30 | Senja di Ampera

(Jembatan AMPERA di Palembang)

Buat pembaca online dan offline jangan lupa vote dan komen,ya.

Ashabul Kahfi, cerminan pemuda yang konsisten menegakkan dien Allah. Pemuda yang rela mati demi tegaknya aturan Islam yang sesungguhnya.

@haffaza_

“Kenapa Mas mengajakku ke sini?”

Aga tersenyum tipis. Kembangan bibir itu tak berhenti tersumir. Sejak pengakuan cinta dari Arunika yang memang belum ia jawab sepenuhnya, tapi tak tahu kenapa hatinya mendadak tak gundah gulana.

Selapas menyelesaikan urusan kantor, Aga bergegas mengajak Arunika untuk menikmati panorama senja yang langkah. Di jembatan AMPERA yang kini menjadi tempat suguhan utama penduduk Palembang menyaksikannya. Sebenarnya ia ingin mengajak Arunika di dermaga dekat Benteng Kuto Besak dan mengitari sungai Musi menggunakan ketek untuk menyaksikan kilauan senja. Namun, waktu terkesan singkat dan Aga pastikan sebentar lagi azan magrib berkumandang.

“Senja. Selain Arunika, aku menyukai senja.”

Menatap bingung, Arunika membidik dengan tatapan agung. Ya, berusaha baik-baik saja dengan ucapan Aga untuknya. “Mas menyukaiku?”

Mengerlingkan netra ke penjuru jembatan yang kini ramai dipenuhi hilir mobil dan motor dengan kecepatan sedang. “Maksudku menyukai terbit fajar. Aku juga suka melihat senja yang sering menyiratkan keindahan. Dengan langit-langit orennya.”

Membulatkan bibirnya, Arunika menghela napas hampa. Menelan saliva yang terasa lengket di kerongkongan, ia pun berdeham sebal. “Oohh ... Kirain.”

“Dan juga menyukai kamu,” sambung Aga setimpal. Mengusap pucuk kepala Arunika dengan lengkungan senyum lebar. Dengan seringai jenaka, Aga mengedipkan mata dengan sirat menggoda. “Aku nggak gombal. Namun, itu nyata. Seminggu ini aku sadar, tanpa kamu aku nggak bisa apa-apa.”

“Ada gunanya ya aku diemin Mas seminggu ini. Aku nggak berharap lebih Mas berubah dan tiba-tiba mencintaiku, tapi aku sudah disuguhkan oleh Allah doa yang dikabulkannya.” Arunika memalingkan netra tatkala tetes bahagia itu menetes kembali di pipinya. “Tidak ada setiap hamba pulang dari sajadahnya dengan tangan kosong. Dan, aku percaya itu.”

Aga membersit hidungnya yang kembali merah. Nelangsa yang sesak di dada membubuh dan membuncah. “Terima kasih telah menunggu dengan sabar.”

Mendongak dengan tatapan sendu, Arunika membingkai senyum pilu. Dirasakannya belaian lembut mengusap pipinya yang berasal dari jemari sang suami. Aga menyeka tiap bening hangat yang kini mengalir deras tanpa henti. Sungguh, ini tangis bahagia. “Belum, Mas. Aku tahu kamu masih tahap untuk mencintaiku, 'kan? Dan, aku akan berusaha menunggu.”

Aga memandang ragu, tapi ia tepis spekulasi itu yang kini mengelabu di saraf otaknya. Menunggu. Satu kata yang bisa berarti lepas jika sudah lelah. Frasa yang mengartikan bisa saja lelah jika sudah jenuh lama. Namun, ia pastikan Arunika tak akan menunggu terlebih lama dengan kurun waktu yang menyita perhatian.

“Boleh aku cerita sesuatu?” Menyenderkan pinggul di pagar besi yang kini menjadi ikon pembatas jembatan dengan sungai Musi membentang luas di bawah sana.

Arunika yang kini sudah pelan-pelan memupus isak tangisnya, mendongak gamang. “Tentang Mbak Aluna?” cicitnya.

“Bukan,” jawab Aga yang kini menjadi desahan lega dari Arunika. Dia bisa melihat jelas senyuman lebar tersumir lepas dari bibir Arunika ketika ia menjawab pertanyaan itu dengan lugas. “Aku tidak akan melibatkan dia lagi, Ika. Sekarang kami sudah milik keluarga masing-masing. Dan, percayalah aku benar-benar berusaha untuk mencintaimu.”

“Aku percaya sama Mas Aga.”

“Mau dengar ceritaku?”

Arunika mengangguk dan ikut menyenderkan punggungnya di pagar besi. Membingkai seringai tipis yang kini membuat desir angin dengan gemulainya menyibak hijab yang dia kenakan.

“Seluruh pegawai yang ikut terlibat dengan rencanaku terancam di PHK. Aku bingung bagaimana caranya mempertahankan mereka. Sedangkan, pencurian itu belum lima puluh persen ditemukan benang merahnya. Jika aku yang hanya kena PHK tak masalah, tapi para staff yang ikut serta menjadi sasarannya.”

“Belum lagi perusahaan seolah membuatku bingung untuk memulai dari mana. Tadi, Pak Hanan menyuruh untuk meredakan hiruk-pikuk informasi dari wartawan, dan ketika aku ke kantor, pihak personalia yang turun tangan. Aku merasa dibuang walau secara tak langsung. Dan aku benar-benar tak tahu harus bagaimana, Ka.”

Arunika mengalungkan lengannya di tangan kekar Aga. Mendongakkan kepala yang kini betah menyaksikan pancaran sayu yang berusaha ditampik suaminya, tapi seolah tak bisa. “Menangislah jika kamu ingin menangis. Setiap manusia berhak untuk mencari pelariannya, Mas. Termasuk laki-laki, kamu ada aku sekarang yang kini menjadi tempatmu pulang.”

Tanpa hitungan detik, Aga segera merengkuh kembali tubuh Arunika. Menumpahkan segala keluh kesah yang menjadi beban untuknya. Menguarkan air mata yang tak bisa ia bendung lagi di pelupuk mata. Aga tersedu di bahu Arunika. Laki-laki itu membuang segala egonya untuk tak menangis dalam ruang terbuka. Namun, nyatanya mereka berdua kini menjadi pusat atensi. Dan, sungguh Aga tak perduli tentang hal itu.

“Mas, Allah punya cara sendiri untuk menyelesaikan seluruh permasalahan hamba-Nya. Kamu sedang di uji, dan mereka pun terlibat dalam ujian ini. Jangan pernah menyerah apalagi terluka. Kamu punya aku untuk berkeluh kesah. Pulanglah kapan saja kamu membutuhkannya.”

“Aku boleh pulang kapan saja dalam pelukanmu?” tanya Aga skeptis.

Tanpa ragu, Arunika menyetujui. “Pulanglah kapan saja. Hatiku terlampau besar untuk kedatanganmu, Mas.”

Memupus jarak, tangannya masih melingkar di punggung Arunika. Aga menyeka bekas air mata yang singgah, tapi tatapannya tak beralih sebarang pun dari istrinya. “Terima kasih.”

“Kamu tahu kisah Ashabul Kahfi yang menjadi sejarah tertulis di firman-Nya surat Al-Kahfi?” Arunika memberi jeda sambil menatap lekat manik sendu Aga. “Kisah pemuda yang berusaha menegakkan aturan Islam di muka bumi. Yang tak gencar mendapatkan intimidasi, teror, tribulasi demi merasakan kemuliaan islam.”

“Ashabul Kahfi?”

“Iya, Mas. Pemuda generasi islam yang menjadikan dunia adalah neraca iman. Bayangkan segala intimidasi yang diperuntukkan untuk mereka. Namun, tetap saja mereka tak larut akan kesedihan. Malah dari tribulasi musuh itu semakin membuat iman mereka bertambah. Dan, apa kabar kita yang ketika diterjang badai pun mengeluh sejagad raya?”

Aga melepaskan rengkuhannya seraya menarik sudut bibir kanan ke atas. “Uhm, aku merasa tersindir.”

Terkekeh pelan, Arunika menyipitkan pandang. “Aku nggak menyindir, hanya menceritakan aja untuk dijadikan motivasi.”

Aga mengangguk untuk meredakan hatinya yang kalang kabut.

“Baru urusan dunia saja kita sudah surut ke belakang, lalu apa kabar urusan agama Allah yang belum kita tegakkan aturan-Nya? Urusan kita yang berorientasi dengan hal dunia tak sebanding dengan perjuangan Ashabul Kahfi, Mas. Maka dari itu, jalani saja. Jika kita kalah, ya mungkin itu sudah jalannya.”

“Sama seperti hatiku, Mas. Bukan kamu saja yang sedang berusaha untuk mencintaiku, tapi aku juga kini berjuang untuk meluluhkan hatimu. Ya, jika aku kalah dari perjuangan ini, apalagi yang bisa aku lakukan kecuali menyerah? I'll give up until then,” sambung Arunika dengan senyum simpulnya.

Dihapus sebagian kepentingan penerbitan

Untuk, Arunika dalam proses penerbitan. Silahkan follow instagram @miftahuljannah6_ dan @penerbitlova !!!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top