengangguk. Setelah membagikan undangan pada satu pekan kemarin, Arunika tak menampakkan lagi wajahnya ke ruangan sekretariat itu. Dia menghindar dari banyak pertanyaan dan acara akan berlangsung pada hari ini baru ia menonjolkan wajah. Untung saja Utami memberitahunya bahwa ia masuk dalam kepanitiaan seksi perlengkapan.
Setelah sampai di ruangan belakang panggung, dia tak melihat Meira di sini. Bahkan sejak tadi, perempuan berambut sebatas bahu itu tak menampakkan wajah manisnya.
"Meira di mana?" tanyanya pada Utami.
"Ada acara pernikahan keluarganya. Dia nggak bisa ikut partisipasi," suara Utami mengecil, ketika Bara sudah memulai pembicaraan.
Mengangguk, Arunika pun memperhatikan arahan dari Bara. Dia ikut senang melihat adik tingkatnya dari berbagai fakultas ikut campur dalam seminar ini. Walaupun angkatan Arunika saat ini hanya mengkoordinir, namun tak membuat mereka lepas tangan saja.
"Rasya nggak bisa jadi moderator. Dia berhalangan sakit pagi tadi, Rasya sempat ke sini dan memang wajahnya pasi sekali. Ada yang bisa menggantikan posisi Rasya?" Bara melihat kanan-kiri pada anggotanya. "Ayolah, demi kesuksesan seminar ini. Susunan acara sudah ada, kalian tinggal membawakan."
Hening. Para anggota masih saling pandang satu sama lain.
"Ika, bisa, 'kan?" Bara menunjuk Arunika yang kini sedang celingukan.
Segera Arunika menggeleng, "Jangan aku deh Bar, cari anak komunikasi aja."
"Kalian harus siap ketika ketua memberikan perintah. Sudah sering diajarkan dalam komunitas ini?" Fajar datang dari ambang pintu seraya bersidekap. Wajah kusutnya terbingkai, tatapan tajam mengarah pada seluruh anggota.
Hatinya teriris. Arunika tak bisa berkutik lagi. Selain hanya bisa mengangguk, perasaannya hanya seujung kuku untuk menjadi moderator mendadak dalam acara sebesar ini. "I-iya, Kak," jawabnya kikuk.
"Berarti Arunika bisa, 'kan?" Bara mengancingkan almamater kuning yang ia pakai. "Susunan acaranya minta sama Aurora ya, tadi Rasya nitip sama dia."
Arunika mengangguk. Matanya beralih pada Fajar yang kini sudah berjalan keluar. Dia menatap nanar punggung tegap Fajar, sejak memberitahu pernikahannya baik Aurora dan Fajar menjauh padanya. Kedua insan itu kompak tak mau diajak bicara.
Tepuk tangan dari Bara-tanda menyemangati para anggota-membuat Arunika tersadar. Mendesah pelan, ia tak harus sepesimis ini. Arunika merasa tak percaya diri, padahal pernikahannya akan digelar sepekan lagi.
Entahlah. Sekarang Arunika merasa serba salah. Dia tak tahu kenapa sahabatnya dan kakak tingkatnya itu tiba-tiba menjauh. Apa mereka berdua marah karena selama sepekan ini dia tak ikut nimbrung dan seenaknya saja datang tepat hari pelaksanaan. Mungkin saja. Dirinya harus segera meminta maaf.
Setelah keluar, Arunika dan Utami berpisah. Melihat layar yang ada di gawainya, di sana tertera jam delapan. Dua jam lagi, acara akan segera dimulai.
Netranya tak henti menelusuri seantero aula megah yang didominasi oleh warna merah pekat. Suara walkie-talkie membuat gaduh di sini. Namun, Arunika tak mengindahkan, panitia sedang sibuk merampungkan dan melihat-lihat ada yang kurang atau tidak. Ketika sepasang netranya merangkum sosok lelaki itu, Arunika segera beranjak dari tempatnya.
"Bang Fajar, aku mau bicara." Setengah berlari untuk mengejar Fajar, Arunika tersenyum lega sesat Fajar berhenti. Seharusnya, ia menemui Aurora dulu untuk meminta susunan acara, tetapi hatinya sudah bergelayut tak karuan. Rasa serba salah meliputi dada.
"Apa?" sahut Fajar datar.
"Bang Fajar marah sama aku karena seminggu ini nggak nongol lagi?"
Mimik wajah khas Jawa, hidung bangir, dan kulit cokelat membuat paras Fajar sangat dikagumi oleh kaum hawa. Terkecuali Arunika, jika mengingat itu, Fajar tersenyum miris. Dia menggeleng, lalu melengoskan wajah ke samping. Mana bisa aku marah sama kamu, Ka. Tapi melihat Arunika akan melepas status lajangnya, Fajar merasa harus menyingkir. Dia kalah sebelum berperang.
"Aku minta maaf, nggak bisa ngatur jadwal."
"It's okey," jawab Fajar pelan. Air mukanya masih datar, bahkan Fajar cukup segan untuk menatap balik Arunika. "Saya mau lihat-lihat dulu." Secara sengaja Fajar mengganti panggilannya yang biasanya abang, kini berubah formal.
Arunika kembali menghadang, ketika Fajar berjalan. Berkacak pinggang, Arunika menatap nanar Fajar yang tak serupa biasa ia kenal. "Bang Fajar marah karena aku telat kasih tahu akan menikah? Jika, tentang itu aku minta maaf."
Tersenyum miris, hatinya seakan ditusuk oleh beribu ironis. Sudahlah. Dirinya sudah kalah sebelum berusaha. Arunika saja tak pernah tahu isi hatinya, lalu mengapa ia harus sesakit ini dan melampiaskan pada Arunika. "Kenapa saya harus marah? Itu sudah jadi keputusan kamu."
Mengigit bibir bawahnya, Arunika menunduk menatap sepatunya tanpa minat sekalipun. Benar. Kenapa Fajar harus marah. Disaat mereka bukan siapa-siapa. Layaknya rekan bisnis. Mereka berdua adalah rekan setim yang menyangkut alam bumi.
"Saya harap kamu selalu bahagia nanti, entah sama siapun itu." Fajar tersenyum. Pelupuk matanya telah dihinggapi bening yang menyeruak. Di hadapannya ada gadis yang selalu menangis diam-diam, gadis yang selalu tersenyum dalam keramaian. Sifat itulah yang membuat Fajar bangga, Arunika mampu menutupi isi hatinya.
Arunika. Dia harap semoga gadis itu selalu bahagia.
"Abang juga," lirih Arunika seolah menahan gemuruh dada.
Setelah mengucapkan itu, Fajar pergi melewati tubuhnya tanpa menatap lagi. Tanpa pamit undur diri.
Mengangkat kepalanya, Arunika mengelus punggung tangannya.
Dia harus bahagia. Walau nyatanya lelaki itu masih mencintai wanita lain. Arunika menunduk miris. Jika mengingat lelaki itu masih ada rasa dengan wanita lain, membuat hatinya ciut nyali.
Apakah kalimat, "Aku harus bahagia, bersama Mas Aga." akan terealisasi di kehidupannya. Entahlah. Hanya Allah yang tahu skenario hidupnya.
Vote dan komennya, ya
Untuk, Arunika dalam proses penerbitan. Silahkan follow instagram @miftahuljannah6_ dan @penerbitlova !!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top