3. Seperti Bilur

Di vote dan comment dulu sebelum membaca 😽

Selamat membaca!

Jika menyangkut hati itu sulit, ya. Aku harus pura-pura mengikhlaskan, padahal hati ini bertolak belakang. Aku harus pura-pura melupakan, walau nyatanya masih ada namamu dalam tiap do'aku.


Setelah mengganti setelan basah yang melekat di tubuhnya, Arunika ikut bergabung dengan mereka di ruang tamu. Sepasang manik netranya tak henti memandang lekat lelaki yang menunduk lemas. Ada guratan lelah yang terbingkai di wajahnya. Namun Arunika tampik segera, dia tak mau seolah mengkhawatirkan lelaki itu.

Amarah, benci, kecewa seolah menjadi satu bagian dari hatinya, tatkala mengingat kejadian pagi tadi. Sekonyong-konyong dia di tendang dari kelas karena tak mampu menjawab satu pertanyaan kuis. Mendadak hawa panas menjalar dalam otak Arunika.

"Arunika, ya?" Suara Hana membuat Arunika terhentak dari lamunannya. Sekilas dia melirik sejenak, lalu tersenyum lebar. Wanita yang berada di samping Adiba terlihat sangat mirip dengan pak Aga.

"Kuliah semester berapa, Ika?" tanya Hana lagi seraya memicingkan mata kepada Aga.

"Semester enam, Tante." Jemarinya mengusap punggung tangan agar menghilangkan rada kegugupan yang di dera.

Hana menganggukkan kepala sambil berjalan agar duduk di dekat Arunika. Bahkan Arunika yang melihatnya pun sedikit menaikkan sebelah keningnya. Wanita itu--yang mirip dengan pak Aga--mengelus pucuk kepala Arunika yang dibalut kerudung dusty pink.

"Berarti bentar lagi wisuda dong? Topiknya sudah harus dipikirkan, Ka." Kali ini Arlan menimpali.

Lagi-lagi Arunika hanya membalas senyuman. Tangannya menyapu tengkuk yang tak gatal. Pikirannya melayang pada awang-awang. Apakah lelaki yang bernama Aga itu pura-pura tak mengenalnya? Sedari tadi yang dia amati Aga hanya tertunduk letih seraya memejamkan mata.

"Saya kadang uring-uringan, Lan. Kuliah di Indralaya sana buat saya khawatir, mana Ika bawa motor sendiri. Kadang habis magrib baru pulang," timpal Hadi.

Hana membelokan bola matanya. "Kamu kuliah di Universitas Sriwijaya? Lho, anak Tante dosen di sana. Kamu nggak kenal sama dia?" tukas Hana segera sambil merapatkan lututnya agar semakin dekat dengan Arunika.

Jujur saja, dia sedikit risih dengan kedekatan wanita ini. Apalagi mereka berdua baru saling kenal beberapa menit yang lalu. Arunika mengusap kuduk perlahan seraya memicingkan matanya pada Aga yang kini sudah mengangkat wajahnya. Arunika terpaku, raut datar yang terbingkai di wajah Aga membuat dia bergetar kaku.

Ingin rasanya Arunika merutuki dan mengadu pada wanita di sebelahnya ini, bahwa anaknya itu sudah membuat hari-harinya berubah pilu. Aga mampu membuat Arunika pingsan pertama kali saat praktikum dan di keluarkan dari kelas.

"Kenal Tante, Pak Aga dosen saya."

Seketika mata Hana berbinar cerah. Senyum merekah mengisi di wajahnya. "Berarti kalian saling kenal dong? Terus kenapa nggak bilang-bilang. Kamu juga Mas kok diam aja dari tadi," Hana menyinggung Aga yang masih membisu di tempat duduknya.

Aga mendesah gusar. Sepasang matanya merangkum pupil yang kini menatap balik dirinya. Lama Arunika memasang wajah sendu yang terpatri di sana, hingga membuat Aga lamat-lamat meluluhkan hati. Bahkan Aga tak kuasa ketika mengingat pelupuk mata itu bertengger cairan karena dirinya. Baiklah sepertinya Aga harus mengalah.

"Berarti Aga seorang dosen, ya?"

Arlan segera menggeleng. "Adik saya dosen di sana, Di. Tapi dia sedang melakukan workshop di Surabaya selama dua minggu. Jadi Aga diminta untuk menjadi dosen pengganti."

Hana meraih punggung tangan milik Arunika, ditatapnya wajah itu penuh asa. "Aga itu betah tinggal di Bandung. Sampai habis kuliah pun, satu tahun masih di sana. Kalau nggak disuruh pulang ke Palembang, dia pasti akan selalu menetap di sana. Apalagi kalau ditanya jodohnya belum ada. Huftt! Asal kamu tahu ya, Ka ... Tante kesal sama dosenmu itu," cebik Hana kesal seraya menyinggungkan bibirnya kepada Aga.

Arunika lantas terpelongo. Lalu apa hubungannya dengan dia?

Memicingkan matanya ke arah sang ibu, Aga kini merapalkan sebuah kalimat kesabaran dalam benaknya. Mamanya selalu seperti ini. Buka-bukaan dan tak bisa disaring. Seharusnya, label yang di cap sebagai dosen itu berwibawa di depan mahasiswi. Namun sejak mama membeberkan serangkaian kisahnya, Arunika menarik senyum tanpa ekspresi.

Clarissa pun seolah senang ketika mama menyinggung soal kejombloan sang kakak. Masnya satu itu memang terlihat kaku, tapi hatinya tak seperti batu. "Mbak Ika, Mas Aga di kampus nggak ganjen-ganjen kan sama mahasiswi lain?"

Lantas Arunika menukik alisnya. Mimik matanya ragu, sepasang ibu dan anak itu seolah mengintrogasinya. Tapi, dipikir-pikir Aga memang tak pernah ganjen dengan mahasiswi lain, namun ketampanannya mampu menghipnotis dan membuat mahasiswi di kampus bergidik geli.

Well, kalau kata Aurora lelaki macam Aga itu banyak. Tebar pesona dengan wajah dingin mereka dan sok jual mahal.

"Setau Mbak ya nggak pernah, Dek. Malah banyak mahasiswi yang tebar pesona pada beliau," jawab Arunika jujur. Bahkan sejujurnya ketika Aga mendelik tajam kepadanya. Seolah tak setuju, lelaki itu menatap penuh tanda tanya.

Aga berdeham seakan menetralisir keadaan yang terjadi. Hanya saja dia tak menyangka, Arunika tak mengungkit peristiwa pagi tadi. "Boleh kita bicara sebentar?"

"Hah?" Arunika tergemap. Kedua matanya mengerjap hebat.

Clarissa dan Adiba lantas cekikikan. Mereka berdua saling pandang. "Bicara yang serius ya, Mas."

Aga berdecak seraya melengoskan wajahnya ke samping. Tanpa melihat ke arah Clarissa dan Adiba yang kini menggoda dirinya. Sebelah alisnya terangkat ketika mama menarik Arunika agar mengikuti perkataannya.

Sesampai mereka berdua di pelataran rumah, Aga dan Arunika membisu. Keduanya kompak mengunci bibir untuk mengatakan hal-hal yang merongrong di sanubari itu. Arunika menundukkan kepalanya, perihal di kampus tadi membuncah amarah di hati. Namun ketegangan yang mereka buat bersama ini membuat Arunika mengepalkan hati yang membiru.

"Maaf sudah membuat kamu menangis." Aga terdiam, menelisik lekuk wajah Arunika yang kini sudah terangkat. Baiklah. Di sini mereka sama-sama letih dan kasur adalah tempat yang mereka cari. Namun karena kedua orang tua mereka di sini, Aga tak bisa mendalih untuk pergi.

"Kamu tahu kita mau dijodohkan?" Alih-alih menatap tajam pada lawan bicaranya, Aga menahan deru napasnya. Aga tahu mengapa keluarganya membawa ia ke sini. Karena ulah Clarissa dan Adiba yang serta-merta ingin menjadi makcomblang di antara mereka berdua.

Arunika mengernyitkan alisnya. Air muka yang terpasang indah kini teralih tanpa ekspresi. Namun tak tahu saja debaran di dada berguncang hebat tanpa frekuensi. Dia tak bisa menerima, lelaki yang membuatnya terisak tadi akan menjelma mengisi kekosongan hati. Dia membisu. Lidah berkelit tak mampu menyela perkataan dari lelaki itu.

"Kamu sudah mengetahui ini?"

Menggeleng segera, Arunika tertunduk lemah. Lagi-lagi netranya mengeluarkan air. Bukan terharu akan seseorang di depannya ini akan mengkhitbahnya. Namun Arunika tak menduga kehidupan yang akan dia jalani bersama Aga, lelaki yang menjungkir balikkan kehidupannya selama sepekan belakangan ini.

"Kamu menangis lagi?" lirih Aga sambil menegapkan tubuhnya yang semula bersender di dinding. "Jika karena kejadian pagi tadi, saya benar-benar minta maaf. Saya tak bermaksud untuk membuat kamu seperti ini."

Bohong.

Arunika tahu lelaki itu berbohong dengannya. Jelas-jelas saat kelas berlangsung tadi, Aga tak henti menanyakan serentetan soal kuis kepadanya.

"Ika ...," panggil Aga memelas, berharap gadis di hadapannya ini meluruh untuk tak mengeluarkan air mata lagi.

Arunika menarik wajahnya ke atas. Sepasang netra cokelat itu merangkum matanya lekat. Arunika menelan saliva, lalu beralih menyeka air mata yang mengalir di pipi. Dia membisu, pandangan mereka menyatu padu.

"Kamu bisa menolaknya, jika memang tak mau."

Lihat? Belum apa-apa saja lelaki itu telah mengajukan penolakan walau secara tak langsung. Arunika menyadari, ia tak mungkin bersanding pada lelaki yang jika ditelisik hidupnya telah mapan dan tak bergantung pada orang tua lagi.

"Kamu saja yang menolaknya, saya tak ingin mengecewakan Ayah."

Aga mengangkat kedua bahunya sambil menarik sudut bibir kecil. Hatinya sedikit tersentil, namun di tutupnya rapat-rapat tanpa gadis ini tahu. Jujur saja, Aga hanya berasumsi sebab Arunika-lagi-lagi-mengeluarkan air mata gara-gara dirinya. Aga tak sebajingan itu untuk membuat perempuan menangis, dia tahu sama saja menyakiti perasaan kaum mamanya.

"Baiklah. Nanti saya bicarakan kepada mereka," jawab Aga lugas.

Arunika melenggang masuk tanpa mau memperdulikan raut wajah Aga yang tersenyum lebar itu. Hatinya teriris, lelaki itu menolaknya secara resmi. Bahkan sebelum kedua orang tua mereka menyatakan itikad baik itu. Seharusnya Arunika tak menahan deru emosi, bahkan sehari-hari di kampus lelaki itu membuang wajah seolah tak menganggap Arunika ada di dunia ini.

"Sudah bicaranya, Mas?" Hana menepuk sofa kosong yang berada di sampingnya, bermaksud agar Arunika duduk di sebelahnya.

Aga mengangguk dan duduk kembali di tempatnya semula. Sepasang netranya nyalang ke depan, memperhatikan gelagat tubuh Arunika. Wajah gadis itu terlihat sendu.

"Sudah terlalu malam juga, nanti malah pembicaraannya molor ke mana-mana," timpal Arlan tanpa mau basa-basi. "Arunika, sebelumnya Om sudah bicara pada Ayahmu. Kami ke sini berniat untuk menjodohkan kamu dengan Aga. Om tahu kamu masih kuliah, tapi jika kamu siap untuk berumah tangga kenapa nggak dilakukan segera. Anak Om ini masih muda kok, dua puluh tujuh tahun."

Napasnya tercekat. Tenggorokannya kering. Arunika menoleh ke arah sang Ayah yang kini menatap lugas kepada dia. Arunika merasa ada tatapan hangat nan lembut yang terpasang di sana.

"Ayah serahkan semuanya pada Ika," ucap Hadi penuh rasa dilema. Namun hatinya seolah yakin kepada keluarga ini.

"Papa nggak nanya kepada Aga?"

Hana mendelik tajam kepada putranya. "Kamu terima saja, Mas. Sudah kenal juga 'kan dengan Arunika?"

Aga menggeleng segera, diliriknya Arunika penuh asumsi. Dia tak mau salah bicara lagi, takut-takut Arunika menangis lagi. "Maaf, Ma. Aga tidak bisa."

Arunika menunduk lemas, alih-alih menertawakan diri sendiri, pelupuk matanya berair kembali. Sepasang luka lagi-lagi ditorehkan oleh lelaki itu. Bahkan, dia tak menduga Aga akan menolaknya secara terang-terangan di sini, seolah merendahkan kepercayaan diri yang telah terjadi.

Penolakan Aga seperti bilur, namun bukan di kulit saja, tetapi di hatinya.

"Ika, boleh minta tolong sebentar?"

Mendengar namanya dipanggil, Arunika menoleh ke belakang. Sekarang dirinya berada di koridor untuk menuju kelas. Jam menunjukkan pukul 07.13 WIB. Koridor tampak sepi hanya ada dia dan kedua insan yang kini bersisian di depannya ini.

Alunan indah itu milik Meira. Surai hitam yang menjuntai indah membuat Meira tampil lebih cantik, bahkan tunik berwarna nude itu membalut tubuhnya yang ramping. Jika dibandingkan dengan Arunika sangat jauh sekali.

Sebenarnya dia masih marah dengan Meira, namun hatinya berkata lain. Setidaknya Arunika tak boleh menyimpan dendam lama-lama dan harus beritikad baik sebagi seorang mahasiswa. "Tolong apa?"

"Fotoin gue sama Pak Aga. Boleh, ya?"

Hatinya kini terluka bertalu-talu. Saat penolakan kemarin, membuat Arunika menjaga jarak kepada lelaki itu. Pandangannya tak mengarah pada Aga, tangannya berlalih menyambut gawai milik Meira. Gadis itu terobsesi pada Aga, mata binarnya cerah bak matahari. Arunika tak bisa membohongi, bahwa mereka berdua sangat cocok bila dipasangkan.

Selesai memotret, Arunika memberikan lagi gawai tersebut kepada Meira. Tanpa menunggu Meira mengucapkan terima kasih, ia langsung pergi menuju kelasnya. Setidaknya Arunika sudah menebalkan hatinya.

Dari kejauhan Aga menatap nyalang punggung perempuan itu. Ada rasa bersalah yang hinggap bak kupu-kupu. Aga tak mau menyakiti lebih dalam lagi kepada perempuan yang jelas belum ia cintai. Tapi, belum 'kan Aga? Bagaima di masa depan dirinya tergila-gila pada Arunika? Tapi untuk saat ini, Aga tak bisa membohongi hati, tak ada nama Arunika yang terbalut di sana. Hanya ada satu perempuan yang mengisi sanubarinya. Iya, cinta pertama yang jauh untuk digapai.

Follow ig ku : @miftahuljannah6_
@haffaza_

Jika kalian membagikan quotes dalam cerita ini, jangan lupa tag instagramku, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top