24 | Aku yang Salah

Bismillahirrahmanirrahim
Vote dan komen teman-teman.

Happy reading

Bonus pict Mas Aga. Yang mau hujat nih laki dipersilakan menghutajatnya di kolom komentar 😁😁

Aluna. Sekata nama yang selalu menjadi bayang-bayang di pernikahannya. Aluna yang selalu menjadi prioritas bagi laki-laki itu. Aluna yang tak bisa digantikan dengannya.

Arunika tertawa kering. Tak menggubris rasa pening yang semakin menyayat hati. Menyaksikan pintu yang sudah terbuka lebar. Tidak ada laki-laki itu di sini lagi, hanya Riko dan Aurora yang sama-sama merangkum Arunika penuh iba.

Sungguh, Arunika tidak butuh itu. Dia tak semenyedihkan seperti asumsi mereka. Arunika hanya ... Sakit dengan perilaku Aga dan rasa kasihan dari mereka semua. Percayalah, rasa iba dari orang-orang malah membuat seseorang semakin terluka. Dia merasa tak ada semangat yang akan tercipta. Dan Arunika berusaha tak mengeluarkan derai-derai air mata.

“Arunika,” panggil Aurora dengan nada piasnya.

I'm okey. Pusingnya juga sudah hilang, kita balik lagi ke lapangan. Habis istirahat baru kita menepati janji untuk learning society bareng kelas sepuluh, Ra.”

Terlihat Aurora mendesah, matanya mengerling menuju Riko yang masih terpaku di posisinya. Laki-laki yang menggunakan perlengkapan lengkap tengah menatap mereka berdua dengan air muka bersalah. Riko membisu bersama deru napas yang masih naik turun tak menentu.

“Ka ... Jangan dipaksakan. Wajah kamu masih pucat gini.” Aurora mengusap dahinya yang berkerut agar Arunika menuruti perkataannya kali ini.

Arunika merubah posisinya untuk duduk. Walau dengan susah payah; hati yang terlampau terluka. Dibantu dengan Aurora yang merapikan dua bantal untuk menjadi penyangga di pinggangnya. Arunika tersenyum tatkala Aurora membelai pipinya, lalu mengalihkan pandang ke arah Riko dengan jiwa yang meronta.

“Arunika, saya tidak bermaksud memanggil Aga karena dia adalah Aluna. Hanya saja saya panik harus meminta bantuan siapa.” Riko masih membingkai wajah piasnya. Tangannya masih menggenggam walkie-talkie yang terdengar riuh akibat panggilan sambung dari pegawai akibat kepala divisi produksi——Aluna——tiba-tiba tak sadarkan diri.

Mengangguk mengerti, Arunika bisa memahami kepanikan Riko dan Aga. Empat tahun tak sebanding dengan pernikahannya yang masih seumur jagung. Walau realitanya Aluna akan melaksanakan prosesi akad nikah, namun hati Aga akan tetap kukuh mencintai Aluna.

Sebulan lebih menikah dengan Aga bisa membuat Arunika mengetahui karakter lelaki itu. Cinta yang telah dipendam saat masih mengenakan seragam putih abu-abu, cinta yang terkembang dipadu alasan mengenai persahabatan tak mungkin memutus kemungkinan bahwa Aga sudah selama itu mencintai Aluna.

Lalu, dengan tiba-tiba menikah dengannya dan Arunika menuntut Aga untuk mencintainya tak akan semudah itu, bukan?

Ya, Arunika sadar. Mau air mata yang berdarah-darah ia keluarkan tetap saja tak akan ada namanya. Hingga saat itu tiba atau malah ia sudah ingin menyerah.

Kenapa sih yang selalu dipikirkan Arunika untuk menyerah padahal melakukannya saja ia masih ragu-ragu dengan alasan cinta. Namun, pikirannya kali ini sudah diliputi rasa gundah gulana. Aga yang membawanya terbang lalu menghempaskan ke jurang. Dan itu yang menyakitkan. Arunika tak sekuat perempuan yang rela menunggu suaminya untuk mencintai.

Banyak di luar sana pernikahan karena perjodohan tak berujung nelangsa, hanya saja Arunika tak sekuat itu menghadapi sifat Aga yang berubah-ubah.

Dengan penuh rasa bersalah, Riko mengigit bibir bawahnya. “Kalau begitu saya nyusul Aga dulu. Semoga cepat—”

Belum sempat Riko menyelesaikan kalimatnya, netra hitam tersebut menangkap Aga yang sedang menggendong Aluna dengan cara bridal style. Mata perempuan itu terpejam dan jangan dilupakan wajah Aga penuh sirat kekhawatiran.

“Rik, minggir dulu.”

Laki-laki itu pun menuruti, menjauhkan badannya dari ambang pintu agar Aga denga mudah masuk ke dalam ruangan UKS.

Arunika menahan genangan air mata yang sudah mempuk di pelupuk netra. Meneguk saliva yang terasa kelat, lagi-lagi jiwa Arunika tersayat dalam. Genggaman dari tangan Aurora di jemarinya mengeras. Deru napas yang semakin lama menyesakkan dada. Arunika ingin cepat keluar dari ruangan ini.

“Lun ... Luna. Please, bangun, Lun.” Suara lirih dari Aga terdengar menyayat hati. Dengan nada yang menyiratkan nelangsa, Aga mengetatkan rahangnya menatap Aluna yang terbaring lemah.

Dia kalap penuh kebingungan yang meraja. Melirik Riko yang masih setia di posisinya, ia berdecak kesal. “Lo bisakan cekatan dikit, Rik. Panggil dokter klinik terdekat.” Aga mengacak rambutnya frustrasi kala Aluna belum sadarkan diri. Mengoleskan minyak kayu putih tak juga berhasil membuat  perempuan ini bangun.

Arunika mengulum bibirnya ke dalam. Sesak meraja. Air mata ingin tumpah tanpa bisa di tahan. Ya Allah ... Arunika tidak bisa berkata-kata lagi. Jiwanya sesak menahan napas yang terlanjur luka. Aga, menyakitinya tanpa laki-laki itu sadari. Laki-laki itu melupakan perkataannya.

Bahwa dia dengan Aluna tak ada lagi celah. Namun, perlakuan lelaki itu sukses membuat hati Arunika porak-poranda.

Ya Allah ...

Aurora mendekap Arunika dalam pelukannya. Dengan perlahan, perempuan itu menarik tirai gorden untuk menutupi brangkar yang tengah di senyami Arunika. Memeluk tubuh ringkih, Aurora menyalurkan rasa simpati teramat pedih yang dialami sahabatnya.

“Sabar, Arunika. Allah tahu kamu kuat menjalankan ini semua.”

Arunika mendongak, kornea mata sudah tampak memerah. Menggeleng lemah, lalu Arunika menumpahkan air mata dalam pelukan Aurora. Dia menangis dalam diam agar Aga tak menyadari isak tangis yang ia pendam.

Apalagi, Arunika tak butuh rasa simpati dari Aga, jika nyatanya laki-laki itu menyakitinya berulang kali tanpa lelah.

“Ra ... Aku ingin keluar dari sini,” pinta Arunika sepelan mungkin. Suara parau yang mendominasi semakin menyayat hati.

Aurora mengangguk segera. Iya, Arunika tidak pantas melihat kekhawatiran yang ditampilkan Aga untuk Aluna. Bayangkan saja, di depan istri sah yang juga sama sedang sakitnya, lelaki itu mengeluarkan rasa ketakutan yang sangat hiperbola.

Membantu Arunika untuk turun dari brangkar, Aurora membuka gorden dengan kencang. Hingga menampilkan Aluna yang sedang terbaring lemah dengan dokter menananganinya. Di sana baik Aga atau pun Riko tak mengalihkan pandang sedetik pun. Arunika menghapus bulir-bulir air mata yang bertengger di wajah mulusnya.

Ketika hendak melangkahkan kakinya, Aga seolah baru sadar dengan keberadaan Arunika yang terlebih dahulu berada di sini. Aga merotasikan kepala hingga menangkap tubuh Arunika yang terseok-seok berjalan untuk keluar.

“Ika,” panggilnya lirih. Aga berlari kecil menyusul Arunika agar membantu perempuan itu yang kini sudah pucat pasi.

Arunika berhenti, tatapannya semakin sengit dengan mimik yang terkulai letih. Dia sudah lelah untuk menangis. Susah tak sanggup untuk selalu disakiti. “Mas Aga lebih baik urus Mbak Aluna saja. Dia lebih membutuhkan, Mas.”

Napas Aga sungguh tak teratur. Pelipisnya penuh keringat pun juga lehernya. Aga memandang Arunika penuh asa yang tergantung, tapi juga tak pernah memberikan rasa berembun. “Kamu istirahat dulu di sini. Wajah kamu masih pucat gitu, Ka.”

Arunika tersenyum hambar sebagai jawaban. Melepaskan kaitan tangan Aurora yang berada di pinggangnya. Arunika memapah tubuh senormal mungkin, berusaha menjelaskan bahwa ia baik-baik saja kali ini. “Aku tidak sekuat itu untuk melihat segala kekhawatiran yang kamu berikan untuk Mbak Aluna, Mas. Aku hanya realistis dengan segala takdir yang kuterima.”

Jleb.

Aga tertampar. Pikirannya kacau untuk sekadar memohon kembali kepada Arunika. Tak digubrisnya kini ada dokter yang masih memeriksa Aluna, pun Riko yang mengalihkan atensinya pada perdebatan sengit pasang suami istri ini.

"Mas, aku hari ini belum ingin menyerah. Namun, aku tidak tahu jika besok atau lusa."

Tepekur, berusaha menyimpulkan kalimat yang dilontarkan dari Arunika. Aga menghela napas panjang, lalu jemarinya berusaha menyentuh pergelangan tangan Arunika. Namun, dengan sigap Arunika menepis perlakuan Aga yang manis hingga ia tak mau disepah begitu saja.

“Ika, tolonglah jangan buat Mas semakin bersalah.”

“Bukan kamu yang salah di sini, tetapi aku yang dengan tiba-tiba datang mengisi relung hati. Aku yang datang tanpa diminta. Jika aku pergi dengan sendirinya, itu adil, 'kan? Aku ingin sadar diri dengan posisiku, Mas. Tidak usah kamu ulang terus-menerus, aku tahu sampai kini pun belum ada namaku di hatimu.”

Dihapus sebagian kepentingan penerbitan


Untuk, Arunika dalam proses penerbitan. Silahkan follow instagram @miftahuljannah6_ dan @penerbitlova !!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top