17 | Kencan Pertama
Bismillahirrahmanirrahim
Vote dan komennya gais.
Jangan lupa follow akun wattpadku dulu, ya. Terima kasih selalu mendukung.
Ujian adalah cara Allah untuk mengukur kesabaran seorang Hamba. Ujian bukannya melemahkan, tapi menguatkan. Belajarlah agar hati menerima, bukan menghakimi tiap takdir yang di jalani.
@haffaza_
Mendengar kisah cinta yang pelik diutarakan Meira membuat Arunika bergeming dalam posisinya. Setelah menyadari dirinya ada di sini, Meira pergi tanpa pamit dan tanpa mengatakan sepatah pun pada Arunika. Seolah dia tak ada apa-apanya di mata perempuan itu. Setidaknya, Meira memandang bahwa mereka pernah berjuang bersama. Itu saja, tak usah lebih.
Namun, ego Meira mengharuskan Arunika berada dalam situasi sulit. Hanya ia dan Aga di sini. Menyisakan kejanggalan yang bungkam. Hingga lima menit kepergian Meira, Aga masih saja diam.
"Mas Aga."
Aga mendongak, menatap balik netra bening milik Arunika. "Makan saja dulu," kilahnya menutupi. Tak kelang beberapa lama tadi, Binar membawakan pesanan mereka berdua. Sunyi. Di lantai atas ini seakan berkonspirasi untuk ikut bergeming.
Arunika menuruti. Mengais makan siang dalam sepi. Hatinya sungguh meringis. Ingin menangis, tapi jiwa ini terlampu perih.
Tak ada yang harus ia lakukan selain mengait hati Aga untuk menjadikan Arunika satu-satunya. Namun, dia takut kecewa. Takut Aga tak bisa dan ia menyerah.
"Mas Aga," panggil Arunika tatkala sudah selesai menyantap makan siangnya. Dia harus segera mendapat penjelasan sebelum Aurora menelponnya untuk kembali.
"Maaf. Bukan aku yang membawa Meira ke sini."
Meira. Ingin rasanya Arunika menghabiskan perempuan itu. "Bukan tentang Meira, Mas," jedanya beberapa detik sembari menghela napas panjang. Arunika memandang Aga penuh kejelasan, seakan mencari jawaban yang sampai sekarang tak ia temukan. "Tentang Mbak Aluna."
Mendengar hal itu, Aga memutus kontak mata mereka. Napasnya naik-turun. Pasokan oksigen di kafe papa tak bisa membuat Aga menghirup lega. Sebenarnya Aga tak ingin Arunika tahu ada apa Aluna di balik ini semua. Yang nyatanya memang tak ada sangkut paut dan kesalahan.
"Kamu bisa menyimpulkan sendiri dengan perkataan yang diucapkan Meira tadi."
Arunika menggeleng. Defintif, ia tahu siapa Aluna. Dia tak gagap teknologi, bahkan selama ini Arunika diam-diam menjadi stalker suaminya sendiri. "Aku ingin tahu dari Mas sendiri."
"Aluna ...," Aga menggantung kalimatnya sembari tertunduk lemah. "adalah masa laluku."
Bergeming. Seketika air mukanya berubah dingin. Tak bisa menutupi topeng yang selama ini ia pendam, Arunika menatap nyalang suaminya. Aga terus terang, walau realitanya ia sudah mengetahui ini dari jauh-jauh hari.
"Maaf, Ika. Aku belum bisa menghapus nama Aluna sampai sekarang. Tapi aku janji untuk—"
"Tidak apa-apa, Mas. Bukankah mencintai tak harus meminta untuk melupakan masa lalunya? Sekuat apapun kamu berusaha untuk mengerik nama Mbak Aluna, sia-sia saja. Aku tidak ada di hati kamu."
Arunika meringis. Mulutnya selalu saja bertolak belakang dari perasaannya. Setelah mengucapkan itu, bukannya merasa tenang, malah Arunika kecewa. Apa yang baru ia perbuat? Kutipan novel Origami Hati yang memang baru-baru ini ia baca melekat begitu saja di otaknya. Hingga ia mengungkapkan itu seolah hatinya tidak apa-apa.
"Ika, tidak seperti itu." Aga mendesah, menyugar rambutnya frustrasi penuh rasa bersalah. "Aku butuh waktu untuk memperbaiki ini semua. Dan butuh waktu untuk mencintaimu."
"Mas ...," suara Arunika terdengar parau. Beningan air mata menyeruak ingin keluar. Ya Allah. Dia hanya ingin tak terlihat lemah di depan suaminya. Walau nyatanya pegangan itu tak ada. "Sampai kapan kamu akan berusaha?" Arunika menyeka air mata yang sudah terjun di pipinya. Setetes, tapi mencubit.
"Sampai aku sudah melabuhkan hatiku pada kamu."
"Mas, mungkin saat ini aku baik-baik saja. Ah, sebetulnya tidak. Namun, aku tak tahu sampai kapan hati ini menerima semua. Aku sama seperti perempuan pada umumnya. Aku tidak mau menjadi bayang-bayang. Jika suatu saat aku menyatakan menyerah, maafkan aku."
Aga terdiam. Memijit pelipisnya yang berkabut pening tak terhingga. Mendadak hatinya tak sekebal dulu ketika Fadli memutuskan lamarannya kepada Aluna. "Ika," desisnya frustrasi.
"Mas, kamu saja tidak tahu sampai kapan akan berusaha untuk mencintaiku, maka dari itu aku pun tak tahu kapan hati ini menyerah untuk memahami perihal perasaanmu," sanggah Arunika penuh tekanan. Hatinya sudah kepalang tak suka atas jawaban Aga yang semena-mena. "Hingga sampai di titik aku lelah, jangan pernah menyalahkan semua takdir ini semua."
Aga bergeming lama. Otaknya berusaha menyimpulkan ucapan Arunika.
Perempuan itu lelah. Walau belum ia ucapkan sepenuhnya. Bahkan belum pernikahan mereka genap satu bulan.
Astaga, Aga apa yang kamu lakukan!
Pekatnya dingin malam harus rela mereka terjang. Dilingkupi oleh selingan sunyi yang mendominasi dari dalam mobil ini. Semenjak pertengkaran hebat ... Tidak, itu bukan pertengkaran, tapi semacam perang batin yang belum menemukan arah jalan pulang. Mereka sama-sama terjebak dalam jurang yang bernamakan masa lalu.
Setelah mengetahui Arunika melaksanakan Program Pengenalan Lapangan di sekolah adiknya, Aga menjemput Arunika walau perang batin di kafe papa tadi masih melingkupi.
Jadi, tak ada obrolan singkat yang melelehkan hati. Arunika memilih melihat ke kaca mobil. Memperhatikan jalanan yang ramai dan di penuhi penjualan yang berada di pinggir jalan. Setelah melaksanakan salat magrib di masjid yang mereka sandangi, Arunika belum juga membuka suara.
Hingga deru mobil yang ia tumpangi ini berhenti tanpa aba-aba. Lantas Arunika menengok ke samping, menemukan Aga yang sedang membuka seatbelt.
"Kamu nggak mau turun?"
"Kita mau ke mana?" tanya Arunika balik.
Wajah Aga sudah terlihat lelah, tapi lelaki itu tampik segera. "Kamu nggak lapar? Kita mampir makan dulu."
"Kenapa nggak makan di rumah? Aku rasa Bi Rani sudah menyiapkan makan malam," kilah Arunika seraya menyampingkan kontak mata. Jelas, Arunika kali ini menolak.
"Aku sudah keburu lapar, mie tek-tek di sini enak. Beneran nggak mau coba?"
Akhirnya, Arunika mengalah. Memgumpulkan kekebalan di hatinya sambil mengangguk pasrah. Sistem fullday yang diadakan di tempatnya melaksanakan PPL membuat mereka mengharuskan pulang sore. Ditambah jarak dari sana menuju rumah cukup jauh.
Membuka seatbelt dan menyusul Aga yang sudah keluar dari mobil, Arunika tertawa kering. Bisa-bisanya Aga membawa ia terbang, lalu nanti menghempaskan begitu saja. Beberapa kali ini hatinya sudah jengah. Arunika terlampau sakit untuk merasakan ini semua. Hingga nanti jiwanya remuk redam dan memilih menyerah. Ia cukup menunggu sampai waktu itu terbukti.
"Wahh." Setelah keluar dari mobil, mulutnya terbuka lebar. Sepasang netra Arunika berbinar cerah. Bahkan senyum yang semula ciut terkembang sempurna. "Kamu beneran ngajak aku ke sini, Mas?" tanya Arunika celingukan menelaah tiap wahana yang berada di pasar malam.
"Kamu suka, 'kan?" Aga tersenyum manis melihat Arunika memalingkan wajahnya melihat-lihat wahana yang ada. "Aku nggak tahu tempat favoritmu, tapi Icha bilang tiap perempuan suka diajak ke pasar malam. Aku senang kalau kamu suka aku ajak ke sini," teriak Aga menandingi suara riuh pengunjung di sini.
Arunika mengangguk tanpa mengalihkan pandangan pada bianglala. Senyum yang terkembang hingga menarik ujung mata. Hingga Arunika melupakan perang batin di siang hari tadi. "Mas Aga terima kasih," pekiknya.
Aga menarik lengan Arunika dan menggenggam tangannya untuk membawa lebih masuk ke pasar malam. Pengunjung yang ramai berdesak-desakan tak membuat Aga menyerah, ia tetap membawa Arunika untuk menikmati panorama indah di tempat ini.
"Kamu mau coba masuk tong setan?" tanya Aga dengan nada tinggi. Kendati tong setan membuat adrenalin berpacu kencang, Aga sangat menyukai pertunjukan ini. Ya, sebagai seorang lelaki dia tak bisa menampik untuk memanjakan mata melihat aksi.
"Ramai banget, Mas. Suaranya juga gaduh," balas Arunika lebih menaiki suaranya. Deru mesin motor di dalam tabung itu memekakkan telinga. Arunika bukannya tak suka, tapi dia tak sanggup mendengar deru mesin tersebut.
Mengernyitkan dahinya semakin ke dalam, Aga tersenyum usil dan dihadiahkan oleh Arunika cubitan kecil.
"Mas Aga, aku serius," keluh Arunika sembari mendelik tajam.
"Oke-oke." Aga menarik lengan Arunika satunya lagi hingga mereka berhadapan langsung dengan jarak yang berarti. "Jadi kamu mau naik wahana apa?" tanyanya, "jangan bilang terserah."
Mendegus kesal, Aga seolah sudah tahu kelemahannya. "Aku bingung, Mas." Arunika mengerlingkan matanya menelaah tiap wahana tinggi yang penuh teriakan dari pengunjung. "Dulu waktu aku masih kecil Ayah sering ajak ke sini. Aku suka naik bianglala dan galeon, tapi ...."
Menunggu ucapan dari Arunika, Aga semakin menaikkan alisnya. "Tapi apa?"
Alih-alih menjawab, Arunika malah menundukkan kepala dan semakin menekan genggaman tangannya yang berada di kepalan Aga. "Aku takut untuk naiknya lagi, Mas."
Sekonyong-konyong Aga tertawa geli sembari menyeringai menatap Arunika dengan jahil. "Ada aku, kenapa harus takut?"
Arunika menggeleng, mendongakkan kepalanya hingga merangkum sepasang netra yang sekarang selalu menjadi favoritnya. Ada kilatan geli di iris mata Aga dan seringai menjengkelkan membuat Arunika pongah. "Ish, jangan jahil gitu, Mas."
"Ya sudah, kita makan dulu, oke?"
Lagi-lagi Arunika hanya mengikuti Aga mengiringi tangannya untuk mengitari pasar malam. Dari samping dia diam-diam melihat postur rahang suaminya yang tegas. Bibir tebal dipadu senyum menawan. Aga ... Yang entah kapan mengisi hatinya. Lelaki itu mampu mengikat simpul indah dalam afeksi.
"Eh, Mas berhenti sebentar." Mengalihkan pandangan menuju komedi putar, matanya berulang kali berbinar. "Aku mau naik itu dulu, Mas."
"Naik komedi putar?" tanya Aga tanpa ekspresi.
"Iya," jawab Arunika tanpa ragu.
Dia harus mengalah. Cukup tadi Arunika mendiaminya tanpa berucap sepatah kata pun. Setidaknya, membuat perempuan ini bahagia karenanya bisa menghapus kesalahan Aga siang tadi. "Baiklah, ayo pesan tiketnya dulu."
Usai sampai di depan pemesanan tiket, Aga mana mungkin untuk menaiki wahana yang dipenuhi para remaja dan anak-anak. Bahkan mayoritas kaum perempuan. Ya kali, Aga menurunkan egonya untuk ikut menikmati komedi putar.
"Nggak apa-apa, Mas. Biasanya kalau ada pasangan yang ingin naik ini berdua, berarti perempuan itu lagi ngidam. Tidak semua yang menaiki komedi putar anak-anak kok, Mas." Pegawai tiket yang berada di dalam box besar itu mengangkat kedua jempolnya.
Aga melirik Arunika sebentar. Tunggu, apa tadi ngidam? Arunika ngidam? Bahkan menjadikan Arunika istri seutuhnya saja belum ia laksanakan.
"Tidak apa-apa Mbak, mungkin suami saya memang nggak suka naiknya. Maaf ya, Mbak nggak jadi aja pesan tiketnya." Arunika melepas tautan jemarinya yang berada di genggaman Aga, lalu mengeluarkan dompet dan menyerahkan selembaran uang. "Sebagai kompensasi nggak apa-apa Mbak diambil saja."
"Kamu nggak jadi naik ini?" Mencekal lengan Arunika yang hendak pergi, matanya memicing penuh ekspresi tak mengerti.
Arunika menggeleng, melepaskan cengkraman erat di pergelangan tangannya. "Kita lansung makan aja, habis itu pulang."
"Terus wahananya?"
"Nggak usah."
"Kamu marah?" tanya Aga terus terang. Sebab perubahan emosi Arunika tak sebaik tadi.
Menggelengkan kepalanya, Arunika tersenyum hambar. "Kenapa aku harus marah?" Ah, jiwanya yang tadi sempat tertinggal kembali lagi. Jiwa yang menharuskan untuk sadar diri di kehidupan Aga. Tak seharusnya ia terjebak dalam romansa hingga dijatuhkan begitu saja.
"Aku malu naik itu. Naik yang lain aja, ya?"
"Aku tahu dan memahami itu."
"Jangan marah. Aku nggak suka dikit-dikit di persoalkan begini. Jangan jadi anak kecil, oke?" komentar Aga seraya mengusap pucuk kepala Arunika.
Menatap jengah, Arunika membuang pandangannya. "Mas memang menikahi anak kecil. Tanggung sendiri risikonya."
"Ya sudah Mbak, naik wahana ini jadi. Tolong minta tiketnya." Tanpa meminta persetujuan Arunika, Aga menyerah untuk melawan istrinya. Baru tahu, jika Arunika memiliki mulut sepedas belati.
Pegawai tiket yang sedari tadi menyaksikan pertengkaran mereka kini senyum cengengesan. "Semoga cepat mendapatkan momongan ya, Mbak-Mas. Eh, atau sekarang memang sedang mengidam?"
Arunika dan Aga saling pandang. Mendengar hal itu jiwa mereka mendadak bungkam. Sebuah pertanyaan yang jawabannya sederhana, tapi tak bisa mereka ungkapkan bersama-sama.
Untuk, Arunika dalam proses penerbitan. Silahkan follow instagram @miftahuljannah6_ dan @penerbitlova !!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top