21 | Kembali Memikat
Bismillahirrahmanirrahim
Komennya dan vote teman-teman.
Happy reading!
Sebelumnya mohon maaf jika aku tidak membalas satu-satu komentar kalian. Tapi aku tetap bacanya kok, komentar kalian itu serius nambah energi banget🖤
Hari ini cuaca sama sekali tak mendung. Namun, hatinya tak teratur. Arunika masih terbayang pembicaraan dengan Aga kemarin, pun bersama Adiba yang membuat hatinya dilema berlarut-larut. Sampai pukul delapan pagi ini pun, Aga sama sekali tak menyusulnya. Bahkan sekadar mengirim pesan pun tidak. Ya, jadilah hati Arunika tak bisa di ajak bekerja sama.
Adiba menyuruhnya untuk berjuang.
Sedangkan, sikap Aga seolah ingin ia mundur pelan-pelan.
“Kak, jika Kakak memilih mundur tanpa berusaha ya nggak akan mungkin Mas Aga makin jatuh cinta. Memang cinta datang karna terbiasa, tapi apakah Kakak selama ini sudah berusaha untuk memikat hatinya?” Perkataan Adiba yang kini melingkupi hatinya untuk bertanya-tanya.
“Empat tahun nggak mungkin bisa di hapus segera, Kak. Setidaknya mereka punya kenangan bersama. Dengan hal itu Kakak nggak bisa menyuruh Mas Aga melupakan semudah aja. Kakak yang seharusnya membantu Mas Aga untuk melupakan Mbak Aluna.”
Setelah merenung berlama-lama, perkataan Adiba ada benarnya juga. Ya, selama itu dengan jangka empat tahun mereka merajut kasih bernama pacaran. Sama-sama dewasa yang keinginan mereka untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Itulah tujuan pasangan, bukan? Untuk merajut asa bernama pernikahan. Namun, takdir bertindak memisahkan, jadilah Aluna dan Aga yang masih sama-sama cinta melepaskan.
“Ikaa ....” Pelengkingan khas Aurora mengisi ruangan ini. Di belakangnya ada Meira yang memicingkan mata seraya memasukkan kedua tangannya di saku jas almamater.
Tak menggubris panggilan Aurora, ia sibuk berkutat dalam powerpoint. Perangkat pembelajaran yang ia tinggalkan karena sibuk menangis, lalu melupakan bahwa hari ini ia sudah janji untuk menampilkan presentasi agar siswa-siswanya cenderung aktif—di mana pada kurikulum 2013 memang siswa yang cenderung aktif di dalam kelas.
Sibuk menangis dan meratapi malam kelabu membuat Arunika meninggalkan pekerjaan ini dan alhasil pagi yang berembun segar mengharuskannya meratapi laptop kesayangannya.
“Jangan ganggu dulu ya sayang-sayangku, jam pelajaran keempat aku sudah harus masuk di kelas sebelas IPA tiga.”
Meira merampas laptop yang ada di pangkuan Arunika. Ah, ia tahu masalah yang terajadi antara Arunika dan suaminya. Tangisan Arunika di samping kafe dan air mata yang terus mengalir. Bahkan, wajah sembab itu tidak bisa dibohongi. “Biar aku aja menyelesaikannya. Ra, ambil kotak bekal di ranselku,” titahnya pada Aurora tanpa melepas pandang seinci pun dengan Arunika. “Kamu belum sarapan, 'kan? Makan dulu Ka, semua masalah tidak akan selesai kalau kamu menyelesaikannya sendirian.”
“Mei ....”
“Aku nggak minta kamu menjelaskan masalah rumah tanggamu, Ka. Itu adalah urusanmu dengan Pak Aga. Tapi, tolong jaga kesehatan kamu.” Meira mendesah gusar, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa samping Arunika. Ruangan yang tak sebesar kelas cukup untuk mereka mendiami tempat ini selama kurang lebih tiga bulan. Bahkan, pihak sekolah pun memperhatikan fasilitas untuk mereka. Sofa double agar mereka bisa nyaman membuat laporan.
Arunika terdiam. Hanya menuruti perkatan temannya ini dengan hati yang berkedut kencang. Setidaknya, masih ada orang-orang baik di sekitar hidup Arunika.
“Ra, bawa Arunika ke kantin kalau dia nggak mau makan, paksa. Badan udah kurus gini, lama-lama kurus kering juga kamu,” sambung Meira lagi, kini ia sudah berkutat dengan laptop Arunika.
Aurora mengangguk mantap. Dia sudah tahu masalah Arunika dari Meira. Tak bisa menampikkan hati, rasanya ia ingin menemui Mark Prin tiruan protagonis dan menjambak rambutnya. Dan ... Aurora harus menggantikan sebutan lelaki itu menjadi antagonis. “Huuh! Tunggu aja tuh Mark Prin tiruan antagonis. Mentang-mentang kaum wanita lemah seenak jidat nyakitinnya.”
Gerutuaan dari Aurora membuat Arunika mendesah.
“Mei, aku dan Aurora ke kantin dulu, ya. Sebelumnya makasih, Mei. Maaf sudah ninggalin kamu kemarin.” Netra sendu dengan mimik wajah yang kentara lesu membuat Arunika ingin merebahkan saja tubuhnya. Sebelum mengisi perut, ingin rasanya ia terlelap sebentar. Namun, kewajiban mengajar harus membuatnya menghilangkan segala kepenatan akibat terkuras energi semalam.
Masih sibuk berkutat dengan layar laptop, Meira mengangguk sembari mengibaskan tangannya agar dua sejoli itu segera pergi.
“Mei, tentang Abang Fajar nanti aja ya, aku akan jelasin kelanjutannya dengan dia,” terang Arunika penuh rasa penyesalan.
Meira mendongak. Netranya memandang tajam Arunika yang terlihat pasi. Seolah kuasa menahan duri-duri yang mengenai sahabatnya, Meira menjauhkan laptop dari pangkuan, lalu memeluk Arunika penuh kehangatan. “Ika, pedulikan diri kamu dulu. Buat dirimu bahagia, setelah itu baru membuat bangga. Di sini yang harus menjadi prioritas adalah kamu. Hati kamu tidak baik-baik aja sekarang. Menjadi perantara antara aku dan Bang Fajar nanti, nggak usah di pikirin dulu.”
“Kamu sudah membuatku berubah hingga seperti ini aja telah membuatku baik-baik aja, Ka. Maka dari itu, gantian aku yang harus menemanimu dalam suka dan duka. Jika kamu jatuh ada aku, Aurora, dan Utami di sini. Selesaikan dulu urusan rumah tanggamu dengan Pak Aga. Hilangkan persepsi untuk membuat orang lain bahagia, baru kamu.”
Arunika menelan ludah yang terasa kelat. Omongan Meira membuatnya tertampar.
“Benar kata Meira, Ka. Selama ini kamu mementingkan orang lain daripada dirimu sendiri. Kali ini, kamu tidak sendiri lagi. Janjikan untuk selalu bahagia?” Aurora menimpali.
“Udah, sekarang isi dulu perut kamu. Nanti kalau powerpoint ini sudah selesai aku WhatsApp.” Menyelonjorkan tungkainya di atas sofa, Meira melepaskan pelukan dan mendorong Arunika agar segera menjauh dari ruangan ini.
Aurora pun mengandeng lengan Arunika dan mengajak perempuan dengan tampang pasi tersebut keluar. Membawa serta lunch bag yang diberikan oleh Meira, Aurora mengulum senyum untuk menguatkan Arunika di sampingnya.
Belum sampai di taman—berada tepat di depan ruangan tadi—langkah mereka sama-sama terhenti ketika melihat siluet gagah dan berperawakan tinggi yang mendominasi. Tiga laki-laki yang berkisar lima puluh tahunan serta dua pria yang sebaya dengan ... Tunggu. Netra Arunika membeliak. Tubuhnya mengejang berserta degupan kencang di area dada.
Satu lelaki di antara lima pria tersebut adalah ... Aga, suaminya.
Tiga meter di hadapannya, beberapa pasang tungkai tersebut masih sibuk berjalan. Napas Arunika kentara tak teratur. Di depan sana Aga sedang bercengkrama dengan Riko, asistennya.
“Rik, nanti untuk bagian management aku serahin ke Pak Hakim, menajer keuangan. Masalah pupuk apa saja yang akan kita olah di sini biar menjadi tanggung jawab Aluna dan divisi produksi. Aku perlu melihat lapangan yang akan dijadikan tempat penelitian dan lab biologi juga.”
Suara bariton itu terngiang di telinganya. Genggaman erat di jemari Aurora semakin menguat. Ia bisa melihat lelaki itu sama sekali belum bertemu pandang dengannya. Aga masih sibuk membicarakan soal pekerjaan bersama Riko yang sedang memegang iPad dan menggulir jemarinya di layar.
Tak sempat Arunika menghindar untuk masuk kembali ke ruangan tadi, Riko malah mendongakkan kepala dan memanggil Arunika pelan, “Lho, Arunika magang di sini?”
Aga menghentikan perkataannya, lalu mencari nama yang di sebut oleh Riko tadi. Di sana, perempuan itu yang menggunakan jas almamater kuning menatapnya penuh kilatan sendu. Langkah Aga berhenti.
Meneguk saliva, Arunika menundukkan kepala. Ya Allah ... Dia hanya belum siap berjumpa dulu dengan Aga. Setidaknya, sampai ia pulang nanti karena Arunika belum mempersiapkan hati.
Tiga pria bertubuh tambun beserta rambut yang sudah terlihat memutih, mendadak menghentikan langkah kaki ketika Riko berujar tadi. Yang Arunika kenali hanya Pak Gaffar—kepala sekolah—sisanya yang berjas hitam tersebut sama sekali tak ia ketahui.
“Kebetulan sekali. Kalian panggil seluruh anggota PPL prodi biologi untuk mengarahkan siswa-siswa terpilih yang akan mengikuti program kerja sama ini. Nanti, ketua kalian menghadap Bapak dulu setelah ini. Bilang sama Bisma temuin Bapak di Aula.” Gaffar mengangguk dan tersenyum lebar ketika Aurora secepat mungkin merespon perintahnya.
Arunika masih terdiam. Mengangkat kepala dengan perasaan gamang, dia tak bisa menampikkan hati ada sayatan tersembunyi. Hanya beberapa detik Aga menatapnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah depan. Arunika tersenyum hambar tatkala Aga masih saja mencuekkan dirinya. Bahkan, tak ada sekadar sapaan untuknya setelah kejadian kemarin.
Bersama genggaman erat di jemari Aurora, dia menarik napas dalam-dalam. Hingga para tertua yang berada di barisan depan melanjutkan kembali perjalanan dan melewati mereka berdua dengan senyuman. Masih terasa baik-baik saja, namun ketika Aga dan Riko melalui posisi Arunika yang berada di ambang pintu, senyum dari Aga sama sekali tak terkembang. Fokus iris matanya menuju ke arah depan.
Lelaki itu melewatinya tanpa sebuah sapaan. Tanpa ada harapan untuk Arunika perjuangankan. Aga berubah semenjak pertengkaran yang sama sekali menyesakkan.
Sebelum akhirnya Riko bertanya pada lelaki itu mengapa menghiraukan Arunika dan menoleh ke belakang menatapnya. Namun, sia-sia saja. Aga masih kekeh untuk tak sekadar menyapa.
Aga memilih diam dan menjauh dari dirinya. Lantas dirinya harus bagaimana? Arunika takut serba salah dengan perasaannya.
Satu tetes kembali menggulir pipi. Beningan yang di harapnya untuk tak keluar lagi malah menetes satu, dua, tiga, lalu deras menimbulkan sesakan dada. Arunika bisa merasakan Aurora memeluknya. Aurora membawanya kembali masuk ke ruangan, menutup pintu dengan hati yang rapuh tak ada perekatnya.
Dalam pelukan Aurora, Arunika—lagi-lagi—tergugu. Nelangsa itu sudah jatuh.
Dihapus sebagian kepentingan penerbitan
To be continued.
Jazakumullah khairan yang sudah berkenan baca, ya.
Bagi pembaca online maupun offline vote dulu yuk. Dengan cara itu kalian sudah mendukungku.
Sampai jumpa di bab selanjutnya.
Untuk, Arunika dalam proses penerbitan. Silahkan follow instagram @miftahuljannah6_ dan @penerbitlova !!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top