16 | Perih

Klik tombol bintang dan komen dlu ya. Happy reading

Aku, kamu, kita, dan masa lalu seperti terbangan lara yang tak kunjung menepi. Ingin aku menjadi satu-satunya untukmu, tapi setia itu bukan untukku.

Benar kata orang. Jika mencintai seseorang yang tak sama sekali melihat kita itu sakit. Namun, entah kenapa rasa itu malah semakin besar jadinya. Ah, cinta. Satu frasa yang membuat seluruh umat manusia merasa dilema.

Arunika menghela napas seolah beban-beban berat itu bisa runtuh di pundak dan hatinya. Pikirannya sibuk berkecamuk tanpa jalan keluar yang belum ia temui.

“Kamu kenapa dari tadi gelisah terus?” Berhenti dari kegiatan menulisnya, Aurora bertanya pelan. “Ini tentang Mark Prin—”

“Mas Aga, Ra. Dia nggak sejahat yang kamu pikirkan,” sangkal Arunika cepat.

Memutar posisi duduknya agar menghadap lurus ke arah Arunika, setelah itu Aurora menggenggam bahu sahabatnya penuh penekanan. “Ika, aku sudah kenal kamu semenjak kuliah. Kalau kamu ada masalah cerita. Kamu nggak bisa memendam itu sendirian, kasihan lihat hati kamu.”

“Tapi dia bukan Mark Prin tiruan antagonis. Dia suamiku, Ra.”

Mendengus jengkel, Aurora merotasikan netranya. “Jadi aku harus mengubah menjadi Mark Prin tiruan protagonis, gitu?”

Arunika pasrah, Aurora memang tipe perempuan yang menjengkelkan. “Lebih baik kamu di kurangin deh nonton drama Thailand dan Korea. Bentar lagi sibuk revisi, belum lagi nanti sempro, semhas, sidang dan wisuda.”

“Hei Mbak, seharusnya kamu yang bisa membagi waktu nanti. Belum ngurusin suami, sibuk revisi. Jujur aja ya Ka, menikah saat kuliah itu nggak mudah dan nggak sulit. Tapi tergantung dirinya masing-masing agar tak keteteran waktu. Namun, namanya aja kuliah, tugas menumpuk di mana-mana. Dan apa yang dipikiran kamu saat itu untuk menerima Aga? Belum lagi banyak masalah rumah tangga. So, yang harus dipertanyakan itu kamu. Maka dari itu berbagi cerita dengan aku, siapa tahu aku bisa bantu.”

Ribet masalahnya. Pasalnya Arunika benar-benar tak ada masalah dengan Aga, tapi hatinya berbuat semena-mena seolah Aga salah di matanya.

“Aku nggak tahu Mas Aga salah apa.”

Terperangah, Aurora mengerjap seraya menarik napas gusar. Geleng-geleng kepala, tangannya bersidekap meminta penjelasan seutuhnya. Dalam kalbu Aurora mengucap istigfar. Temannya satu ini benar-benar ambigu. “Terus masalahnya apa sampai kamu nggak fokus gini?”

Menahan dagu di kedua tangan, Arunika menggelengkan kepala. Pandangannya nanar ke depan seolah meminta ketenangan di sana.

Ini hari pertama mereka melaksanakan Program Pengenalan Lapangan yang berpusat di SMA Negeri Sepuluh Palembang untuk kelompoknya. Sekolah Adiba dan Clarissa. Dua tuyul yang akhirnya mencapai kesuksesan bisa menjodohkan Aga dan Arunika.

“Ika ...,” panggil Aurora sambil menggenggam punggung tangan Arunika.

Memijit pelipisnya yang terasa pening, Arunika mengembuskan napas panjang. Saat ini mereka berdua berada di mushola. Bisa-bisanya mencari kesejukan di sini, di saat yang lain sibuk merapikan ruangan yang akan mereka pakai tiga bulan ke depan.

“Menurutmu jika pasangan kita tidak pernah mem-posting foto berdua dengan pasangannya kira-kira bagaimana?”

Terkejut, Aurora melontarkan tatapan penuh tanya. Semula tubuhnya yang bersidekap dengan perlente, lemas seketika. Lalu, tawa keras menggelitik euforia di penjuru ruangan. Aurora terbahak hingga matanya menyipit ke atas. Astaga! Untung saja tak ada laki-laki di sekitaran mushola.

“Jadi itu yang kamu permasalahin sampai bener-bener ngubah mood sampai hancur gini,” ucapnya sambil terkikik-kikik geli. Memegang perut yang ikut konspirasi mensukseskan ejekannya pada Arunika.

“Udah ah males cerita sama kamu, Ra. Semuanya nggak kamu anggap serius.” Menjauhkan laptop yang berada di pangkuannya, lantas Arunika berdiri dengan tatapan sengit.

“Ika, kamu tahu kan bagaimana pentingnya komunikasi dalam hubungan rumah tangga. Nggak selamanya harus kamu pendam semua. Mungkin Mark Prin tiruan protagonis belum tahu nama username kamu. Atau dia nggak mau lihat wajah istrinya yang kyeopta ini di lihat oleh laki-laki lain,” terang Aurora penuh bijaksana.

Tertegun. Arunika meringis pilu. Banyak hal yang belum ia bicarakan dengan Aga. Bukan masalah instagram saja. Tentang wanita itu dan tentang posisinya di kehidupan Aga. Jujur saja, perempuan mana yang mau menjadi bayang-bayang.

Terlampau sakit bak belati menggigit.

“Bukan itu aja, Ra. Saat Mas Aga mendapatkan award dia nggak nyebut nama aku, malah nyebut nama Mbak Aluna. Ya, walau pernikahan kami belum genap sepekan, tapi aku ada di sana. Menyaksikan dia meraih penghargaan.”

Alih-alih menyahuti, Aurora terbahak lagi. Kali ini lebih besar dari yang tadi. Dan ia bisa pastikan bisa terdengar sampai pelataran mushola. “Masya Allah. Ika pikiranmu cetek banget sih. Dia suami kamu, cobalah untuk berprasangka baik tanpa harus suudzan terlebih dahulu.”

“Aku nggak berprasangka buruk, Ra. Aku hanya bingung aja,” lirih Arunika parau. Hatinya meringis menahan risak hati yang tak kunjung menemukan tepi. Aga. Suaminya itu yang belum membuka hati untuknya. Entah kapan, tapi Arunika tak bisa menahan. Dia bukan perempuan yang mempunyai batas kesabaran yang besar, dia layaknya mahasiswi pada umumnya. Mengeluh, menangis pilu, dan merutuki kisah hidup.

Aurora mendesah kecewa. Menyenderkan bahu di dinding dengan pongah. “Kamu telepon dulu Mark—Hem, maksudku Pak Aga. Bicarakan baik-baik dengannya.”

“Tapi, aku takut ganggu waktunya Mas Aga,” jawab Arunika seraya mengelus pelipisnya gusar.

Mengelus dadanya dengan mata terpejam, Aurora jengah. Ingin memaki, tapi sahabatnya ini ... Ah sudahlah, Arunika si keras kepala. “Ya sudah kirim pesan deh.”

Mengiakan dengan air muka yang kunjung melesu, Arunika mengeluarkan gawai yang berukuran lima inchi tersebut dari saku jas almamaternya. “Mau kirim pesan apa?”

“Suruh jemput atau makan siang bareng,” jedanya beberapa detik sembari berpikir keras, “ini urusan rumah tangga kamu, kenapa aku yang repot sih.” Aurora mengacak-acak kerudungnya hampir berantakan.

Oh, Arunika butuh sedasi sekarang. Adrenalinnya berpacu kencang. Dia tak tahu harus bagaimana. Jari-jemarinya mengetik lincah di keyboard gawai.

Arunika
Assalamualaikum. Mas, sekarang masih di kantor?

Memejamkan mata, ia tak mau terlihat lemah. Arunika berulang kali melihat tanda centang dua di pesan yang baru ia kirimkan. Info kapan Aga terlihat tak nampak di layar. Mematikan gawai, Arunika menaruh lagi ponselnya di saku jas berwarna kuning yang ia pakai.

Ting!

Dentingan dari ponselnya menginterupsi. Notifikasi pop-up di layar gawai membuat Arunika terpaku sejenak.

Mas Aga
Wa'alaikumsalam. Masih. Memangnya kenapa?

Aurora lantas berdiri, mengintip chatting-an antara pasangan suami-istri yang merumitkan kondisinya. “Langsung aja tanya Mas sudah makan belum. Gitu aja kok susah,” dengus Aurora kesal tatkala Arunika masih tercenung dalam pikirannya.

Arunika
Mas sudah makan siang?

Mas Aga
Belum. Bentar lagi.

Memicing ke arah Aurora yang kini bersidekap pongah, Arunika membingkai air muka lemah. “Buruan bales, itu doi masih online.”

Arunika
Mau makan siang bareng?

Mas Aga
Lho, kamu nggak kuliah hari ini? Jauh banget Mas kalau jemput kamu di Indralaya sana.

Tunggu-tunggu. Arunika berusaha mencermati tiap kata yang dikirim oleh Aga. Ada yang janggal. Hingga Arunika menemukan kata yang membuat hatinya berbunga. Aga menyebut dirinya dengan kata aku lagi. Hatinya berdesir. Darah-darah seakan mengalir hingga membuat Arunika tersenyum mengarah Aurora.

Arunika
Aku ada di SMA sepuluh, Mas. Tempat Icha dan Adiba.

Mas Aga
Kamu ngapain di sana?

Arunika
PPL, Mas. Maaf ya baru izin. Hari ini baru hari pertama.

Mas Aga
Ya udah it's okey. Mau Mas jemput di sana?

Arunika
Nggak usah, Mas. Nanti ketemuan di caffe Papa aja ya yang dekat PTC Mall.

Mas Aga
Oke. Nanti Mas kabarin kamu kalau sudah otw.

Aurora geleng-geleng kepala tatkala melihat sahabatnya itu senyum seraya menyengir lebar. Ah, tentu saja ia senang jika Arunika bahagia seperti ini. “Uhuyy, teman-teman ada yang seneng nih karna mau kencan sama suami,” teriak Aurora kencang hingga dua orang siswa yang melewati mushola menoleh ke arah mereka.

Arunika menutup mulut Aurora sembari mendelik tak suka. Meminta maaf pada dua orang siswa tadi, Arunika mengepalkan jemarinya. Buku pada ruas jari mengeras. Oh, si Aurora, seorang mahasiswi pendidik yang tak bisa memfilter perkatannya.

Jas almamater berwarna kuning tersebut tak lagi melekat di tubuhnya. Blues berwarna karamel membuat kulit putih Arunika kontras terlihat cerah. Dengan sling bag yang dipinjamkan oleh Aurora tadi membuat penampilan kasualnya manerik perhatian. Ah, setidaknya kencan pertama bersama suami bisa melekat di memori.

Apa tadi? Kencan pertama. Ah, Arunika tak bisa menampik ini adalah kencan perdana bersama Aga dan pertama kali untuk dirinya.

Memasuki kafe sang mertua yang cukup ramai di waktu menjelang makan siang membuat Arunika harus bersabar. Iris matanya mengerling mencari-cari papa yang sama sekali tak menampakkan batang hidungnya.

Lima belas menit yang lalu Aga mengirimkan pesan bahwa ia sudah berada di jalan. Mungkin saja terjebak macet yang menjadi hal lumrah di Palembang. Kota ini hampir menyamai ibu kota. Polusi penduduk yang meningkat dan keterbatasan tempat membuat Palembang benar-benar padat.

“Ini Bu Arunika, istrinya Pak Aga, 'kan?” Waiters berkerudung hitam tersebut tiba-tiba muncul dari samping. Kendati tersenyum, gadis muda yang berumur delapan belas tahun ini menarik tangan Arunika dan langsung menyalami sopan.

Arunika tersenyum kikuk. Dia tak pernah diperlakukan seperti ini oleh orang luar.

“Pak Aga ada di atas, Bu. Sekitar lima menit tadi baru sampai. Mari saya antar, Bu.”

Mengangguk pelan, Arunika membiarkan gadis kecil ini menarik tangannya untuk menaiki tangga. “Aslinya Bu Arunika itu cantik.”

“Panggil Mbak aja, oke? Berasa udah tua nih,” kelakarnya sembari mengedipkan mata. “Nama kamu siapa?”

“Binar, Bu—eh Mbak.”

Sesampainya di atas, Binar melepas kaitanya di tangan Arunika. Sepasang insan di hadapannya yang berjarak empat meter sedang terlibat percakapan panjang.

Arunika mengernyit, kelopak matanya melebar ketika mendapatkan Meira yang menjadi lawan bicara suaminya. Sejak kapan Meira di sini?

“Terima kasih ya, Binar,” tak melupakan gadis kecil di sampingnya, Arunika berusaha berbicara sekecil mungkin agar kedua insan itu tak menyadari keadannya.

Binar tersenyum tulus. “Sama-sama Mbak, kalau gitu aku turun dulu.”

Setelah memastikan gadis kecil bernama Binar tersebur turun, Arunika melangkah sedikit demi sedikit dengan sepelan mungkin.

“Maaf Pak jika saya lancang. Tapi saya memang benar-benar mencintai Bapak.”

Itu suara Meira yang kontan membuat Arunika terbeliak. Cengkeraman di sling bag semakin keras. Tak cukup kah perempuan itu mengungkapkan perasaan pada Aga kepada dirinya saja?

“Saya hanya belum percaya saja Bapak menikah dengan Arunika. Terlebih lagi meninggalkan Mbak Aluna. Di sosial media Bapak rame tentang itu.”

Aga membuang napasnya kasar, lalu
melipat kemeja slim fit yang ia kenakan. “Saya tak peduli mau kamu percaya atau tidak, dan ini tak ada urusan sama sekali dengan Aluna.”

“Tapi saya tak menyangka Bapak kekanak-kanakan dan menghapus seluruh feed yang ada Mbak Aluna. Saya hanya ingin menyampaikan kasihan Mbak Aluna,” terang Aurora lagi.

“Bukan urusan kamu.”

“Bapak secepat itu melupakan Mbak Aluna. Namun, saya tahu di hati Bapak masih terbekas kenangan panjang bersama dia. Para netizen ramai membicarakan kalian berdua.”

Arunika terpaku. Menyaksikan percakapan di antara dua lawan ini.

Namun, saya tahu di hati Bapak masih terbekas kenangan panjang bersama dia.

Kenapa menyakitkan sekali mendengar ucapan Meira. Penyangganya runtuh tak bersisa. Menggenggam tali sling bag hingga permukaan tanggan memerah.

Hati ini ... Terlampau perih.

*sempro : seminar proposal
*semhas : seminar hasil

Untuk mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi.

Untuk, Arunika dalam proses penerbitan. Silahkan follow instagram @miftahuljannah6_ dan @penerbitlova !!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top