1. Namanya, Aga Febrian

Happy Reading 🤗
Jangan lupa tinggalkan jejak!

Hadiah terindah dari seorang hamba untuk DIA adalah rasa syukur tiada tara.

@haffaza

Matahari sudah tampak menyembulkan sinarnya di bumi. Sepagi ini gadis bersurai hitam tersebut masih menggulung dirinya di atas selimut putih. Gumaman-gumaman kecil keluar dari suaranya, namun sepasang kelopak mata itu tak mau terbuka juga.

"Ika, kamu nggak mau kuliah!" nyaris teriakan menggema di seantero kamar Arunika yang berada di atas. "Sudah salat subuh, belum?" pria yang hampir berumur setengah abad tersebut membuka tirai yang terletak di samping balkon sesaat dirinya sudah sampai di kamar sang putri.

Gadis itu menggeliat, sambil bergumam seolah tak mau membuka matanya, "Ika lagi nggak salat. Uhm ... MK di mulai jam delapan."

Pria itu mengernyitkan alisnya, seraya melirik jam dinding di atas nakas. "Ini sudah jam tujuh."

Seketika Arunika mengubah posisi tubuhnya, lalu mengerjapkan matanya untuk segera sadar. Dirinya baru tidur pukul tiga Fajar tadi, sebab mengejar deadline laporan praktikum pekan kemarin.

"Ayah kenapa nggak bangunin, Ika?" desahnya frustari sambil menuruni anak tangga dan secepat kilat menuju kamar mandi. Dirinya hanya menggosok gigi dan langsung berpakaian rapi.

Ayah menyiapi sarapan dengan telaten beserta secangkir susu untuk sang putri. "Ini susunya diminum dulu," kata ayah, seraya mengulurkan segelas susu dan sepotong roti.

Arunika meneguk cairan putih itu hingga tandas dan meletakkan gelas di atas meja. Diliriknya ayah sekilas yang kini sudah berpakaian rapi namun celemek di badannya masih terpasang. "Ika pergi sekarang Yah, sudah telat."

"Ayah antar aja ya?"

Ika membalikkan badannya dan segera menggeleng. "Nggak usah Yah, nanti Ayah jadi yang telat. Nggak apa-apa kok Ika naik trans musi saja."

Ayah mengangguk pelan sambil melambaikan tangannya. "Hati-hati nggak usah terburu-buru."

Sesampainya di depan lorong, Arunika berlari sekuat tenaga menuju halte, untung saja ketika ia sampai taklama kemudian bus yang akan membawanya pada kampus kuning tersebut datang. Arunika menarik napas lega, diliriknya jam yang tertera di layar ponsel. Pukul setengah delapan.

Astaga! Ia merutuki diri sendiri kenapa bisa ceroboh seperti ini. Bisa-bisa ia kena hukum oleh dosen nanti.

Sebuah panggilan masuk dari gawainya, di layar tertera nama sahabatnya yaitu Aurora. "Iya ini aku lagi di TM," spontannya tanpa harus tahu mendengar ucapan Aurora.

Di sana Aurora tampak gusar, hingga desahan napasnya terdengar di speaker. "Kenapa nggak naik ojol aja sih," rutuk Aurora menghakimi.

Lagi-lagi Arunika menggerutukan dirinya sendiri, kenapa bisa tak kepikiran tentang ojol. "Jalanan lenggang, Ra. Aku pastikan akan datang tepat waktu," dalihnya seraya meyakini sahabatnya itu. Arunika tahu Aurora mencemaskan praktikum mereka, sama pun dirinya entahlah mungkin hanya berharap Allah masih berbaik hati kepadanya.

Arunika tergopoh-gopoh menaiki tangga. Syukurlah ketika di depan garda ada tukang ojek yang kebetulan mangkal di sana. Jika tidak dirinya harus berlarian menuju fakultas ilmu keguruan dan pendidikan yang terletak di belakang.

Melirik layar ponsel yang berada di genggaman, Arunika memejamkan matanya gamang. Oh tidak, ia harus siap-siap menebalkan telinga dan hatinya untuk mendengar setiap ocehan dari sang dosen nanti.

Namun seketika tubuhnya mengejang tatkala menemukan sosok laki-laki yang berada di depan kelas.

Apakah ia salah masuk kelas? Tapi, Arunika menyadari ini kelas yang telah dijanjikan untuk mata kuliah satu jam setelah itu beralih ke laboratorium untuk praktikum nanti.

“Kamu Arunika?” tanya lelaki itu sambil mendekat ke arahnya.

Arunika mengangguk namun kepalanya menunduk tak berani untuk menatap lelaki itu.

“Mentang-mentang saya dosen pengganti di sini, kamu sekenanya untuk datang terlambat di hari pertama saya masuk.”

Oh, dia dosen pengganti bu Rully. “Maaf Pak, saya tak akan mengulangi lagi,” Arunika melirih dengan kepala yang masih menunduk tak berani.

Lelaki yang menyandang dosen pengganti tersebut diam tak menanggapi, namun malah melihat arloji di pergelangan tangannya. “Baiklah kalian boleh ke lab sekarang,” titah lelaki itu seraya balik berjalan menuju mejanya.

“Kamu alfa di mata kuliah pertama saya,” ucapnya sarkastis dan berlalu begitu saja.

Tulangnya bak jelly, Arunika merosotkan dirinya ke lantai. Ia menyesali bisa-bisanya dirinya tertidur disaat waktu yang sangat krusial seperti ini. Hatinya remuk redam ketika dosen itu mengatakan dirinya alfa, ia takut akan mempengaruhi nilainya kelak.

“Sudah-sudah jangan di pikirkan nanti, sekarang kita fokus untuk praktikum. Beliau hanya menjadi dosen pengganti selama dua minggu,” Aurora berusaha menenangkan sahabatnya ini yang terlihat sekali sangat gusar.

Arunika mengangguk pelan dan berusaha bangkit untuk menuju ruang laboratorium.

Karena masih kepikiran hal tadi, dirinya memakai perlengkapan untuk ke lab sangat lambat sekali. Arunika menyadari ketika asdos masuk ke ruangan beserta dosen tadi yang membelakangi. Cepat-cepat Arunika menghampiri kelompoknya.

“Ika,” bisik Aurora sangat pelan, “kamu bukan kelompok ini.” Tangannya bahkan ikut menyikut Arunika agar segera bergabung dengan kelompoknya sendiri.

Mengernyitkan alisnya, Arunika seolah tak percaya. “Kan bisanya kalau praktikum nggak ganti-ganti kelompoknya,” balasnya mengingatkan Aurora. Bahkan hari-hari sebelumnya ketika bu Rully mengatakan akan praktikum fisiologi hewan, mereka telah diskusi bahan apa yang akan di teliti nanti.

Aurora menggeleng seraya menunjuk salah satu kelompok di depannya. “Tadi kamu datang telat, jadi beliau menukar kamu agar berada di kelompok sana.”

Mendesah perlahan, ia pun harus menerima kenyataan. Sepasang matanya ikut menelisik searah jari yang di tunjuk oleh Aurora tadi. “Mereka praktikum kucing, Ra,” cicitnya bergidik ngeri. “Aku nggak mau ikut kelompok mereka, aku mau di sini aja.”

Aurora mengedikkan bahunya. Sudah ia tebak sahabatnya itu sangat takut dengan kucing, apalagi disuruh nanti untuk membantu proses persalinan kucing. “Ika kamu harus berani, ingat betapa takutnya aku dengan mencit, bukan? Tapi sekarang lihat ini.” Aurora menunjukkan aksinya menggengam mencit.

Huft! Aku pun berani jika berhadapan dengan mencit.

“Ika, di sini,” panggil Utami yang sudah bergabung dengan kelompok dua.

“Tami kamu tahu, kan?” balas Arunika memasang rona ketakutan. Semua orang di kelas ini tahu bahwa seorang Arunika sangat-sangat takut dengan kucing.

Ia bergidik geli. Apalagi nanti disuruh membantu lahiran kucing. Ah, Arunika takut sekali.

Tanpa disadari pria bersurai klimis menghampiri Arunika yang masih saja berdiam diri. “Kenapa masih di sini?”

Arunika mengangkat kepalanya gusar. Tubuhnya tepekur seketika berhadapan hanya beberapa jengkal dengan pria yang berstatus dosen ini. Sepasang mata miliknya hanya terfokus pada satu titik. Dosen itu lumayan tampan.

Apa-apaan sih, Ka! Sungutnya dalam hati.

“Kenapa kamu masih berada di kelompok ini?” ulangnya lagi, seraya menopang kedua lengan sejajar dada.

Arunika terperangah, menggaruk alisnya yang tak gatal. “Uhm... Sa-ya ta-takut kucing, Pak.”

Dosen itu menghela napasnya kasar. “Kamu tahu kan biologi itu mencangkup makhluk hidup? Jadi kamu juga harus bersahabat sama mereka terutama binatang.”

Berusaha menampik rasa ketakutan itu taklah mudah, ia sudah melakukannya berkali-kali. “Ta-tapi, Pak,” lirihnya tertahan.

“Nggak ada tapi-tapian, segera ke kelompokmu sekarang!” Rahang kokoh milik lelaki itu mengeras. Wajahnya yang sangat-sangat datar membuat semua mahasiswa di sini bergetar.

Arunika semakin menundukkan kepalanya di ceruk leher. Dia benar-benar mengerikan. Untung saja cakep!

Lantas saja melihat tatapan mata setajam pisau itu, Arunika berlari menuju kelompoknya. Setidaknya ia harus ikut andil saja, tak apa-apa ia mengerjakan semua laporannya asalkan nanti tak menyentuh kucing sama sekali.

Dosen yang tak ia kenali siapa namanya itu menjelaskan bagaimana proses persalinan hewan. Suaranya yang tegas, tubuh yang berwibawa membuat lelaki itu sukses membuat para mahasiswi di sini meleleh. Termasuk Arunika.

Namun sesegera mungkin dirinya menepis pikiran naif tersebut.

“Kalian boleh mulai sekarang, pastikan semua yang saja jelaskan tadi kalian amati dan sama-sama di diskusikan,” jedanya beberapa detik, kemudian melirik ke arah kanan yang memperlihatkan Arunika sedang menahan kegelisahan.

Tapi entah kenapa melihat rona ketakutan yang kontras diperlihatkan oleh gadis itu membuat hatinya tersenyum sendiri. Baru kali ini, seorang Aga Febrian menemukan tipe mahasiswi seperti Arunika.

“Kamu kenapa?” cakap Aga, memandang Arunika dalam. Ia asik mengelus kucing yang tubuhnya sudah sangat membesar.

Arunika mengigit bibir bawahnya, menahan rasa dayuh yang menghinggapi sekujur jiwa. “Sa-saya benar-benar ta ... takut, Pak.”

Aga menukik matanya, rasa kegelisahan yang terpatri di wajah Arunika membuatnya cukup meleleh. “Sini tangan kamu,” pinta Aga sambil menaikkan sebelah alisnya ketika Arunika tak mau memberikan tangannya.

Melihat Arunika yang tak mau mengulurkan tangannya, segera saja Aga meraih pergelangan tangan tersebut yang terbalut baju lab.

Eh?! Seketika Arunika melototkan matanya terkejut. Jiwanya bergetar hebat.

“Coba kamu pegang dulu,” perintahnya sembari menuntun Arunika mendekatkan jemarinya agar menyentuh bulu kucing.

Ketika jemarinya sudah menyentuh bulu-bulu lebar tersebut, sontak membuatnya bergidik geli dan histeris melepaskan sentuhan. “Ahh!! Ayahh!!” pekau Arunika yang hampir terjatuh ke lantai, dan tanpa hitungan detik tubuhnya tergeletak pingsan.

Aga memijit pelipisnya, sudah sepuluh menit, akan tetapi gadis yang sedang terbaring di bed klinik sampai sekarang belum sadarkan diri. Ketika Aurora masih di sini, ia menceritakan betapa takutnya Arunika terhadap kucing. Ah, sekarang dirinya benar-benar merasa bersalah.

“Belum bangun juga, ya?” tanya wanita yang terlihat sudah berumur empat puluh tahun.

Aga menggeleng cepat. “Kalau begitu saya balik lagi ke kampus dok, nanti kalau dia sudah bangun tolong berikan ini.” Tangannya mengulurkan ransel milik Arunika.

Dokter klinik itu pun mengangguk.

Namun ketika Aga hendak keluar dari ruangan, tangannya dicekal tanpa aba-aba.

“Ayah,” gumam Arunika yang kini masih memejamkan matanya.

Aga bergeming dan bergelut dalam pikirannya. Sedari tadi gadis ini menyebut sang ayah.

Ketika dokter itu pun hendak menghampiri, Arunika perlahan membuka matanya untuk sadarkan diri. Akhirnya, Aga bisa bernapas lega.

“Kamu nggak apa-apa, 'kan?”

Bukannya malah menjawab, Arunika memegang kepalanya yang terasa sedikit pening.

“Semalam tidur jam berapa?” dokter itu menyelidiki.

Tak kuat untuk menyahut pertanyaan sang dokter, Arunika memasang tiga jari.

“Tubuh kamu itu nggak bisa mengeluarkan energi yang berlebihan, itulah sebabnya kamu pingsan.” Dokter itu pun beralih menuju nakas, dan menuliskan sesuatu di kertas. “Saya kasih vitamin di sini. Ingat ya, jangan terlalu dipaksakan.”

Arunika mengangguk, tak lama itu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu melenggang pergi. Kini hanya mereka berdua di sini. Ia merasa tak enak jika berbaring dan dilihat oleh laki-laki lain. Maka dari itu Arunika berusaha untuk duduk, walau lelaki itu berusaha untuk menolongnya.

Setelah dirasa nyaman dalam posisi sekarang, Arunika tersenyum simpul kepada sang dosen.

“Kenapa bisa tidur jam tiga?”

“Mengerjakan laporan pekan kemarin.”

“Ohh,” sahut Aga pelan, “tentang kucing tadi, saya minta maaf.”

Arunika mengacungkan jempolnya, seolah melupakan perkara tadi dengan cepat. “Nggak apa-apa, Pak. Hm, kalau bawaan kucing saya selalu phobia.”

“Sekarang udah enakan, 'kan?”

Arunika melebarkan senyumnya seakan mengatakan iya sudah lebih baik sekarang. “Nama bapak siapa?”

“Aga Febrian.”

Arunika mengangguk-angguk, senyum yang terpatri di wajahnya pun tak hilang sejak tadi. Oh, jadi namanya Aga Febrian.

Gimana untuk awalannya? semoga suka.
Follow ig : @miftahuljannah6_
@haffaza

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top