19 | Bukan Tentang Aku

Bismillahirrahmanirrahim

Vote dan komennya ya, silent reader ayo tampakkan pesonamu hehe :D



Guyuran hujan masih menguar di kota Palembang. Langit yang beberapa menit lalu cerah mendadak mendung. Genangan air bah menyeruak di kerongkongan. Setelah melewati jalan tol Indralaya, mereka harus melewati jalan-jalan yang banyak bolongnya. Menyusuri, hingga menemukan kampus kuning yang luasnya berhektar-hektar itu. Bahkan kampus kuning ini pun masuk dalam jajaran Universitas terluas di seluruh Indonesia.

Pandangan Arunika tak putus dari kaca jendela. Setelah satu bulan melaksanakan Program Pengenalan Lapangan, kini mengharuskan mereka menghadap dosen. Bersama teman seperjuangan, Arunika datang ke sini.

Meira yang berada di jok depan seraya mengendarai mobilnya mendadak menekan pedal rem hingga membuat Arunika dan lainnya terhempas ke depan.

“Meiraa!” Aurora mendesis sembari mengelus pelipisnya yang terkena benturan keras. “Hati-hati lihat jalan dong.”

“Hehehe maaf, aku tadi lihat Bang Fajar lagi naik motor.” Dengan nada cengengesannya Meira menimpali. Kini dia pun sudah menancapkan lagi gas dengan kecepatan normal.

Sekonyong-konyongnya tubuh Arunika tergemap. Pikirannya fokus ke satu arah. Bang Fajar. Lebih dari sebulan semenjak pengakuan Fajar, mereka tak lagi bertemu. Bahkan dalam obrolan WhatsApp di grup GLCUNSRI dirinya kerap kali tak nongol.

Arunika hanya ingin menjauh beberapa waktu agar tak ada kesalahpahaman yang membuatnya harus terjebak dalam situasi sulit. Apalagi ia sekarang sudah menyandang status istri orang. Setidaknya, ia harus menjaga martabat Aga.

Setelah sampai di parkiran kampus, Arunika melihat Fajar yang sedang membenahi rambutnya di kaca spion. Sebaik mungkin Arunika membunyikan rasa gugupnya. Walau sama sekali tak ada rasa, namun hati ini mendadak gelisah sebab Fajar mengutarakan isi hati yang jelas ia tolak mentah-mentah. Ditambah lelaki itu mememberikan opsi untuk ia mundur dari pernikahan ini, kala itu.

“Bang Fajar.” Aurora sekuat tenaga mengeluarkan nada suaranya, sembari melambaikan tangan. “Undangan wisudanya kapan, nih? Lama banget, keburu kami susul.”

Fajar berdecak kesal seraya meletakkan helm yang ia kenakan tadi di atas spion motor. Langkahnya menggiring agar kian mendekat. Rambut panjang khas mahasiswa yang berkutat di organisasi membuat Fajar menarik perhatian penjuru mahasiswi, ditambah lagi program pendidikan yang ia tempuh kerap menyangkutpautkan bisa membaca pikiran manusia.

“Hahaha sudah ya tunggu aja, langsung Abang kasih undangan pernikahan nanti. Berbarengan.”

“Awas ya lo Bang kalau bohong,” imbuh Meira sengit.

Hendak melangkah cepat, Fajar menghentikan gerakan tungkainya. Netranya berulang kali mengerjap. “Kamu Meira? Beneran Meira?” ucap Fajar antusias seraya mengucek mata.

“Iya, kenapa?!” Meira lantas mendengkus.

“Kesambet apa kamu Mei, berhijab ala-ala ukhty gini. Wow ... Wow! Sebulan nggak ketemu dan bergabung dengan mereka buat kamu bisa berubah, ya.” Tangan Fajar berusaha meraih dan mengelus pucuk kepala Meira yang terbalut pasmina berwarna dusty pink.

Bergeming. Beberapa detik Meira menikmati usapan lembut di pucuk kepalanya. Namun, beberapa detik setelah sadar ia memundurkan tungkai hingga hampir terjembab ke belakang. Untung saja, qodarullah Rabb Semesta masih melindunginya.  “Ehum ... Bang, ja-jangan seperti i-itu lagi. Maksudku kita bukan mahram. Nanti timbul fitnah, I don't want any misunderstanding.

Seolah tertangkap basah, Fajar kontan mengangkat kedua tangannya sejajar telinga. Air mukanya mendadak berubah pucat tatkala matanya merangkum sosok perempuan di belakang Meira. Dia Arunika. Perempuan yang sulit sekali dilupakan. Yang mengisi relung afeksi, hingga menciptakan euforia tanpa akhir. Namun, seribu sayang, perempuan itu sudah milik orang lain.

“Ika, bisa kita bicara sebentar?” Tak mengindahkan perkataan Meira tadi, Fajar merubah mimik mukanya kentara sekali. Rahangnya bergemalatuk, mengeras hingga jambang-jambang di bawahnya terlihat.

“Kalian duluan aja, nanti aku nyusul.”

Yang lain pun mengangguk, melangkahkan tungkai mereka dengan rasa ragu. Menyisahkan Arunika dan Fajar yang sama-sama termangu.

Jemarinya sibuk melepas kancing kemeja atas agar rasa pengap yang mendadak menguyur tubuhnya sedikit berkurang. Fajar menekuri sosok perempuan yang jaraknya dua meter dari pandangan. Menelan saliva yang terasa kelat, Fajar membuka suara, “Ika, tentang perkataan waktu itu maaf sekali. Pikiranku kala itu runyam ketika mengetahui lelaki yang akan menjadi suamimu adalah Pak Aga.”

Arunika mengangkat kepala. Bibirnya kelu untuk sekadar membalas ucapan. Kali ini Arunika memilih diam, batinnya berkecamuk hingga remuk redam.

“Mari kita sama-sama lupakan ucapan Abang waktu itu, ya? Abang akan berusaha melupakanmu, walau realitanya Abang masih berharap ini mimpi di siang hari.” Terdengar hiperbolis sekali, tapi Fajar mengungkapkan rasa yang terdengar tak pantas untuk di dengar. Sembari tertawa kering, Fajar merutuki diri sendiri.

“Maaf Bang Fajar, semua ini adalah takdir Allah semua. Tidak ada kata kehilangan hanya saja kita yang berusaha melebihi cinta hingga melupakan Dia. Mungkin aku bukan yang terbaik untuk Bang Fajar, tapi sebaliknya aku membutuhkan Mas Aga agar bisa membimbingku ke surga. Sama-sama kita mengikhlaskan sebab sekuat apapun kita berusaha, semua akan sia-sia. Takdir Allah selalu nyata.”

Fajar menarik sudut bibir, menyinari embusan angin yang ikut menerpa dingin. “Insya Allah, Abang akan berusaha move on dari kamu. Kata orang melupakan perempuan adalah dengan cara mencari yang baru. Apakah kamu ada kenalan untung Abang? Ya, nggak harus setipe kayak kamu, Ka. Namun, kalau bisa yang berjilbab agar tidak menarik aku ke neraka.”

Arunika terdiam sebentar tampak berpikir sejenak, tak lama pun senyum simpul terkembang bersamaan rasa lega yang menguar. Setidaknya dia tak perlu kucing-kucingan lagi jika berpapasan dengan Fajar.

“Ada sih, Bang. Tapi beneran mau berusaha mengenal dia? Maksudku jika Abang berkenan nanti aku menjadi perantara. Yah, setidaknya membenarkan perkataan Abang ngasih undangan wisuda sekaligus prosesi walimah.”

Fajar manggut-manggut sambil mengusap tengkuknya. Sebetulnya, ia hanya bercanda agar percakapan mereka berdua mengalir dan secanggung tadi. Namun, sudah kepalang basah, Arunika menganggap serius perkataannya. “Boleh deh, Abang percayakan sama kamu.”

“Ahad ini bisa, Bang? Bukan terkesan mendadak sih Bang, tapi disegerakan lebih baik, bukan?” Arunika menyampirkan tali totebag di ketiak seraya bersiap-siap untuk menyusul rombongannya.

Menahan napas, tubuhnya seolah limbung tanpa di minta. Perempuan ini benar-benar menganggap serius. “Ya sebisa kamu aja deh, Ka. Yang penting nggak mengganggu waktu kamu dan Pak Aga.”

“Ahad ini jadwalku kosong, nanti aku kabarin via WhatsApp lokasi dan waktunya, Bang. Kalau gitu aku duluan, see you next time, Bang.” Melambaikan tangan, Arunika berlari-lari kecil untuk menyusul teman-teman. Dia tak mau menghadap dosen sendirian nantinya.

Bedak tabur yang berada di telapak tangan membuat Arunika mendesah kecewa. Bedak bayi yang ia tuangkan rasanya tadi hanya sedikit bertengger lumayan banyak. Dia mengulurkan ke arah Meira yang tepat di sampingnya yang kini sedang menepuk spons di pipi kanan dan kiri. “Pakai yang ini dulu, Mei. Sayang kalau dibuang.”

Meira menoleh sedangkan di tangannya sudah berganti alih menjadi lipstick berwarna orange yang kini sudah ia poleskan di sekitar bibir tipisnya. “Kamu kira aku masih bayi pakai bedak itu? Dan Ika, kulitku sudah nggak cocok lagi pakainya.”

Mengerucutkan bibir ranumnya kesal, Arunika menepuk-nepuk kedua tangan hingga taburan bedak tersebut bejatuhan di wastafel. Sudah hampir sepuluh menit di toilet menunggu Meira yang tak selesai-selesai memoles make up-nya. Arunika lantas membasuh kedua tangan dan menyenderkan kembali tubuhnya di dinding.

“Mau sewaw apapun kamu ber-make up, orang itu pasti tetap biasa aja nanti, malah buat kamu kesal, Mei. Udah ah nggak usah buang-buang waktu lagi.”

Meira menoleh, pelipisnya mengerut bingung. Di toilet restoran bergaya Jepang ini hanya mereka berdua. Setelah lalu-lalang yang hanya beberapa menit saja menyandangi tempat ini. “Maksud kamu apa? Sampai sekarang kamu belum beritahu aku siapa pria yang kamu maksud itu. Ya, aku rasa ini spesial.”

Sejak dia berhijrah, Meira sudah menghilangkan kebiasaan buruknya dalam berbicara kepada orang-orang. Mengganti panggilan lo-gue yang kata Arunika tak enak ia dengar. Panggilan non formal yang seakan menjadi hal lumrah di kalangan masyarakat. Alhasil, dia membiasakan memanggil teman-teman yang lain dengan kata aku-kamu.

Oh, menjadikan Arunika sebagai mentornya untuk berubah ke jalan yang baik adalah keputusan yang benar, tapi sifat kerewelan dan cerewetnya membuat Meira berulang kali menahan sabar.

Membuka layar gawai, Arunika membaca pesan yang terdapat di notifikasi pop-up mengatakan sang pengiriman pesan tersebut sudah tiba dan berada di lantai atas. “Yuk ... Buruan ini doi sudah nunggu.” Menarik lengan Meira paksa untuk keluar dari toilet.

Meira melepaskan tarikan Arunika di tangannya. Seolah meminta beberapa menit saja untuk ia membenahi hatinya yang kini bagaikan diterpa ribuan serangga. “Kamu duluan aja. Lima menit, aku nyusul ke sana. Hati aku mendadak nggak bisa di ajak kompromi, Ka.”

Mengangguk setuju, Arunika mengangkat tangannya yang membentuk angka nol. Berjalan menjauh meninggalkan Meira yang ia benarkan mendadak pucat. Ingin dia tertawa geli melihat perubahan raut Meira. Perempuan itu ada rasa gerogi, walau sikap kesehariannya yang aktif sekali.

Menengok ke belakang, tak di dapatinya Meira menyusul. Arunika mengedikkan bahu seraya berjalan santai menuju tempat seseorang menunggu. Dress berbahan lace berwarna toska membalut indah di tubuhnya berserta pasmina instan yang menutup dada membuat tampilan Arunika begitu khas.

“Aluna ....”

Langkahnya mendadak terhenti. Sekujur tubuhnya menegang dan menimbulkan detakan berfrekuensi tinggi. Suara parau yang sudah terlalu dominan ia dengar membaur indah di sekitar restoran. Dia belum berjalan menuju tangga untuk ke lantai atas. Baru melangkahkan kaki beberapa jengkal saja dari toilet suara itu berpendar hingga menimbulkan spekulasi.

Netranya mulai mencari keberadaan sosok itu, hingga pandangannya merangkum sepasang insan yang tengah duduk berhadapan di meja panjang dekat dinding kaca yang menampakkan halaman restoran. Tak terlalu jauh dari balik toilet sehingga membuat Arunika bisa mendengar percakapan di antara mereka.

Mereka adalah Aga dan Aluna yang kini berpakaian rapi bak pegawai di gedung pencakar langit. Tas bermerek di atas meja membuat Arunika menelan saliva.

“Aga, sekarang Bang Fadli sudah menghapus persepsinya agar tak meminta untuk menyekolahkan Gita. Pikirannya sekarang sudah terbuka, bahkan Gita sering mendapatkan beasiswa, mungkin dari itu kurasa Bang Fadli melupakan omongannya.”

Menebalkan telinga, Arunika merapatkan ke dalam tubuhnya agar tak terlihat bahwa ia kini sedang menguping pembicaraan.

“Andai saja kamu menunggu beberapa bulan lagi, mungkin cerita kita tak akan seperti ini.” Desahan pasrah lolos dari kerongkongan Aluna. “Andai kamu memperjuangkanku lebih, mungkin kamu tak akan menikah dengan Arunika dan aku tak terlibat hubungan dengan Irsyad.”

Mengigit bibir bawah, Arunika mengeratkan genggamannya di sekitar dada. Ada denyut di dalam afeksi. Air mata pun mendadak ingin tumpah tanpa di minta.

“Lun, ingatkan janji kita untuk tidak membahas masa lalu?” Melodi yang mengalun dari bibir Aga——lagi-lagi——membuat jiwa Arunika meredam sakit yang bertalu-talu.

“Iya aku ingat, Ga. Hanya saja aku bertanya-tanya kenapa Sang Pencipta menyatukan kita empat tahun lamanya, jika akhirnya dipisahkan dengan rasa yang masih melekat sama. Aku seperti menjaga jodoh orang. Dan bodohnya aku masih menyimpan rasa yang membuatku ingin mengerik, tapi tak bisa.”

Ya Allah ... Hati ini sudah rapuh. Mendengar fakta bahwa sepasang luka masa lalu itu masih menyimpan rasa yang sama. Mereka berdua masih sama-sama cinta. Lalu, mengapa takdir harus memisahkan mereka?

Ya Allah ...

Berulang kali Arunika menahan napas untuk melafazkan kalimat itu.

“Lun, jangan membuatku menjadi serba salah. Aku nggak mungkin mengkhianati Irsyad.”

Oh, jiwa. Air mata itu tumpah. Berulang kali tanpa suara, tapi sesak meraja.

Apakah jika lelaki itu bukan Irsyad, mas Aga rela untuk kembali pada Aluna?

Tak mungkin mengkhianati Irsyad. Hanya nama Irsyad yang lelaki itu ucapkan. Tak ada nama dirinya.

Hingga panggilan dari Fajar yang berada di anak tangga——berhadapan langsung dengan pintu masuk toilet wanita——membuyarkan acara diam-diamnya, “Ika, kenapa masih di situ?”

Suara bariton khas Fajar membuat Aga tersentak. Pandangannya beralih ke sumber objek yang kini di tatap Fajar dari kejauhan.

Tatkala mendapatkan Arunika yang berada di pojok pintu masuk toilet wanita membuat Aga menahan sesak di dada. Hanya beberapa meter, ia bisa merangkum bulir-bulir yang menetes di sana.

“Ika, kenapa ada di sini?”

Arunika menatap nyalang suaminya dengan wajah sembab. Lagi, tetesan itu berjatuh tanpa henti. “Bukan tentang aku, Mas, tapi kamu ... Kenapa bisa ada di sini?”

Untuk, Arunika dalam proses penerbitan. Silahkan follow instagram @miftahuljannah6_ dan @penerbitlova !!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top