2. Tatapan Teduh

Happy Reading.
Sebelum membaca yuk di vote dulu😉
Yang belum follow wattpadku, di follow dulu, ya.

💓

Arunika mendengkus pasrah. Air mata menggenang di pelupuk netra. Lelaki bernama Aga yang kini sedang melangsungkan proses mengajar membuat Arunika tak bisa bernapas lega. Pasalnya lelaki itu memborong pertanyaan terus-menerus kepadanya.

“Mengapa katak mempunyai sistem peredaran darah ganda, jantung katak terdiri atas tiga ruang, yaitu serambi kiri, serambi kanan, dan bilik?”

Arunika mengerutkan alisnya, seketika otak-otak yang telah dirancang hafalan semalam runtuh tak bersisa. Dia tak habis pikir, sudah pertanyaan keempat, namun masih saja lelaki itu tak henti memberikan pertanyaan kepadanya. Arunika melirik ke samping kiri-kanan, tampak teman-teman yang berada di kelas pun menatap iba seraya menggigit bibir bawah.

Bukan tatapan itu yang diharapkan Arunika. Dia butuh jawaban segera. “Maaf, Pak ... Saya kan praktikum kucing bukan katak,” jawab Arunika pelan. Namun tiga detik setelahnya, Arunika memejamkan mata, merutuki diri sendiri.

Aga terbeliak, ditatapnya Arunika tajam. “Saya sudah bilang pelajari semua hal yang saya jelaskan kemarin. Sebelum pelajaran kita akan melakukan kuis. Kalau kamu hanya berpandu pada praktikum pekan kemarin, kapan kamu majunya?”

Jleb!

Hati Arunika terasa tertampar. Tak berdarah, namun pedih seakan tak ada sedasinya. Arunika terpaku di tempat duduk, tak bisa berkata lagi ketika lelaki yang menyandang sebagai dosen pengganti menatapnya tajam.

“Baiklah saya lempar pertanyaan ini kepada yang lain, jika tak ada yang menjawab saya persilahkan Arunika untuk keluar dari kelas ini.” Aga menarik sudut bibir tipisnya, namun pandangannya masih tajam melirik Arunika yang kini mendelik tak suka. 

Walau ini pengalaman pertama Aga menjadi dosen, tapi ketika mendapatkan seorang mahasiswi seperti Arunika, seringai jenaka tertanam di jiwanya. Apalagi Aga sudah bisa menangkap kelemahan gadis itu: takut kucing dan cepat nge-blank.

Sontak mendengar hal itu, matanya silih berganti menatap teman-teman yang lain. Kursi yang di dudukinya ini berada pada baris kedua. Dia hanya meminta pada teman-teman yang lebih pintar darinya agar menjawab pertanyaan itu segera. Ya, walau Arunika tak sepintar dengan mahasiswa yang lainnya, tapi seumur-umur kuliah di sini dia tak pernah di keluarkan dari kelas.

“Ra ...,” panggil Arunika kepada Aurora yang tepat berada di samping.

Aurora menoleh dan memberikan secarik kertas di atas meja Arunika.

Maaf ya, Ka. Aku juga nggak tahu, kamu tahu sendiri juga, kan aku praktikum mencit dan semalam juga aku nggak belajar.

Membaca tulisan Aurora tersebut, Arunika melemaskan tubuhnya. Tak ada harapan untuk pembelajaran kali ini. Teman-teman yang lain pun tampak enggan untuk menjawab pertanyaan. Apalagi Meira, perempuan yang kini duduk di barisan depan sama sekali tak meliriknya. Arunika tertawa hambar seraya menyeka buliran air mata yang perlahan menitik di pipi.

Selama tiga tahun sekelas dengan para warga biologi, Arunika sadar tak semuanya menjadi teman. Ada yang datang saat membutuhkan, ada yang pergi saat dibutuhkan.

Arunika memandang lurus Meira yang kini tak berkepid melihat pak Aga. Padahal Meira dan kelompoknya meneliti katak pada saat praktikum kemarin, yang Arunika ketahui pun pak Aga pasti telah menjelaskan banyak hal kepada kelompok mereka.

“Baiklah sa-saya keluar dari kelas ini. Permisi, Pak.” Tanpa disuruh pergi, Arunika memberanikan diri dan tanpa melirik ke arah lelaki itu, Arunika menunduk untuk melewati. Dijinjingnya erat tas yang berada si genggamannya.

Senyum kecut terbingkai di wajah Arunika. Entahlah dia hanya perlu keluar dari ruangan yang menyesakkan ini. Baik dosen itu ataupun yang lainnya, dia baru tahu sekarang. Semua tampak baik saat membutuhkan, tampak jauh jika dibutuhkan.

Aga menyusuri lorong di gedung tarbiyah lantai dua. Sesekali ia menempelkan tubuhnya di pagar pembatas untuk melihat ke bawah. Setelah menyelesaikan kelas yang memakan waktu dua jam, Aga segera keluar.

Disesapnya angin segar yang mengudara di penjuru kampus. Manik mata Aga pun tak henti menelisik area-area di sini. Fokusnya hanya satu, menemukan gadis itu. Aga tak enak hati saat mengetahui gadis berjilbab tersebut menitikkan air mata. Tapi ego masih tetap saja merasa tak bersalah.

Arunika. Jika mengingat nama gadis itu, Aga cukup salah tingkah. Bukan dalam artian Aga punya ketertarikan kepada gadis berperangai lembut tersebut, hanya saja Arunika itu unik.

“Aurora,” panggil Aga pada gadis yang berada di depannya.

“Iya, Pak?”

Aga mengusap tengkuknya. “Lihat Arunika?”

Lantas Aurora menukikkan alisnya. Bahkan Utami yang berada di sampingnya ikut terpelongo ketika sang dosen menanyakan hal itu kepada mereka.

“Saya sudah menelpon, Pak tapi tidak tersambung.”

Aga mengangguk dan berlalu usai mengucapkan kata terima kasih.

Ditatapnya jalanan aspal penuh frustrasi. Setelah menuruni gedung berlantai dua tersebut, Aga menyisiri jalan menuju ruang rektor. Indera pendengarannya menangkap tangisan di dekat taman. Aga menghentikan ayunan langkahnya, bahkan ketika sepasang netranya menangkap bahu yang bergetar.

“Ika?”

Mendengar namanya dipanggil, Arunika menoleh ke belakang. Jantungnya berpacu seakan genderang itu menabuh kencang. Tiga detik kemudian Arunika membalikkan lagi tubuhnya. Dia duduk di kursi taman seraya memegang erat tas yang berada di atas lutut.

Tanpa Aga sadari, pelafalan yang ia ucapkan pada gadis ini telah berubah. Ika ...

Kamu nangis?”

Secepat kilat Arunika menyapu cairan hangat yang bertengger di pipinya. Dia tak boleh terlihat lemah, bahkan kini hatinya benar-benar terluka. “Ah, nggak kok Pak, cuma kelilipan,” alibinya tanpa mau menatap balik lelaki itu. Arunika kesal rasanya ia ingin mencabik-cabik dosen yang berada di belakangnya ini. Setelah membuat dia menangis, lalu kini merubah sifatnya lagi.

Apa sebenarnya yang dosen ini inginkan?

Arunika menggigit bibir bawahnya, pandangannya lurus menatap lututnya. “Saya permisi dulu Pak, masih ada kelas habis ini,” kata Arunika datar, namun masih takzim.

Aga mengembuskan napasnya berat dadanya naik turun terus-menerus. Sebenarnya Aga cukup penasaran, mengapa kedua orang tua bahkan adik perempuannya mengajak Aga ke rumah ini. Rumah berbentuk minimalis serta bermacam-macam tanaman yang menghiasi di pelataran rumah tak pernah sama sekali ia sandangi. Dan yang pasti, rumah ini bukan milik kerabatnya.

“Ayo, Mas kenapa masih diam disitu?” Clarissa——adik perempuannya——menggeret Aga agar ikut masuk ke dalam.

“Mas tunggu di dalam mobil aja deh, Mas capek banget,” desahnya seraya menatap mama dan papa yang sudah lebih dulu melangkah masuk. Sepulang dari kampus sore tadi, keluarganya mengancam jika ia tak ikut, Aga akan disuruh lebih lama lagi menjadi dosen menggantikan tante Rully.

Jika mengingat itu, Aga segera saja merotasikan matanya jengah. Karena ulahnya yang tak mau mengikuti kemauan orang tua untuk meneruskan usaha papa di bidang kuliner, Aga dimutasikan menjadi dosen pengganti.

Jika tahu kepulangannya ke Palembang akan berdampak pada masa depannya, lebih baik ia menetap di Bandung selamanya.

“Mas Aga!” gerutu Clarissa tajam.

Mendelik kesal ke arah adiknya, Aga bekacak pinggang. “Huft! Iya bawel banget.”

“Gitu dong Mas Aga yang jomlo,” ejek Clarissa seraya menjulurkan lidahnya.

Aga berdecak sebal, selalu saja adik dan kedua orang tuanya menjadikan dia bahan ejekan, karena kejombloan yang ia terima. Jika dipikir-pikir Aga bukan jomlo karena tak ada perempuan yang mau dengannya, namun Aga sendirilah yang terang-terangan menolak mereka. Ya, hingga di umurnya yang kini genap dua puluh tujuh tahun.

Kini Aga dan keluarganya sudah berada di pelataran rumah menunggu sang tuan rumah membukakan pintu untuk mereka. Aga melirik arloji yang berada di pergelangan tangan, yang sudah menunjukan pukul tujuh lewat lima belas.

Lagi-lagi Aga mendesah gusar, tubuhnya seakan ditimpuk berton-ton batu. Dia hanya butuh merebahkan diri di kasur dan tidur.

“Icha ...” Setelah pintu coklat tersebut terbuka dan menyembulkan kepala seorang gadis yang sudah tertutup jilbab. Gadis itu tersenyum sumringah dan menyambut mereka dengan penuh semangat.

Aga kenal gadis itu. Namanya Adiba, teman satu kelas Clarissa. Hampir tiap hari Adiba mengunjungi rumahnya.

“Om, Tante, dan Mas Aga ayo masuk ... Ayah ada di dalam,” katanya lembut.

Mereka pun memasuki ruang tamu yang ukurannya 3×3 dan dipenuhi interior yang berwarna sama. Walau ruangan ini tak terlalu besar, tapi Aga merasa nyaman. Pasti Adiba dan ibunya selalu merawat rumah mereka.

Di dekat sofa ada pria yang sebaya dengan kedua orang tuanya. Pria itu membingkai senyum tipis. “Ini yang namanya Aga, ya? Adiba banyak cerita tentang kamu,” ucap pria itu sebagai pembuka pembicaraan mereka.

Aga mengernyitkan alisnya sambil memasang muka kebingungan.

“Iya, ini anak sulung kami,” imbuh Arlan——papa Aga——sambil mendekat untuk menyalami dengan sopan. “Saya Arlan, ini istri saya Hana,” sambung Arlan segera.

“Senang berkenalan dengan kalian. Saya Hadi, mungkin Adiba sudah banyak cerita tentang saya,” kekeh Hadi agar mencairkan suasana.

Hana mengangguk, bahkan ketika tuan rumah menyuruh mereka duduk dan menyuguhkan kudapan di atas meja senyum Hana tak lekang lagi. “Iya lho, Pak Hadi. Adiba adalah anak yang baik, pintar, dan cantik. Saya suka dengan kepribadiannya,” puji Hana penuh ernergi. Diliriknya penjuru ruangan yang terasa menjanggal. Seseorang yang ingin ia temui tak menampilkan diri.

Hadi lantas tersenyum lebar. Matanya melirik ke samping, menatap Adiba penuh tanda tanya. “Kakak kamu mana?”

“Belum pulang, Yah. Diba telepon juga nggak tersambung,” jawab Adiba pelan, walau nyatanya semua orang di sini masih bisa mendengar.

Hana lagi-lagi tersenyum menanggapi perkataan Adiba. “Bapak sekarang mengajar di mana? Adiba sering cerita katanya Ayahnya seorang guru.”

“Saya guru PNS di SMA negeri. Ya, ngajarnya bidang studi biologi, tapi beberapa bulan lagi saya pensiun.” Hadi membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. “Kemungkinan nanti lanjut jadi guru honorer saja,” sambung Hadi lagi.

Arlan yang berada di sebelah istrinya ikut menimpali, “Kalau sudah pensiun rasanya mau cepat-cepat menimang cucu saja. Kerjaan juga paling banyak di rumah. Kalau saya ya keliling kompelek, Di.”

Aga mengerutkan keningnya. Jika di amati para orang tua di sini baru saja saling mengenali. Dan pembahasannya sudah di ranah yang membuat Aga sedikit sensitif.

Hadi terkekeh pelan saat mendengar guyonan dari Arlan. Tiga detik kemudian atensinya berpaling pada decitan gerbang dan deru mesin motor. “Itu kayaknya Kakakmu sudah balik deh, Dek.” Hadi menyikut lengan sang putri agar Adiba cepat menyambut anak sulungnya.

Adiba pun permisi agar bisa menyambut kedatangan sang kakak. Sesampai di luar di lihatnya perempuan yang berbeda tiga tahun umur dengannya datang dengan keadaan basah kuyup. “Kakak kok bisa basah-basahan? Tumben juga Kakak pulang malam,” cecar Adiba seraya mengambil helm kakaknya.

Setelah turun dari motornya, Arunika memberikan tas yang ia letakkan di jok motor kepada adiknya, agar tas tersebut tak ikut basah seperti dia. Arunika harus menahan dinginnya hujan. “Habis magrib tadi Kakak mau kabarin kamu, tapi ponsel kakak lowbatt. Jadi Kakak berteduh dulu di masjid. Tapi karena hujannya awet, ya Kakak terobos aja.”

Perempuan berkacamata itu pun mengikuti langkah kakaknya memasuki rumah. “Nggak lewat pintu samping aja, Kak? Baju Kakak basah semua, nanti lantainya basah.”

Arunika melirik ke arah adiknya sebentar sambil mengedikkan bahu pelan. “Kakak capek mau istirahat langsung, nanti kamu aja ya yang bersihkannya.”

Berdecak sebal, Adiba pun mengekori jalan sang kakak.

Setibanya di ruang tamu, Arunika tergemap. Sepasang netranya merangkum sosok laki-laki yang duduk di sofa seraya menunduk menahan keletihan. Kemeja lengan panjang yang sudah digulung sampai siku membuat penampilannya berubah. Bukan itu saja, bentuk rambut yang selalu ia sisir tegas berubah bentuk menjadi bowl cut.

Arunika mengerjab, ia rasa ini hanya salah lihat. Namun saat ditelisiknya berulang kali, dia sangat meyakinkan bahwa lelaki itu Pak Aga.

Hingga sampai suara ayah menyadarkan dirinya, “Ika kok bisa basah-basahan?” Namun pertanyaan itu tak membuat dia memupus pandangan. Sampai lelaki itu pun tersadar akan kehadirannya. Sepasang nerta mereka bertemu. Keterkejutan beserta kesedihan yang Arunika rasakan siang tadi menggebu.

Arunika terkesiap. Tubuhnya yang semula sudah menggigil malah menjadi. Tatapan teduh yang ia terima seolah mengintimidasi.

Ada apa lelaki itu bertandang ke rumahnya?

•••

Jangan lupa vote dan comment. Sampai jumpa di part selanjutnya

Saranghae 😍

Insya Allah aku usahain update 3 kali dalam seminggu, ya. Semoga aja bisa meluangkan waktu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top