5. Secercah Jingga

Vote dan comment dulu sebelum membaca. Supaya aku semangat untuk nulis cerita ini 😁

Happy reading ;)

Kamu itu seperti jingga. Kadang lupa tentang senja, kadang kembali padanya. Kamu terlalu ambigu untuk dimengerti dan kamu terlalu jauh untuk kuhampiri.

@haffaza

Jika jalan cerita ini harus berakhir nestapa, kenapa harus dimulai disaat asa menggantung di sana. Ketika nirmala itu tak sanggup diraih, kenapa dimulai dengan kata-kata yang memekarkan hati.

Cinta itu sulit. Jika tak dibarengi kecintaan pada pemilik hati. Jika cinta melulu tentang pasangan ini, namun melupai bahwa seharusnya manusia harus membagi pada pemilik bumi. Bukan hanya membagi, tapi sepenuhnya harus bersenyam pada illahi. Pernah dengar kalimat yang selalu ramai di sosial media yang mengatakan, "Cintailah aku karena Allah."

Ya. Seperti itulah gambaran cinta. Karena Dia dan untuk mengharap rida-Nya.

Dan Arunika masih tabuh untuk menyapa itu semua. Arunika masih awam membahas hal yang berkaitan dengan cinta. Sebab dia selalu mengenal cinta pada dunia keluarga. Ayah dan Adiba. Selama dua puluh tahun ini, Arunika hanya disibukkan dengan cerita cinta setia. Sebab keluarga adalah madrasah dari insan cendikia. Walau sang ibu telah jauh di mata, tapi berkat petuah-petuah lama Arunika mampu menerapkan itu semua.

Ayah pernah bilang, "Lelaki yang setia adalah dia yang menemui Ayah." Hingga dirinya hanya menyaksikan kisah-kisah romansa anak SMA.

"Saya serius dengan apa yang saya ucapkan tadi." Alunan suara itu menyentakkan lamunan Arunika. Sepasang netranya membelo, napasnya tak teratur saat ini.

Disaat keluarga sibuk dengan makan siang yang dihidangkan Ayah, mereka malah disibukkan perihal masa depan yang mumetkan kepala.

Tubuhnya terkesiap, pupilnya lamat-lamat memperhatikan raga yang kini bersidekap seraya melipat tungkainya di atas paha. Punggung lelaki itu bersender tenang di sofa, namun sorot matanya terbingaki sendu.

"Saya serius untuk belajar membuka hati untu kamu." Pandangan Aga masih sesantai lautan api menerjang samudera. Di hadapannya ada Arunika yang terlihat gugup di sofa. "Kamu benar ketika penolakan itu bukan kamu saja yang membuat Om Hadi kecewa, tapi orang tua saya juga."

Arunika masih membisu di tempatnya. Otaknya mencerna tiap kata yang meluncur di bibir ranum Aga. Kecewa. Sejatinya bukan para orang tua saja, dirinya pun kecewa.

"Tapi saya masih mencintai orang lain. Namun kata Clarissa cinta itu akan datang sendirinya, jika kita selalu bersama," sambung Aga menarik punggungnya. Tubuhnya kini tegap, dipandang wajah Arunika yang kini spontan membelalakkan mata.

Entahlah. Pengakuan Aga membuat hatinya berdarah-darah. Lelaki itu masih mencintai orang lain. "Kenapa Mas tidak menikah dengan dia? Kenapa harus saya yang belum bisa membuka hati kamu?"

Aga mengulum senyum lebar sampai-sampai sudut matanya tertarik ke atas. Kelopak mata yang indah beserta hidung bangir milik Aga membingkai tegas di wajahnya. Jika ditelisik dalam-dalam postur wajah Aga tampak mirip dengan aktor Thailand Mark Prin. Bahkan rahang mereka sama-sama tegas.

"Dia ninggalin saya dan sudah milik orang lain." Aga mengulangi kalimat Mama kemarin.

"Yah ... Kasihan dong Mas ditinggalin saat sayang-sayangnya, ya?" Arunika menabur seringai di wajahnya. Sepasang matanya tak lagi terlihat sendu seperti tadi.

"Lebih kasihan saya atau kamu yang harus pasrah menerima perjodohan ini?" tantang Aga menarik alis kirinya agar sedikit terangkat. Pembicaraan mereka sedikit mengalir, tak sekaku tadi.

Arunika mendecap seraya merotasikan bola matanya. "Setidaknya saya tidak labil seperti Mas. Kemarin menolak sekarang menerima." Bahu Arunika terangkat sambil mengulum senyum simpulnya. Hatinya lega kali ini. Ternyata menyinggung orang itu enak, apalagi melihat wajah Aga yang kontan memerah.

Langit kali ini tak secerah kemarin. Awan-awan pun ikut menyelimuti matahari yang ingin beranjak naik. Sama pun hati Arunika yang nampak mendung. Suasananya tak terlihat baik ketika melihat seantero kelas riuh. Perpisahan dengan dosen pengganti yang selama dua pekan ini mendadak menggemparkan kampus.

Di depan ruangan kelas, ramai-ramai mahasiswa yang satu kelas dengannya ikut berfoto bersama. Kecuali Arunika. Dia masih sibuk berselancar pada catatan-catatan praktikum kemarin. Selain tak ingin bergabung, dia memang menyibukkan diri. Sejujurnya catatan ini bisa menyusul di rumah nanti, tapi hatinya sudah keburu berang.

"Ika, mau 'kan fotoin? Barisannya sudah siap kok." Interupsi dari Meira memecahkan keheningan di ruang kelas. Arunika mengangkat wajah sambil memasang wajah sedatar mungkin.

"Maaf nggak bisa lagi sibuk," sahut Arunika melengoskan wajahnya untuk ke bawah.

Meira mendekat, tangannya menyerahkan kamera di depan wajah Arunika. "Sebentar aja. Boleh, 'kan? Pak Aga harus segera pergi ke kantornya," jelas Meira mengulum senyum palsunya.

Ya, Arunika bisa melihat itu senyum lebar penuh kepalsuan yang ditampilkan oleh Meira kepadanya. Selalu saja jika di depan Aga, perempuan itu pasti sok-sok baik kepada semua orang.

Mendesah pelan, Arunika meraih kamera itu. Dilihatnya Aurora dan Utami yang kini sudah ikut bergabung di sana. Mengekori Meira yang berjalan untuk bergabung juga, matanya terhenti ketika melihat sepasang netra yang memicing kepada dia.

Namun langsung dia palingkan, Arunika memasang wajah kesal. Terserah lelaki itu mau mengartikan seperti apa. Rasanya Arunika mau menarik perkataannya tentang Aga yang tak tebar pesona, karena nyatanya laki-laki tebar pesona secara tidak langsung. Tanpa dia sadari mulutnya mencebik tak suka.

Dari jauh Aga menarik senyumnya. Melihat Arunika yang seolah tak suka, malah semakin terlihat lucu di matanya.

Cekrek.

Flesh dan bunyi kamera berdecit tanpa aba-aba. Membuat mereka yang belum bersiap memggerutu sebal kepada Arunika.

"Dihitung dong Run, jangan ngasal gitu," celetuk mahasiswa gondrong yang tepat di ujung barisan. Arunika hanya membalas tajam pada temannya itu---Bisma.

"Satu. Dua. Tiga."

Cekrek.

"Ganti gaya," sorak Bisma lagi pada teman-temannya.

Arunika merotasikan pupilnya. Lagi-lagi telunjuknya menekan tombol agar bisa menangkap gambar. Sudah ke berapa kali, masih saja teman-temannya itu merasa tak puas. Apalagi Meira yang tepat berada di samping Aga, memepetkan bahunya agar bersentuhan dengan lelaki itu.

Setelah memberikan lagi kamera itu kepada Meira yang menghampiri untuk melihat hasil foto tadi, Arunika membalikkan badan. Dia berniat untuk mengambil tas dan langsung melesak keluar.

"Makasih ya, Ka," kata Meira menepuk bahu Arunika.

Arunika mengangguk, lalu berjalan gontai melewati meja-meja yang berada di barisan kedua, sebab di depan kelas barisan itu masih berjajar sempurna.

"Arunika."

Ketika sampai di ambang pintu, panggilan itu sontak membuatnya menoleh. Dia diam beberapa detik seraya menggenggam erat totebag. Lelaki itu memanggilnya atau ingin memahari Arunika karena keluar sebelum lelaki itu. Namun pelajaran sudah usai, lalu untuk apa ia lama-lama di sini.

"Pulang sama saya, 'kan?"

Kontan Arunika membeliak. Mulutnya ternganga lebar. Bukan itu saja, hatinya pun remuk redam. Pertanyaan itu sukses menggemparkan seluruh mahasiswa yang berada di sini. Bahkan atensi para teman-temannya itu sudah teralih pada perkataan tadi.

Arunika menggaruk tengkuknya. Rasa gugup ia hapus segera. "Apaan sih Pak, garing banget candannya," alibi Arunika setenang mungkin.

Netra Aga menatap tajam, bahkan tungkai panjangnya berjalan mendekati Arunika. "Saya serius. Kata Mama tadi saya pulang sama kamu."

Menggigit bibir bawahnya, Arunika mengerjab sebentar. Ditarik napasnya pelan-pelan, berusaha agar teman-temannya tak curiga terlalu dalam. Apalagi raut wajah yang lain sudah nampak penuh kecurigaan.

Apakah laki-laki ini berniat mengumumkan perjodohan mereka sekarang?

Arunika menggeleng cepat. Dia belum siap untuk memberitahu teman-teman sekelasnya. "Maaf ya Om. bilangin aja sama Nenek, saya bisa pulang sendiri," sahutnya seraya terbirit-birit keluar. Wajah memerah miliknya ia tangkup dengan kedua tangan.

Maaf Tante Hana, aku nggak bermaksud memanggil Tante dengan sebutan itu.

Aga memandang pintu yang sudah tak ada lagi lawan bicaranya. Seringai kecil terbingkai di sudut bibir. Dia salah tingkah saat ini. Diusapnya keringat yang membasahi sekujur pelipis. Bibirnya masih berkedut untuk terkikik geli. Namun ia tahan sebisa mungkin. Astaga. Perempuan itu mampu mendebarkan hatinya. Perempuan itu membuat adrenalinnya berpacu tak beraturan.

Arunika itu unik.

Pandangannya mengitari seantero rumah bernuansa megah. Dinding yang bertema batik ditempel sempurna berkat wallpaper. Bahkan ada lampu besar keemasan yang menggantung indah di atap rumah. Arunika tak bisa membayangkan lagi tatkala memasuki rumah ini. Awalnya dia hanya mengira bangunan ini persis seperti perumahan pada umumnya. Namun dirinya dibuat tercengang ketika mengatahui luas bangunan ini memanjang sampai ke dalam.

Ya. Sekarang Arunika sedang berada di rumah calon suaminya. Eih! Apakah dia sudah berhak melabeli lelaki tersebut dengan sebutan itu?

"Ayo, masuk sayang. Aga belum pulang dari kantor." Hana berjalan mendahului untuk masuk ke ruangan tengah meninggalkan Hadi dan Arlan yang sudah sibuk bercengkrama di ruang tamu.

Adik-beradik itu pun mengekori. Pandangan Arunika pun tak berhenti untuk menjelajahi isi yang ada dalam rumah ini. "Bukannya tadi Mas Aga sudah pulang dari kampus? Tadi kami sempat perpisahan singkat, Tante."

"Mas Aga langsung ke kantor, Mbak. Dia pasti buru-buru tadi sebab sudah lama menikmati cuti," sahut Clarissa yang keluar dari kamarnya. Wajah segar sehabis mandi membuat gadis itu terlihat lebih cantik.

Arunika menautkan alisnya. Dia belum mengerti dengan percakapan ini.

"Aga belum cerita sama kamu, Ka?" jeda Hana beberapa detik, "Aga itu general manager di Pupuk Sriwijaya. Dua minggu selama menjadi dosen, dia ambil cuti tahunannya."

Hatinya meringis seketika. Tubuhnya benar-benar kaku saat ini. Calon suaminya, general manager di salah satu PT ternama di Palembang. Lelaki itu tak pernah sama sekali mengungkit pekerjaannya, bahkan selama di kampus.

Sudah tahu 'kan bagaimana perasaan Arunika saat ini. Hatinya diliputi rasa tak percaya diri. Jika dibandingkan dengan lelaki itu, ia hanyalah rempah-rempah. Kehidupan yang dia jalani selalu sederhana.

"Aga itu orangnya ambisius. Setelah lulus S1, dia belajar mati-matian untuk mendapatkan skor TOEFL untuk ambil pascasarjana di ITB. Awalnya sih Tante nggak setuju, karena dari awal direncanakan Aga akan meneruskan wirausaha kuliner milik Om Arlan. Tapi, Aga nggak mau, dia tetep kekeh untuk melanjutkan kuliah ke Bandung."

Arunika mengikuti Hana yang kini menuju dapur. Atensinya bukan lagi tentang seberapa mewah rumah ini, tapi beralih dengan cerita Hana tentang lelaki itu. Bahkan Adiba dan Clarissa pun sudah berlari menuju kamar. Entahlah, mungkin kedua gadis itu sibuk untuk bercerita-cerita manja.

"Dia itu cinta sekali dengan dunia lingkungan. Makanya saat S1 Aga ambil jurusan biologi murni, sebab dia itu nggak mau jadi pengajar. Terus saat S2, Aga ambil Biomanajemen. Kamu tahu ketika Rully menyuruh Aga untuk jadi dosen pengganti, sebenarnya dia itu nggak mau. Katanya dia nggak suka ngadepin mahasiswa yang suka cari-cari perhatian. Sebab Icha selalu bilang Aga itu tampan dan dia marah dibilang seperti itu."

Arunika tersenyum lebar, bahkan tanpa ia sadari seringai manis itu membingkai wajahnya. Hana beralih membuka lemari yang menggantung di atas wastafel. Setelah itu meletakkan gelas-gelas di atas nampan.

"Bahkan saking betahnya di Bandung, kalau Tante nggak pura-pura bilang sakit. Dia nggak mau pulang ke Palembang. Ngeselin banget, 'kan?" kata Hana disela tawa sumbangnya.

Lagi-lagi Arunika mengulum senyum manisnya. Dia terlalu bahagia ketika mengetahui sisi lain dari Aga.

"Ehem!"

Dehaman itu menyetakkan sanubarinya. Arunika sontak membalikkan bahu dengan cepat. Kelopak matanya melotot, air mukanya berubah drastis. Kemeja yang digulung sampai ke siku, lalu tangannya menyugar rambut ke belakang membuat Arunika menelan ludah gamang.

Kenapa lelaki itu terlihat lebih cool dan tak seperti biasanya.

"Mama gosipin aku?" Alisnya terangkat sebelah, setelah itu tangannya membuka lemari es dan mengambil sebotol air mineral. Tanpa aba-aba dia menggeserkan kursi yang berada di dekat meja dan kebetulan Arunika berdiri di dekat sana.

Sontak Arunika menggeser tubuhnya agar sedikit jauh dengan lelaki itu. Aga tersenyum, lalu meneguk air mineral itu sampai setengah.

"Muka kamu merah," ejek Aga seraya memajukan wajahnya ke depan. Sebelum beranjak dari tempat duduknya Aga mengedipkan sebelah mata untuk menggoda Arunika.

Dan---lagi-lagi---wajah Arunika bersemu merah. Debaran di hatinya bergetar sempurna. Laki-laki itu nyaris membuatnya ingin dihalalin segera. Astaga! Arunika saat ini sudah benar-benar gila.

Aku nulisnya aja senyum-senyum 😁 Mereka tuh kadang nyebelin, kadang manis sendiri :v

Nanti kita ketemu di chapter selanjutnya.

Vote dan comment. Jangan lupa follow instagramku @miftahuljannah6_
@haffaza_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top