8. Kenapa Harus Kamu?

Vote dan komen gaes jangan lupaa 🤗

Happy Reading!

***

Ayah pernah berpesan, “Jadilah wanita yang tak mengumbar keahlian, cukup orang-orang itu sadar dengan kemampuan yang kita miliki. Tak perlu khawatir ketika teman berlomba-lomba untuk mendapatkan pamor kehidupan, tetapi tetaplah menjadi Arunika yang Ayah kenal. Arunika yang apa adanya, Arunika yang tetap diam ketika hidupnya terguncang. Kamu adalah anak Ayah, ketika kamu luka, Ayah pun juga. Jangan pernah terlihat muram di depan hal layak, tetaplah tersenyum manis dan tunjukkan keharmonisan itu. Percayalah, ketika kamu sedih, orang-orang hanya ingin tahu masalahmu.”

Arunika selalu memegang sebongkah kalimat itu. Ayah benar. Manusia memang diciptakan untuk selalu bersosial, tapi terkadang orang-orang hanya ingin tahu.

Jika orang tua yang berbicara kadang benar. Kehidupan ini sulit. Semua orang berlomba-lomba agar menjadi yang terbaik. Termasuk dirinya sendiri. Arunika harus mengimbangi akhirat dan dunia fana ini.

Namun, terkadang kepelikan cukup berarti, tatkala mengetahui calon suami masih mencintai wanita lain. Sejujurnya, Arunika tak bisa menampik perkataan dari Aga. Ucapannya sungguh menyayat dada. Seolah lelaki itu menikahinya karena terpaksa. Sudah-sudah. Dia tak mau memikirkan itu. Arunika punya Allah. Allah maha tahu skenario untuk setiap hamba-Nya.

“Assalamualaikum.”

Matanya mengerjap seraya menegapkan bahunya yang berada di senderan kursi. Bahkan decitan dari kursi tesebut membuatnya terhenyak. Lelaki yang berada di hadapannya membuat hatinya berdebar geram.

“Mas Aga?”

“Jawab salam dulu dong, kan wajib.”

Ya Allah. Lelaki ini membuat dadanya nyeri tak beraturan. Bahkan, senyum menawan itu tercetak jelas di wajah Aga. Jiwanya meronta-ronta. Aga melayangkan dunianya. Tak bisa dibohongi, tubuhnya kini grogi. Apalagi lelaki itu mensejajarkan kepalanya untuk tepat di hadapan matanya. Seraya menekuk lutut, Aga tersenyum simpul.

“Wa'alaikumussalam,” jawab Arunika gugup.

Dengan jarak sehasta, Arunika bisa melihat senyum manis nan lebar dari wajah Aga. Astaga! Gemuruh di dada seolah tak mau diajak kompromi. Dirinya hanya berharap, lelaki yang tepat di hadapannya itu tak mendengar.

“Kenapa di sini sendirian? Bentar lagi acara mulai, lho.”

Sebenarnya Arunika sedang merampungkan hati untuk menjadi moderator tanpa persiapan. Seharusnya Arunika sudah mencari tahu, siapa pemateri itu agar di depan khalayak nanti dia tak terlalu gugup.

“Pingin sendirian aja.” Mengusap tengkuknya lembut, Arunika memundurkan kursinya hingga menimbulkan suara decitan lagi. Aga tak merubah posisi, lelaki itu malah tersenyum tanpa arti.

Namun, setelah melihat rona merah di pipi Arunika, Aga meluruskan lagi badannya. Kemeja slim fit berwarna biru langit beserta celana hitam tak lupa ikat pinggang membuat penampilannya memikat mata. Seraya menyugar rambut, sebelah tangannya berkacak pinggang. Perpaduan sempurna, kini lelaki itu bisa membuat jantung Arunika membidik mesra.

“Mas Aga kenapa ada di sini?”

“Jadi saya nggak boleh menghadiri acara ini, ya?” jawabannya sedikit menggunakan nada satire. Aga menaikkan sebelah alisnya, setelah itu membenarkan gulungan kemeja di lengan agar tertata rapi.

Arunika segera menggeleng. Wajah teduh yang selalu terbingkai di air mukanya membuat dia lagi-lagi memoles rona merah ketika Aga memandangnya hangat. Dalam jangka perkenalan mereka yang terhitung sebulan lebih, lelaki ini mampu menggetarkan jiwanya.

“Oh iya, kamu sudah sarapan?”

Lagi-lagi Arunika menggeleng sebagai jawaban. Sejak menerjang dinginnnya subuh tadi, lambungnya belum menyapa makanan sama sekali. Namun, karena kesibukan yang membuatnya tak bisa bernapas, hingga perutnya tak mendemo. Lain cerita, lelaki itu menanyakan kondisi perutnya, entah kenapa cacing-cacing di sana tak mau berkonspirasi dengannya.

Astaga! Perutnya berbunyi.

Kekehan lembut menyadarkan kalbu. Aga menarik sudut bibirnya, tak lama kemudian kakinya mengayun menuju nakas yang berada di ruangan belakang panggung. Semua anggota kini sibuk dengan aktifitas mereka dan Arunika malah berisitirahat di tempat ini. Setidaknya dia punya alibi bahwa sedang merampungkan hati untuk menjadi seorang moderator dadakan.

Dari jarak beberapa meter, lelaki itu tak memupus singgungan di bibirnya. Dengan membawa paperbag cokelat, langkah kakinya mengayun seraya menatap Arunika.

“Saya juga belum sarapan. Kalau mau makan bareng. Ayo!” ujarnya santai. Huuhh! Tak tahu saja betapa terguncang hati Arunika. Dan tanpa merasa bersalah Aga tersenyum hingga membuatnya tak mampu bernapas sebarang pun. Bahu Aga terangkat seolah mengajak Arunika bergabung dalam sesi sarapannya.

Tangan Aga sibuk mengeluarkan kotak sarapan yang terdiri dari tiga macam. Sontak membuat dirinya tergemap dalam diam. Porsi makan lelaki ini banyak sekali. Bahkan tiga kalilipat dari dirinya.

“Ini tuh Mama yang nyiapin. Banyak banget, ya? Seharusnya untuk Icha, dia juga akan ke sini. Tapi nggak usah deh untuk kamu aja. Icha pasti sudah sarapan di rumah.” Menarik kursi yang berada di samping Arunika, tubuhnya ia daratkan di sana. Lutut jenjang miliknya ia rapatkan dan tangannya sibuk membuka tutup kotak makan berwarna oranye tersebut.

Ketika mendapatkan sandwich yang diukir selucu mungkin oleh sang mama membuat Aga tertawa hambar. Dia seperti diberi bekal untuk dimakan bersama dengan teman-teman di TK.

Tanpa Arunika sadari, dirinya pun ikut tertawa kecil tatkala melihat isi dari salah satu kotak bekal milik lelaki itu. Sekejab matanya memicing, mencari bola mata cokelat yang kini tak membalas tatapannya. Binar cerah seolah diberi bekal manis oleh sang mama membuat pikirannya beradu peran.

Potongan sosis yang dibuat menjadi bola mata dan bibir melengkung, telur ceplok yang berada di atas sandwich sebagai pelengkap telinga, dan gumpalan mayones menjadi hidungnya. Lucu sekali. Dan membuat Arunika menarik bibirnya tanpa henti. “Tante Hana kreatif sekali.”

“Kamu mau?” Kotak makan itu ia sodorkan kepada Arunika. “Saya tahu kamu belum sarapan. Nanti kalau kamu pingsan, siapa yang repot?” tuding Aga ketika mendapatkan Arunika yang menggeleng di sela perkataannya.

Bibirnya mengerucut sebal, sambil mendengkus pasrah ketika Aga menyerahkan kotak makan itu lama.

“Ini sendoknya,” kata Aga memberikan benda itu yang terbungkus tissu putih.

“Makasih,” ucap Arunika kaku. Kini, mereka sibuk dengan sarapan yang sangat-sangat terlambat. Dalam diam. Hening menyelimuti hawa di penjuru ruangan ini. Desir-desir keramaian dari aula tak membuat sepasang insan itu ikut hanyut. Mungkin isi perut membuat mereka tak mengindahkan segala keramaian di sini.

Namun, walau nyatanya janji sakral itu akan digelar sepekan lagi, mereka masih tak membahas persiapan yang diatur oleh orang tua. Terakhir kali, Arunika hanya mengikuti Hana untuk fitting gaun pengantin. Katering, gedung, dan semuanya adalah urusan Hana. Dan, ini kali pertama mereka bertemu lagi setelah Aga mengantarnya pulang.

“Kabar Mas gimana?”

“Baik.” Aga mengais sesuap nasi goreng dari kotak makan. Arunika pun hanya mengangguk kaku, dia baru mengetahui bahwa ketika sedang dalam sesi makan, Aga tak mau diganggu.

Setelah menyelesaikan sarapan mereka. Aga pun mengambil paperbag yang tadi di letakkan di bawah lantai. “Kamu mau minum?” Memberikan botol yang dia ambil, seraya membuka tutup botol itu agar Arunika bisa langsung menandas air mineral.

“Nggak usah Mas, aku bawa air,” tolaknya seraya berdiri mengambil ransel violet yang dia letakkan di atas nakas.

Mendaratkan lagi tubuhnya di kursi, Arunika meneguk air hingga setengah. Dehidrasinya bertambah akut, ketika berhadapan langsung dengan lelaki ini.

“Ayah sehat? Hampir tiga minggu saya nggak mampir ke rumah, nggak dibolehin Mama.” Aga menggaruk cuping telinga, ketika Arunika menatapnya dengan lembut.

“Sehat, Mas. Ayah masih sibuk ngajar.” Senyum simpul tak luntur bagaikan senja yang bertengger mesra di bibir langit. Melirik arloji sebentar, dia pun bernapas lega. Masih sekitar lima belas menit lagi acara pun di mulai.

Aga mengangguk, tangannya sibuk menggaruk tengkuk yang tak gatal. Namun, tanpa memberitahu sang empu, jemari yang dibalut tissu putih tersebut mengusap sisi bibir Arunika yang terdapat mayones tertinggal.

Seketika tubuhnya mengejang. Kelopak netra terbuka dengan lebar. Jantung Arunika berpacu tak karuan. Belaian dari ujung tissu membuat Arunika tak bisa bernapas sebarang pun. Cuma sedetik, akan tetapi sapuan di tepi bibir menari-nari di ujung tombak. Senandi rasa yang selalu dia jaga seolah diterjang bertubi-tubi bom menyerang. Namun, ini bukan bom nuklir yang akan membuatnya mati tak terduga. Ini adalah bom waktu yang bisa kapan saja membuat detak di hatinya berhenti.

“Pak Aga—”

Bagai kebetulan yang tak terduga, Bara datang ketika jemari Aga masih menempel di ujung bibirnya. Yahh, walaupun di sekat oleh tissu, tak bisa menampikkan hatinya berburu.

Aga menurunkan tangannya, seraya berdeham untuk menetralkan suasana di sini. Bunyi kursi berderit tanda Aga memundurkan kursinya agar sedikit jauh dari Arunika.

“Maaf saya mengganggu,” ucap Bara ragu-ragu. Senyum kaku terpatri di ujung bibir. Gerakan tubuhnya kian canggung ketika melihat sepasang insan di sini seolah terperangkap basah sedang menjalin rindu. “Saya mau menyampaikan, acara bentar lagi di mulai. Pak Aga bisa siap-siap.”

Aga menepuk paha yang terbalut celana hitam. Berdiri, netranya tak henti memicing ke arah Arunika yang kini menuduk malu. “Sudah siap, Bar. Tadi habis sarapan, nanti saya nyusul.”

“Baik, Pak. Saya duluan. Peserta sudah banyak yang datang,” pamit Bara takzim seraya mengulum senyum tanpa arti melihat sepasang manusia itu tampak malu-malu.

Melirik Bara yang sudah menjauhi ruangan, Aga mendengkus lega. Seringai yang entah kenapa membuatnya merasa geli ketika melihat Arunika yang sangat polos seperti ini. “Lain kali ketika makan jangan meninggalkan sisa.”

Arunika tercenung. Kepalanya mendongak menatap balik Aga yang kini menyeringai kepadanya. Rambut yang tersisir rapi ke belakang membuat Aga sangat menawan di mata. Sadar, Arunika. Tak seharusnya menganggumi di saat lelaki itu belum sah menjadi pasangannya. “Saya permisi dulu, Mas.”

Aga menatap lembut punggung Arunika yang mulai menjauh. Balutan blush biru langit memberikan kesan lembut dari perempuan itu. Bukan hanya itu, tatapan teduh yang kadang membuat Aga terpaku. Hanya dengan kesederhanaan yang dimilik perempuan itu sudah membuat Aga tak berkedip sedetik pun.

Tanpa ia sadari, warna outfit mereka sama jika dipadukan dalam busana. Hanya almamater kuning yang membuat perbedaan mereka tampak terang. Aga berharap di hubungan yang sakral nanti tak ada perbedaan yang membuat janji itu terberai. Sebuah harapan yang tak tahu akan ia labuhkan ke mana. Aga bimbang.

Iris matanya tak henti menatap seseorang yang kini sedang berbicara penuh sarat makna di atas panggung. Tepekur dalam pikirannya, Arunika berusaha menenangkan rasa. Bukan isi materi yang membuatnya terperangah, tetapi objek manusia yang berada di depan khalayak membuat napasnya tercekat di kerongkongan.

Lelaki itu Aga. Calon suaminya menjadi pembicara di seminar ini.

Lalu, apa yang harus dilakukannya? Bangga karena para pelajar seluruh Palembang menantikan kehadirannya. Iya, dia baru tahu bahwa Aga adalah lelaki yang diidam-idamkan oleh pelajar menengah. Sebagai alumni jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB), Aga menarik minat pelajar yang selalu membuat mereka termotivasi.

Dia yang ketinggalan berita atau Aga yang memang sok ingin terkenal? Yang pasti dirinya tak tahu apa-apa ini malah sok beruntung mendapatkan lelaki seperti Aga. Ya Allah. Arunika ingin ditenggelamkan saja di dasar lautan agar para penduduk bumi dan penggemar Aga tak mengetahui dirinya bahwa ia adalah orang beruntung yang akan menjadi pasangan Aga.

Tunggu-tunggu. Apakah benar dia adalah orang yang beruntung yang bisa menjalin bahtera rumah tangga bersama Aga? Atau orang yang buntung karena terjebak dalam romansa tak berarah. Ah, harusnya Arunika sadar diri. Dia adalah orang yang terjebak dalam lika-liku kerumitan Aga. Dia adalah benang kusut yang kebetulan datang dikehidupan lelaki itu.

Dia adalah perempuan yang menjadi pengganti tanpa diundang akan mengisi kekosongan hidup Aga.

Dia adalah sebuah kebetulan.

“Kenapa harus kamu yang harus kuwawancari di sini?” Arunika tersenyum miris. Pandangannya terlibat dalam hanyutan ironis.

Sampai ketemu di part berikutnya.

Salam, Haffaza.

Follow ig ku yuk, @miftahuljannah6_
@haffaza_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top