Satu

Seharusnya ruangan kantor berukuran 3x3 meter itu nampak rapi dan nyaman seperti biasanya. Siapapun orang yang masuk, tentu akan merasa ingin berlama-lama walaupun label kantor tetap melekat kuat di sana. Namun untuk sore ini, pemandangan itu sedikit terusik karena beberapa kertas dengan berbagai macam tabel dan angka yang masih terlihat memenuhi meja Rena.

Kedua alis Rena berkerut dalam saat tangannya mengurut satu per satu angka-angka tersebut. Jujur ia merasa muak dan pening dengan deretan angka tersebut, namun bagaimana lagi? Ini sudah hampir mendekati akhir bulan. Deadline laporan keuangan perusahaannya harus sudah selesai paling tidak lusa.

Getaran ponsel Rena yang beradu dengan meja kerjanya terdengar begitu nyaring di ruangannya hingga membuat wanita berambut ikal itu terlonjak. Rena mengumpat tertahan menatap ponselnya yang masih bergetar, namun ia segera meraih benda tersebut dan mengarahkannya ke telinga tanpa melihat layarnya yang berkedip-kedip terlebih dahulu.

"Halo?" ucap Rena terburu.

"Re, aku sudah di bawah."

Seolah seluruh organ tubuhnya terjatuh di dasar perutnya, Rena merasa begitu lelah hingga ia menghela nafas berat seraya menyandarkan punggung dan lehernya di sandaran kursi.

"Kamu belum selesai?" Suara berat di seberang itu bersuara lagi.

Lagi-lagi Rena menghela nafas. "Sebenarnya belum."

"Lalu?"

Selama beberapa saat, Rena berpikir. "Aku bawa kerjaan ke rumah aja, deh. Boleh?"

Rena tak langsung mendapat jawaban akan pertanyaannya. Kali ini giliran lawan bicaranya yang menghela nafas. "Aku bilang nggak boleh pun kamu juga bakalan maksa."

Dengusan geli Rena meluncur dari bibirnya begitu saja.

"Yuk buruan, nanti keburu malam."

Rena menurut. Sepasang pupil mata hitamnya terlihat sedikit lebih bersinar jika dibanding dengan beberapa saat yang lalu. Dengan cekatan, Rena merapikan semua berkas yang telah menyiksanya selama beberapa jam tersebut dan memasukkannya ke dalam sebuah map jinjing. Rena meraihnya. Wanita itu berjalan membuka pintu sebelum meraih tas dan blazer-nya yang berada di atas meja kecil di samping pintu.

.

Dafi membuang putung rokoknya lalu mengubah saluran radio musiknya ke saluran radio tentag info kota. Pria itu mencermati baik-baik daerah macet mana saja yang telah disebutkan announcer radio tersebut. Memutuskan untuk pulang ke rumah di jam seperti ini menurutnya sama saja seperti akan melakukan perjalanan ke luar kota.
Pintu mobil yang terbuka membuat Dafi mengalihkan perhatiannya sementara.

"Hai."

Dafi tak menjawab sapaan tersebut, melainkan memilih untuk menerima barang-barang yang telah diangsurkan kepadanya untuk ia letakkan di kursi belakang.

"Kantor kamu keliatan sudah sepi," ucap Dafi saat kembali melihat wanita yang baru saja duduk di kursi sebelahnya.

"Yah..." jawab wanita itu lambat seraya memasang sabuk pengamannya. Setelah itu, ia turut menatap Dafi. "Tinggal aku dan satpam."

Dafi tak berkomentar. Pria itu memilih melajukan Pajero Sport putihnya keluar area gedung kantor dan menyetir melintasi jalanan yang mulai tak lengang.

"Kamu mau makan malam apa, Daf?"

Tangan Dafi memutar stang mobilnya dan melintasi jalanan yang lebih ramai dari sebelumnya. "Beli saja."

"Kok beli?"

Dafi sengaja tak menjawab. Paham jika istrinya tersebut akan melanjutkan perkataannya.

"Bilang saja kamu mau makan apa, Daf. Nanti aku masakin."

"Kamu itu pulang bawa kerjaan, Re. Kalau kamu masih mau masak dan dilanjut ngerjain kerjaan kamu, jam berapa kamu istirahat?"

Rena terdiam. Benar juga apa yang dikatakan Dafi. Sambil menyandarkan leher dan pungungnya di sandaran kursi, Rena melirik Dafi. "Tapi harusnya aku selalu masakin kamu, Daf," gumam Rena pelan.

"Kalau nggak memungkinkan?"

"Memungkinkan kok," sahut Rena cepat.

Dafi menghela nafas berat, mulai malas untuk berdebat dengan istrinya. "Kalau gitu aku yang nggak mau kamu masakin. Udah titik."

Rena tak menjawab, melainkan mulai menekuk wajahnya dan sedikit cemberut. Selalu seperti ini, selalu berakhir seperti ini. Memilih untuk memalingkan wajah, Rena lebih memilih untuk mengamati tetesan air hujan yang mulai terlihat dari jendela mobil yang kini jauh lebih menarik perhatiannya.

Ingatan seorang Renata Prameswari melayang saat dua tahun lalu dimana ia dan Dafi Ramadhan Soedibyo dipertemukan dalam sebuah reuni SD setelah lebih dari sepuluh tahun tak bertemu. Dafi adalah sahabat Rena. Mungkin tidak pantas juga disebut sahabat sedangkan mereka selalu berselisih paham dari kecil, namun kebersamaan mereka sejak kecil membuat predikat sahabat turut melekat kuat di antara keduanya.

Dafi adalah anak tunggal. Orang tua Dafi merupakan tetangga orang tua Rena sedari Rena masih belum lahir. Mulai dari balita hingga bersekolah, orang tua Dafi dan Rena selalu menyekolahkan anak mereka di sekolah yang sama. Karena jarak rumah yang bersebelahan, serta sekolah yang selalu sama, banyak yang mengira Rena dan Dafi adalah sahabat karib. Padahal baik Rena maupun Dafi tak pernah menganggap pertemanan mereka begitu spesial hingga disebut sahabat karib.

Saat SMP, tepatnya tahun kedua, keluarga Dafi yang pindah ke kota lain mengharuskan Dafi untuk turut ikut meninggalkan sekolah serta Rena. Kala itu, meskipun mereka berteman lama, tak satupun dari mereka yang merasa kehilangan ketika mereka berpisah. Keduanya tetap melanjutkan sekolah dan hidup masing-masing tanpa berkomunikasi lagi. Pada saat masuk kuliah, kabar yang Rena dengar adalah Dafi kuliah di luar pulau. Kabar itu pun tak Rena dapatkan langsung dari Dafi, melainkan dari teman SMP-nya yang kebetulan bertemu Dafi di bandara.

Rena semakin melupakan Dafi, bahkan lima tahun terakhir sebelum pertemuannya kembali dengan Dafi di reuni SD, Rena bahkan tak ingat jika dirinya pernah mempunyai teman yang selalu pergi dengannya bersama, teman yang selalu berangkat sekolah dengannya, teman yang jika dibanding dirinya malah lebih mendapatkan perhatian dari abangnya, dan teman yang telah menemani empat belas tahun hidupnya.

Rena menghela nafas lelah, ia mulai mengantuk sekarang. Ditambah lagi dengan jalan macet di depannya membuat sepasang matanya seolah dipaksa menutup secepat mungkin. Perlahan Rena menoleh Dafi yang terlihat jenuh menatap kemacetan di depan mereka. Pria itu terus memandang depan tanpa menolehnya sedikit pun. Sepasang matanya menunjukkan rasa tidak sabar yang ketara sekali. Rena pun tanpa sadar tersenyum tipis.

Dafi teman kecilnya yang dulu ia kenal telah berubah. Hal itu sudah Rena rasakan pada saat Dafi menghampirinya di reuni SD dua tahun yang lalu. Dafi yang Rena lihat saat itu telah bermetamorfosis menjadi Dafi dewasa yang mengagumkan. Dafi memiliki tubuh yang tinggi tegap. Bahu lebarnya terlapisi t-shirt hitam dan kemeja kotak-kotak tak dikancingkan yang membuatnya terlihat lebih gagah. Rambut pendek Dafi terlihat tambah ikal, seingat Rena dulu rambut Dafi tak seikal itu. Kulit pria itu terlihat lebih gelap, namun tetap tak mengurangi pesonanya sebagai pria dewasa. Saat itu, dengan entengnya Dafi menjabat tangan Rena tanpa menghiraukan keheranan yang terpancar jelas dari wajah Rena. Dan sapaan pertama kali yang keluar dari mulutnya dengan segera membangunkan Rena.

"Hai, Re."

Itu Dafi. Pria di depannya saat itu memang Dafi teman masa kecilnya. Dari semua tampilan fisik yang berubah, suara serak Dafi lah yang masih pada tempatnya. Dan sepasang mata itu, sepasang mata tajam namun meneduhkan itu membuat Rena tanpa ragu membalas sapaan pria yang masih memegang tangannya.

"Dafi."

.

.

.
Rintikan hujan yang menabrak jendela perlahan terdengar begitu jelas bagi Rena yang tengah menutup mata. Wanita itu memiringkan tubuhnya, meringkuh mencari kehangatan entah apa saja yang bisa ia dapatkan di sana. Rena mengusapkan pipinya lebih dalam ke hamparan lembut nan empuk yang seolah membuatnya semakin rapat menutup mata. Namun alih-alih menutup mata, Rena membelalakkan sepasang matanya dan terlonjak duduk. Kepalanya menoleh kesana kemari, mencari tahu dimana ia sekarang berada.

Kamarnya.

Kepala Rena berputar untuk mencari letak jam dinding yang bertengger manis di atas pintu. Pukul sebelas malam lebih. Rena pun mengamati pakaian kerjanya yang masih utuh, -tanpa sepatu tentu saja- wanita itu tiba-tiba mendadak pening. Ini sudah malam, dia belum menyiapkan makan malam untuk suaminya, belum juga menyentuh draft laporan keuangannya yang begitu mengganggu ketenangannya. Dengan segera Rena beranjak dan mencari tas kerjanya. Nihil. Di dalam kamar persegi berukuran 4x4 itu, Rena sama sekali tak menemukan seperangkat alat kerjanya.

Pintu kamar yang terbuka dari luar menghentikan Rena yang tengah membuka laci tas-tasnya. Dafi ada di sana, memakai kaos dan celana pendek santai sambil sedikit tercengang menatap Rena.

"Kamu udah bangun?"

"Tadi aku ketiduran di mobil, yah?" tanya Rena tanpa menjawab pertanyaan Dafi sebelumnya.

Dafi mengangguk. "Cepet mandi, trus makan. Biar kupanasin dulu soto ayamnya."

"Soto ayam?"

"Tadi beli waktu pulang."

Entah mengapa Rena merasa udara begitu jauh darinya hingga membuatnya sulit untuk mengambil nafas. Fakta bahwa malam ini dia berulah untuk kesekian kalinya hingga membuat makan malam suaminya tak terurus membuat ulu hatinya nyeri sesaat. Alhasil, ia hanya bisa terpaku menatap punggung Dafi yang berbalik pergi.

.

Saat Rena keluar kamar mandi, waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Dengan masih berbalut handuk di kepalanya, Rena berjalan menghampiri Dafi yang duduk di sofa panjang ruang tengah melihat siaran berita.

Dafi menoleh. "Soto ayamnya udah aku panasin. Buruan, kamu belum makan."

Rena tak menyahut, melainkan menolehkan kepalanya kemari mencari sesuatu.

"Tas kamu ada di ruang tamu," ucap Dafi tanpa menoleh Rena.

Dengan penuh menyesal, Rena manatap Dafi lekat-lekat. "Tau kayak gini aku nggak bakal ngeyel tadi."

Untuk yang kedua kalinya, Dafi menoleh. "Ngeyel apa?"

"Ngeyel buatin kamu makan malam." Rena menghela nafas berat dan semakin menundukkan kepala. "Aku jadi malu sama kamu Daf kalau kayak gini."

Perlahan, Dafi yang masih menatap Rena tersenyum geli. "Apaan sih, Re?" ucapnya seraya mengacak handuk yang melilit kepala Rena.

Rena protes dengan menepis tangan Dafi. "Aku serius, Daf."

Kini Dafi sudah tertawa. "Oke-oke kita serius sekarang. Ada apa?"

Kepala Rena menunduk sesaat sebelum kembali terangkat. "Aku mau minta maaf."

"Untuk?"

"Untuk aku yang tadi udah ngeyel ke kamu."

Raut geli Dafi memudar. Pria itu menyunggingkan senyumnya dan menatap Rena lekat-lekat. "Oke aku maafin, tapi dengan syarat."

Sepasang alis Rena menaut.
"Pertama, jangan memaksakan diri di saat bekerja. Sebetulnya aku nggak suka kalau kamu bawa kerjaan ke rumah, Re. Seharian kamu udah lelah di kantor, aku nggak mau kamu sakit karena kecapekan."

Rena kesulitan menelan ludah mengetahui fakta tersebut.

"Dan yang kedua, sabtu besok kamu harus temenin aku dan abang mancing."

Wajah jengkel Rena tak dapat tertutupi. "Kok gitu?"

"Abang kamu bawa istri dan anaknya buat mancing, masa aku nggak bawa?"

"Tapi kenapa harus mancing sih, Daf? Aku nggak suka-"

"Iya, aku tahu kamu benci mancing," potong Dafi pelan. "Tapi di sana nanti kan ada Kak Fani."

Rena tak menjawab, masih cemberut dengan persyaratan Dafi.

"Setidaknya nanti kamu nggak akan sebenci ini sama memancing."

Masih tak ada tanggapan dari Rena. Rasa bersalahnya kepada Dafi sudah terkikis dan tergantikan dengan rasa kesal yang menumpuk namun tak dapat diungkapkan.

Rena memilih untuk menyandarkan punggungya di sandaran sofa dan memfokuskan pikirannya pada tayangan berita televisi. Sedangkan Dafi, pada awalnya pria itu tetap memperhatikan istrinya sebelum meraih remote televisi dan mengubah channel ke acara pertandingan sepak bola.

Memancing memang membosankan. Namun bagi Rena, memancing juga membuat rasa bencinya meletup-letup. Hal ini terjadi karena sejak kecil, abangnya selalu meniggalkannya bermain di rumah sendiri dan kesepian karena alasan memancing. Saat kecil dulu, Dafi selalu menjadi teman memancing abangnya. Entah pada akhirnya mendapatkan ikan atau tidak, dua orang itu akan selalu pergi ke danau dekat komplek hingga malam hari saat mereka tak sibuk. Memancing membuat mereka melupakan orang lain yang menunggu mereka di rumah, termasuk Rena. Dan memancing pulalah yang menyebabkan abangnya lupa ulang tahun Rena yang ke sepuluh.
Di dalam hati, Rena bersumpah akan pulang sendiri dengan taksi jika memancing besok benar-benar membuat bosannya memuncak.

.

.

Tak banyak hal yang Rena mengerti akan hobi abang dan suaminya. Di ujung sana, di dekat danau luas dengan hamparan rumput di sekelilingnya, Rena memperhatikan lekat-lekat apa yang membuat dua orang pria yang berdiri seraya membawa pancing di sana berteriak-teriak kegirangan walaupun sudah satu jam lebih pancing mereka tak di sambar ikan.

"Sama kok, Re."

Rena menoleh wanita berambut sebahu yang duduk di sampingnya.

"Aku juga nggak tau kenapa Ramon suka banget mancing, padahal dia sama sekali nggak jago mancing."

Kekehan geli meluncur mulus dari mulut Rena. Selama di sini, inilah tawa pertamanya. "Abang itu orang yang ngeyel, Kak Fan."

Fani tersenyum setuju. Lesung pipi wanita itu membuatnya semakin terlihat cantik. "Ngeyel dan nggak mau kalah."

Baik Rena dan Fani kini tertawa bersama.

"Mamah, banyak capung."

Seorang bocah lelaki kecil yang berteriak tak jauh dari dua wanita itu terlihat kegirangan mengejar puluhan capung yang ada di sana. Hati Rena merasa damai seketika, melihat Rehan sama seperti melihat abangnya versi kecil.

"Rehan sini! Susunya diminum, Nak."

Rehan menoleh, lalu berlari dengan kaki mungilnya menghampiri Fani.

"Tadi ada apa di sana?" tanya Fani seraya memberikan botol susu kepada Rehan.

"Capung."

"Capungnya banyak nggak?"

"Selatus."

Rena tertawa seketika. Tangannya terulur untuk mengusap rambut Rehan sebelum menarik bocah tiga tahun itu ke dalam dekapannya.
"Emang seratus itu berapa sih, Rehan?"

Rehan menggigit dot botol susunya dan mengangkat kesepuluh jarinya dengan bangga hingga membuat Rena lagi-lagi tertawa.

"Kamu kapan nyusul aku, Re? Aku aja udah mau dua, masa kamu satu aja belum."

Rena menghentikan tawanya seketika dan memandang Fani yang ganti menatapnya dengan senyum ditahan. Pandangan Rena turun ke perut Fani yang buncit.

"Sudah dua tahun loh, Re. Memangnya kalian mau nunggu sampai kapan?"

Tak ada jawaban dari Rena. Wanita itu terlihat kikuk, dengan kaku ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.

"Kamu nggak KB, kan?"

Rena menggeleng.

"Lalu? Apa Dafi nggak pengen nantinya ngajak anaknya mancing?"

Senyum Rena tidak sampai di mata. Ia semakin bingung harus menanggapi seperti apa.

"Nggak tau kenapa," perkataan Fani menggantung sesaat. "Aku kok ngerasa kalian beda, ya?"

"Maksudnya?" Rena sedikit tersentil dengan pernyataan kakak iparnya.

"Nggak tau, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi..." Fani menatap Rena ragu. "Kalian itu seperti teman, bukan seperti pasangan suami istri."

Rena tertohok. Sesuatu yang kasat mata terasa menusuk dadanya hingga membuatnya merasa begitu sulit untuk sekedar menarik napas. Udara di sekelilingnya entah mengapa terasa menekan tubuhnya dari berbagai arah. Selama sepersekian detik, Rena berusaha menguasai dirinya lagi.

"Sebelum nikah kita memang teman lama, Kak. Wajar kalau malah terlihat seperti teman biasa," ucap Rena dengan senyuman kecilnya.

Fani mengangguk perlahan, pertanda ia setuju dengan jawaban Rena.

"Dan kalau urusan anak," Rena menjeda kalimatnya untuk mengambil napas. "Mungkin memang belum dikasih, Kak."

Fani mengerjap. Raut wajahnya berganti dengan penuh penyesalan. "Mungkin," gumamnya pelan. "Jangan berhenti berusaha ya, Re."

Rena mengangguk seraya memaksakan senyumnya. Ia merasa sedikit lega karena Fani memilih untuk tidak bertanya lagi padanya. Pernyataan Fani mau tidak mau kini mengusik otaknya.

.

.

Di atas ranjang tidurnya, Rena memperhatikan lekat-lekat Dafi yang tengah sibuk dengan beberapa peralatan memotretnya. Fani bilang, ia dan Dafi terlihat hanya seperti teman. Memang apa masalahnya di sini? Ia dan Dafi memang berteman, pertemanan yang membawa mereka menuju pelaminan. Jika memang mereka terlihat hanya seperti sepasang teman, memangnnya kenapa? Apa yang salah? Selama ini ia merasa nyaman dengan pernikahannya, begitu pula dengan Dafi. Pria itu tak pernah sekalipun mempermasalahkan kehidupan pernikahan mereka. Mereka juga tidak pernah bertengkar hebat selama menikah. Bukankah pernikahan yang terlihat seperti pertemanan itu malah bagus? Buktinya tidak ada konflik sedikit pun yang Rena rasakan selama menjadi istri Dafi.

Yah, Rena meyakini itu. Tidak ada yang salah dengan pernikahannya, semuanya lancar tanpa kendala.

Pandangan Rena beralih ke rambut Dafi yang masih meneteskan air. Rena mendengus kecil. Lihat? Saking asyiknya Dafi sampai lupa kalau rambutnya belum kering. Meletakkan majalah di sampingnya, Rena turun dari ranjang dan menghampiri Dafi dengan membawa handuk yang ia sambar dari dalam lemari.

Dafi menegang saat merasakan seseorang membungkam kepalanya dengan sebuah handuk. Perlahan Dafi mendongak.

"Bisa nggak sih rambut kamu kering dulu, baru pegang pacar kamu?"

Tak ada jawaban dari Dafi. Pria itu memilih untuk melanjutkan kegiatannya seraya menikmati usapan lembut di kepalanya dari Rena.

"Ada foto kamu sama Rehan, nih."

Rena menghentikan tangannya, dan mencondongkan tubuhnya ke punggung Dafi, melihat hasil foto dari kamera suaminya. Dapat Dafi cium aroma sabun kopi pun seketika menguar kuat dari tubuh Rena.

"Bagus sekali, aku keliatan cantik."

Dafi mendengus geli. Di dalam foto tersebut, tak Dafi pungkiri istrinya terlihat begitu cantik. Rambut ikal Rena yang bermandikan sinar matahari sore dalam foto tersebut seakan menambah kecerahan di wajah Rena yang tengah memeluk Rehan.

"Kalian seperti iklan shampo keluarga."

Belum sedetik mengakhiri kalimatnya, Dafi mengaduh karena mendapatkan cubitan kecil di perutnya.

"Cetakin dong," pinta Rena yang kini sudah berdiri di depan Dafi. "Please."

"Buat dompet?"

"Ya nggak, Daf." Kedua tangan Rena terangkat ke atas. "Yang gede. Mau aku simpen, trus aku kasih ke Rehan kalau udah besar."

Kedua alis Dafi berkerut, tak paham dengan tujuan istrinya. Tapi Dafi tetap lah Dafi yang memilih untuk mengiyakan keinginan Rena ketimbang mendengarkan alasan panjang wanita itu.

"Kamu tumben jam segini belum ngantuk?"

Rena menolehkan kepalanya ke arah jam dinding, pukul setengah dua pagi. "Belum ngantuk aja. Kamu besok ada futsal?"

"Iya dong."

Kali ini ganti Rena yang menautkan alisnya, tak paham mengapa Dafi begitu bangga saat menjawab pertanyaannya.

"Kenapa memangnya?" tanya Dafi.

"Mau aku ajak belanja."

Dafi nampak berpikir ulang. "Selesai futsal gimana? Atau kamu ikut aku futsal?"

Rena diam, bingung menjawab yang mana.

"Udah, kamu ikut aku futsal aja. Kamu kan nggak pernah lihat aku futsal."

"Enggak ah," jawab Rena sambil berjalan menuju ranjang tidur. Rena naik ke atas ranjang dan bersiap menarik selimutnya. "Pasti bosannya kayak nungguin kamu mancing."

"Di sana ada coffe shop, kalau kamu bosan nungguin aku, kamu bisa ke sana. Gimana?"

Tawaran Dafi mengurungkan Rena menarik selimutnya.

"Bentar aja kok, futsal itu nggak lama."

"Oke."

.

.

Keesokan siangnya, Rena mantap ikut Dafi futsal. Selain merasa bosan di rumah, kepandaian Dafi mempersuasinya untuk menikmati kopi di coffe shop yang mereka bicarakan kemarin malam membuat Rena ikut tanpa berpikir untuk kedua kalinya.

Mobil Dafi memasuki lahan parkir salah satu ruko di tengah kota dan berhenti tepat di bawah satu-satunya pohon di sana. Pria itu mematikan mesin mobil, melepaskan sabuk pengaman, dan terakhir melepas kaca mata hitamnya sebelum menoleh Rena.

"Kamu langsung aku anter ke coffe shop atau mau nungguin aku di dalam dulu?"

"Langsung ke coffe shop aja deh."

Dafi dan Rena turun dari mobil. Keduanya berjalan berdampingan menuju bagian terujung lahan parkir, lalu melintasi sebuah terowongan berukuran sedang yang gelap.

"Ini tempat futsal apa wahana rumah hantu sih, Daf?"

Baru saja berhenti berbicara, kaki Rena menapak sebuah lubang hingga membuat wanita itu terjatuh tiba-tiba. Rena mengaduh pelan, sedangkan Dafi segera membantu wanita itu berdiri.

"Hati-hati dong, Re." Suara Dafi terdengar meninggi.

"Gelap, Daf," sahut Rena seraya meringis kesakitan. "Aku nggak tau kalau ada lubang."

"Makanya kalau jalan itu fokus."

Rena tak menanggapi, sakit di kakinya lebih menyita perhatiannya daripada omelan Dafi. Setelah melewati terowongan tersebut, Dafi yang kini sudah berjalan di depan mengambil langkah ke kiri. Di belakangnya, Rena mengikuti dengan perlahan.

"Di sini."

Kepala Rena memutar memperhatikan segala arah. Interior coffe shop tersebut bertemakan Jawa. Ukiran-ukiran kayu tersebar baik di pintu, jendela, meja, kursi, vas bunga, hingga cangkir kopi yang digunakan. Saat mendongakkan kepalanya, Rena menangkap sebuah plakat yang juga terbuat dari kayu bertuliskan Kopi Pak De.

"Kalau nanti kamu cari aku, kamu tinggal masuk ke sana," ucap Dafi seraya menunjuk sebuah gedung tak jauh dari mereka berdiri. "Futsalku cuma dua jam."

Rena mengangguk.

"Aku tinggal yah."

Telapak tangan Dafi yang mengusap sekilas pipi Rena membuat wanita itu terdiam sesaat. Di dalam hati Rena bertanya-tanya, tumben sekali suaminya melakukan hal tersebut?

.

.

Dua jam telah berlalu, bahkan lebih beberapa menit. Rena menyandarkan punggungnya seraya menghela napas berat. Jika ditanya bosan apa tidak, Rena pasti akan mengiyakannya. Namun setidaknya bagi Rena, duduk sambil membaca koleksi buku-buku bernuansa Jawa milik coffe shop ini sedikit menghiburnya daripada harus menunggu dan memperhatikan Dafi memancing.

Buku di tangan Rena tertutup. Wanita itu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Di dalam hati ia sedikit terheran. Sedari tadi coffe shop ini tak pernah sepi pengunjung, namun entah mengapa Rena merasa begitu tenang di sini. Seolah-olah, hanya dia lah yang berada di sini. Mungkin kapan-kapan, Rena akan kesini lagi.

Rena memanggil pelayang untuk meminta bill. Setelah mengeluarkan selembar uang dari dompet dan meletakannya di atas meja, Rena meraih tasnya dan berjalan keluar dari sana dengan sedikit terpincang.

Sial, kaki ini menghambat saja.

Dengan langkah perlahan, Rena berjalan menuju sebuah gedung yang tadi Dafi tunjukkan. Bangunan tersebut terlihat begitu besar dari luar. Catnya yang berwarna hijau gelap menunjukkan sisi maskulinitas gedung ini. Tanpa pikir panjang, Rena berjalan masuk dan menolehkan kepalanya ke segala arah untuk mencari suaminya.

Itu dia, suaminya ada di sana. Tengah duduk bersila di samping lapangan sambil tertawa keras dengan beberapa pria. Sempat terlintas di pikiran Rena untuk menelepon Dafi, namun Rena tersadar, Dafi tak akan membawa ponsel di area seperti ini. Menyingkirkan rasa kesalnya, Rena berjalan mendekati suaminya.

Dari jauh, rambut Dafi terlihat berantakan. Peluh membasahi wajah dan tubuh pria yang kini bertelanjang dada itu. Sebuah rokok yang bertengger manis di tangan kanannya ia mainkan dengan cara diputar-putar. Sesekali wajahnya terlihat sumringah tatkala ia tertawa, dan pada saat pria itu mengusap rambutnya ke belakang kepala, Rena menghentikan langkahnya tiba-tiba.
Dasar perut Rena mendadak terasa seperti tertekan sesuatu. Kedua kaki wanita itu juga terasa begitu berat untuk digerakkan. Ada apa ini? Lalu mengapa dada Rena bergemuruh? Berusaha untuk menetralkan kembali detak jantungnya, Rena memejamkan kedua matanya sambil menghirup udara sebanyak yang ia bisa.

Mengapa? Melihat Dafi tertawa merupakan makanan pokok bagi Rena. Setiap malam, saat pria itu melihat acara komedi, Rena bahkan bisa mendengar tawanya yang menggelegar hingga kamar. Tapi mengapa saat ini terasa berbeda? Mengapa rasanya seperti gadis belasan tahun yang hendak bertemu kenalannya? Di dalam pikirannya, Rena sibuk mencari jawaban tersebut hingga tak menyadari seseorang berdiri di sampingnya.

"Rena?"

Rena membuka matanya dan menoleh. Benaknya sedikit bersyukur bahwa yang memanggilnya barusan bukanlah suaminya.

"Cari Dafi?"

"I-iya, Ndan," jawab Rena sekenanya.
"Lihat dia nggak?"

"Tuh... Dafi di sono noh!" Telunjuk Hamdan menuding tepat dimana Dafi duduk. "Daf, Dafi!"

Dafi menoleh, di dalam hati Rena mengutuk Hamdan yang langsung memanggil Dafi begitu saja.

"Dicariin Nyonya, nih." Suara Indra terdengar menggelegar hingga ke sudut-sudut bangunan luas tersebut. Kekehan geli pria yang merupakan sahabat Dafi tersebut juga tak kalah keras. "Tumben banget sih futsal ditemenin Nyonya?"

Dafi mematikan rokoknya sebelum berlari menghampiri Rena dan Hamdan berdiri. "Dari tadi?" tanya Dafi kepada istrinya.

Rena menggeleng.

"Aku mandi dulu, yah? Kamu mau nungguin di sini apa di mobil aja?"

Pandangan Rena mengikuti Hamdan yang menjauhi mereka. "Di mobil aja deh."

"Oke tunggu sini, aku ambil dulu kuncinya." Dafi berbalik dan berlari meninggalkan Rena. Sepanjang pria itu berlari, mata Rena tak pernah lepas sedetikpun dari punggungnya.
Rena menggeram frustasi. Ada apa dengan dirinya? Jantungnya sedari tadi masih belum berdetak secara normal. Kegugupan yang bahkan tidak ia ketahui penyebabnya pun belum juga hilang. Kenapa? Ada apa ini? Pasalnya, semua keanehan itu berimbas terhadap nafasnya yang tiba-tiba sulit untuk ia hirup.

Langkah Dafi membuat Rena menoleh lagi.

"Cuma lima belas menit," ucap Dafi seraya mengangsurkan kunci mobil.
Rena mengangguk. Tanpa basa-basi lagi ia berbalik dan meninggalkan Dafi.

.

Tepat waktu. Lima belas menit sejak Rena masuk ke dalam mobil, Dafi datang dengan penampilan yang lebih rapi walaupun rambutnya masih terlihat sedikit basah. Pria itu sudah mengenakan kaos hitamnya yang tadi, dan celana jeans biru. Tak lupa sebuah kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya.
Rena hanya memperhatikan Dafi yang menutup pintu mobil tanpa komentar.

"Oke." Dafi menoleh Rena. "Mau belanja dimana?"

"Terserah."

Dafi mengetuk-ngetuk pelan stang mobil dengan jari-jarinya. "Kamu udah makan?"

Rena menggeleng.

"Cari supermarket yang dekat foodcourt aja ya?"

"Boleh," sahut Rena sambil memasang sabuk pengamannya.

Mobil Dafi mulai melaju keluar dari area parkir. Dengan kecepatan sedang, Dafi memacu mobilnya melintasi jalanan di hari Minggu yang tidak seberapa padat.

"Belanja dulu apa makan dulu nih?"

Rena menoleh Dafi, nampak berpikir sejenak. "Belanja dulu aja, Daf."

"Kamu nggak keburu lapar?"

"Emangnya kamu?"

Dafi mendengus geli. Tangannya memutar stang mobil ke kanan saat melintasi sebuah pertigaan.

"Kamu tumben belanja ngajak aku?" tanya Dafi.

Rena menoleh lagi, namun tak langsung menjawab.

"Biasanya kan sendiri."

"Ya nggak papa," jawab Rena sekenanya. "Lagi nggak pengen belanja sendiri aja."

Dafi hanya menoleh Rena sekilas dengan ekspresi yang tidak bisa Rena artikan apa maksudnya. Setelah itu, Dafi kembali fokus menyetir dan menatap jalan di depannya. Dengan penuh kehati-hatian, Rena menghela napas.

Ia bertanya-tanya mengapa hari ini tidak seperti hari yang ia lalui seperti sebelum-sebelumnya.

.

Dafi berjalan di belakang Rena dan memperhatikan baik-baik setiap langkah kaki wanita tersebut. Sepertinya ada yang aneh dari cara berjalan istrinya. Mengambil langkah panjang, Dafi berjalan menjajari Rena yang tengah mendorong kereta belanja.

"Kaki kamu kenapa?"

Rena menoleh sejenak. "Nggak tau, sakit kalau dibuat jalan."

"Gara-gara jatuh tadi ya?"

Kereta belanja Rena berhenti. Rena menjulurkan tangannya mengambil dua kotak susu cair dari rak supermarket. "Mungkin," jawabnya singkat seraya melanjutkan mendorong kereta lagi.

Rena mengarahkan kereta belanjanya ke bagian kasir. Di belakangnya, Dafi hanya mengikuti tanpa berkata apa-apa.

.

Cuaca siang itu terasa sejuk. Mendung yang menggelayut di langit sejak pagi membuat banyak orang memilih untuk keluar ruangan dengan berjalan kaki. Begitu pula suasana di foodcourt sebelah supermarket yang Dafi dan Rena kunjungi. Dari luar, tak banyak kendaraan yang terparkir di parkiran. Namun ketika memasuki dalamnya, hampir tak ada celah bagi Dafi dan Rena untuk memilih tempat duduk.

"Ya ampun, ini semua orang?"

Dafi yang sedang menarik kursi, hanya mendengus sambil melirik istrinya.

Seorang pelayan datang sambil membawa buku menu yang cukup tebal. Setelah mengucap salam selamat datang, pelayan perempuan itu siap dengan notebook dan bolpoint di tangannya. Rena menyebutkan pesanannya, begitu pula Dafi. Setelah pelayan itu pergi, Dafi mendekatkan kursinya ke Rena.

"Coba lihat kaki kamu."

Belum sempat Rena bertanya kenapa, Dafi dengan tiba-tiba mengangkat kaki kanan Rena.

"Daf!" Kepala Rena menoleh ke segala arah melihat pengunjung yang lain. "Kamu ngapain sih?"

Dafi tak menjawab, melainkan mulai memijat-mijat pelan kaki Rena.

"Aw... Dafi!" pekik Rena sambil meremas lengan suaminya itu. "Dafi sakit, Daf!" ucap Rena pelan namun penuh penekanan.

Dafi terkekeh, lalu menurunkan kaki istrinya. "Nanti aja di rumah. Kamu tuh kebiasaan nggak bisa nahan sakit."

Rena cemberut. Siapa juga ada orang yang bisa diam kalau kesakitan?

"Dafi?"

Suara dan logat asing itu membuat Dafi dan Rena menoleh. Seorang pria berkacamata dan tengah menggendong bayi perempuan itu terlihat begitu sumringah.

"Woi, Indra!"

Ganti Rena yang menoleh Dafi karena suara keras pria itu.

"Gila udah lama banget, Meeeen!" ucap pria bernama Indra itu seraya menjabat tangan Dafi.

Dafi tertawa lepas, memeluk Indra sebentar. "Udah nikah kamu?"

"Lah ini hasilnya, Daf."

Pandangan Dafi turun ke bayi yang digendong Indra. "Umur berapa nih, Ndra? Gendut banget pipinya."

Indra tertawa. "Baru lima bulan," jawabnya. Matanya lalu beralih ke Rena yang berdiri di belakang Dafi. "Pacar kamu, Daf?"

"Mantan." Tangan Dafi menarik pinggang Rena untuk mendekat. "Namanya Rena."

"Hai," sapa Rena.

Indra tersenyum sambil mengangguk sekilas.

"Indra ini teman satu kos ku pas kuliah, Re."

"Cuman dua tahun aja sih, setelah itu Dafi nggak dibolehin kos lagi sama Mamanya karena dia nggak keurus dan makin kurus."

Ketiga orang itu tertawa seketika.

"Ngomong-ngomong, mau banget sih Re diajak nih anak? Pasti dulunya kalian putus karena nih anak selingkuh sama kameranya, ya?" tanya Indra.

Rena tertawa. "Kalau nggak ngajak dia siapa yang bakal bayarin belanja bulanan kita?"

Indra tampak bingung, namun hanya sebentar karena pria itu langsung meninju pelan perut Dafi. "Nggak berubah kamu, ya!"

Giliran Dafi yang tertawa lebar. "Kamu pindah ke sini, Ndra?"

"Cuma setahun aja, sih. Saya lagi ada proyek di sini."

"Trus istri kamu mana?"

"Udah duluan ke mobil, handphone-nya ketinggalan."

"Oh..."

"Anak kamu mana nih?"

Baik Dafi dan Rena terdiam sesaat. Kecanggungan dengan cepat menyergap Rena saat ini. Lebih dari itu, tubuhnya menegang seketika.

"Belum ada, Ndra," sahut Dafi pada akhirnya. "Do'ain aja deh biar cepet nyusul kamu."

"Pasti-pasti, Daf." Indra mengangguk-angguk. "Eh, kamu masih suka motret?"

Rena menghela nafas lega karena topik pembicaraan mereka berubah.

"Masih."

"Saya minta kontak kamu dong. Saya ada proyek majalah nih."

Dafi mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Kamu datang saja ke alamat ini," ucap dafi sambil menyerahkan kartu namanya. "Hari aktif kerja saya selalu di sana kok."

Indra membaca sebentar kartu nama Dafi, lalu tersenyum melihat pria itu. "Gila, terwujud juga ya mimpi kamu, Men?"

Dafi tersenyum simpul.

"Adventure Photo Studio," baca Indra lamat-lamat. "Keren namanya."

"Apaan sih? Istri kamu udah nunggu tuh!"

"Kamu emang nggak pernah kangen saya, Daf."

Dafi tertawa, meninju pelan lengan Indra.

"Yaudah saya balik dulu yah?"

"Hati-hati, Ndra. Hubungin handphone saya ya!"

Indra menoleh Rena. "Re, aku balik dulu yah?"

"Iya hati-hati, Ndra."

Dafi dan Rena memperhatikan Indra hingga punggung pria itu tak terlihat lagi di kerumunan orang-orang. Rena melirik Dafi yang masih tersenyum menatap Indra. Rena tahu, Dafi pasti sangat merindukan teman lamanya itu. Sorot mata rindu itu terpancar dari mata Dafi sejak ia bertemu dengan Indra.

Namun... Rena pun sempat menangkap perubahan sorot mata Dafi saat berbincang dengan Indra tadi. Perubahan sorot mata yang tak bisa Rena pahami maknanya.

Saat mereka membicarakan tentang anak.

.

.

.

Halo semua... Saya newbie di sini, boleh minta kritik dan saran?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top