DARA KAWARASAN

Di dalam tenda kecil, terpisah dari tenda barak utama, seorang pria paruh baya terbaring tidak berdaya karena betis kirinya terluka. Pria tersebut sudah hampir satu minggu terus terbaring, di sampingnya ada seorang perempuan duduk menemani.

Di luar tenda berdiri sosok berpakaian serba hitam dan hanya matanya saja yang terlihat. "Saya pergi, Nyai." Dia berpamitan.

Dari dalam tenda terdengar suara perempuan, "Berhati-hatilah."

"Hai, arigatō." Setelahnya, sosok itu pun melesat menembus malam di dalam hutan lebat ini.

Sementara itu di bagian lain hutan, Linggar Arum baru saja melintasi jalan besar dan terhindar dari rombongan patroli tentara Belanda. Bersandar pada pohon besar gadis itu sedang mengatur napas.

Patroli besar-besaran. Ada apa sebenarnya?

Tiba-tiba terbersit pikiran buruk tentang ibunya dan Satoshi Arata, Linggar Arum pun mengibaskan kepala beberapa kali. Sudah tiga hari dia berkeliaran di dalam hutan maupun di desa-desa terdekat untuk menjari jejak Satoshi Arata atau ibunya. Namun belum ada hasil.

"Gusti, mohon lindungi mereka," ucapnya lirih.

Setelah tidak ada lagi mobil patroli melintas, Linggar Arum bergegas melanjutkan perjalanan. Dua malam sebelumnya dia turun ke pinggiran kota untuk mencari tahu apa yang sedang berlangsung, tetapi malam ini dia terpaksa tetap bergerak di balik rapatnya pohon hutan karena di mana-mana ada petugas patroli.

Tiba-tiba datang bayangan hitam menyergap Linggar Arum. Pergerakan orang itu terlalu halus dan cepat, membuat Linggar Arum tidak menyadari kehadiran orang tersebut hingga detik sebelum celurit dikalungkan di lehernya.

"Apa maumu?" Suara Linggar Arum menggeram seperti binatang marah. Dia yakin satu hal, orang yang menyergapnya ini bukan tentara Belanda.

"Ikut kalau tidak ingin ayahmu mati."

Mendengar suara itu tubuh Linggar Arum membeku dengan sensasi dingin dan pecah di setiap persendian.

"Anda---"

"Ya, ini aku, Linggar. Patuh, ayo ikut kalau tidak ingin ayahmu dalam bahaya."

Wajah Linggar Arum semakin menegang dan dadanya pun semakin terasa sesak. "Ayah?" Nada bicaranya dingin karena hatinya terasa getir. "Aku bahkan tidak tau seperti apa wajah ayahku. Juga tidak yakin bahwa dia masih ada di dunia---"

"Ibumu juga ada di tanganku."

Wajah Linggar Arum semakin menegang. "Ba-bagaima mungkin Anda---"

"Kalau kamu menolak ikut maka---"

"Tuan Arata, jadi selama ini Anda sudah menipu kami ...."  Linggar Arum berbicara sambil mengetatkan rahang sehingga suaranya mengeram dalam penuh kebencian. Sulit dipercaya, tetapi apa yang terjadi ini adalah nyata

"Aku harus menipu demi keberhasilan misi." Tentara Jepang itu berbicara dengan tenang, datar nan dingin. "Ikut aku, ada seseorang yang harus disembuhkan."

Linggar Arum sangat kecewa. Laki-laki yang dia hormati, dia puja diam-diam, pun dia khawatirkan setengah mati, ternyata telah menipunya. Rasa kecewa dan marah serasa mencekik.

"Keselamatan orang tuamu tergantung sikap dan pilihanmu."

"Boleh aku minta satu hal." Suara Linggar Arum bergetar hebat karena menahan marah.

"Katakan."

"Setelah aku menolong orang itu, mari bertarung habis-habisan."

Mata Satoshi Arata yang sipit tampak semakin menyipit karena tertimbun kerutan tipis, seperti tersirat senyum di sana. Namun, ketika berbicara suaranya tetap terdengar datar dan dingin, "Sangat menarik. Aku setuju."

Setelah itu, Satoshi Arata membebaskan Linggar Arum dari kalungan celurit, lalu melangkah mundur. "Ke arah utara, ikuti sungai kecil," ujarnya kemudian tanpa menatap wajah Linggar Arum.

Gadis itu pun tidak ingin bertatap muka dengan Satoshi Arata. Setelah mendapat petunjuk langsung berjalan cepat menabrak apa saja yang merintangi jalannya.

Ketika bulan semakin benderang yang berarti malam telah melewati puncak, mereka pun sampai di tepi sungai dangkal berair sangat jernih. Keduanya terus melangkah hingga akhirnya berhadapan dengan jalan buntu.

Satoshi Arata melewati Linggar Arum tanpa kata, lalu menerobos dinding tanaman merambat yang menjuntai. Melihat tentara Jepang itu menghilang di balik tanaman gantung, Linggar Arum mau tidak mau teringat pintu masuk rahasia Desa Panjuran.

Ketika keluar dari rimbunnya dinding tanaman, Linggar Arum langsung melihat beberapa tenda gelap. Setelahnya mengedar pandanga dan menatap ke atas. Baru saat itulah dia menyadari bahwa tempat ini berada di bawah Gunung Pandan. Bila dilihat dari atas tempat ini mungkin hanya tampak seperti jurang yang dipenuhi pohon-pohon besar berdaun lebat.

Satoshi Arata beranjak, Linggar Arum pun segera mengikuti. Semakin mendekati tanda-tanda, gadis itu merasa aneh karena tidak mungkin tentara Belanda bersembunyi. Kecuali tentara Belanda itu adalah pembelot.

Satoshi Arata berhenti di depan sebuah tenda. "Kami datang, Nyai," ucapnya sopan.

"Syukurlah. Bawa dia masuk."

Sebutan Nyai sudah cukup membuat Linggar Arum terkejut, ditambah suara perempuan dari dalam tenda barusan sangat familier di telinganya. Melupakan soapan-santun, sebelum Satoshi Arata mempersilakan, gadis itu sudah membuka kain penutup tenda.

"Buk!" Dia langsung menyerbu masuk dan menubruk ibunya, lalu memeluknya erat-erat. "Gusti, syukurlah ibuk baik-baik saja."

Nyai Sukma pun mendekap dan mengelus bahu dan rambut putrinya. "Maaf, ibuk pergi tidak pamitan karena orang suruhan itu datangnya dadakan. Ibu sengaja meminta Tuan Arata ikut untuk berjaga-jaga."

Nama Satoshi Arata di sebut, Linggar Arum segera melepaskan pelukan, lalu menoleh ke pintu, di sana laki-laki itu berdiri dengan kain penutup wajah yang sudah diturunkan, senyum tipis menghiasi bibirnya.

"Sejak awal aku sudah mengaku kalau aku sedang menipu demi keberhasilan misi," ujarnya acuh tak acuh.

"Aku akan mengurus Anda nanti." Linggar Arum melotot sebentar, lalu kembali menatap ibunya. "Buk---"

Sebelum dia sempat menyelesaikan perkataannya, Nyai Sukma sudah menginterupsi, "Akhirnya kamu bisa bertemu ayahmu, Ndok."

Pandangan Linggar Arum langsung tertuju pada sosok laki-laki yang berbaring di atas tumpukan kain seadanya, terlihat kurus dan sepertinya jauh lebih tua dari ibunya.

"Di-dia ayahku?" Suara Linggar Arum lirih dan bergetar.

Satoshi Arata menimpali, "Dia juga orang yang sudah menolongku. Dia mata-mata yang sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun di sarang musuh."

"Ayah." Melihat kondisi ayahnya, hati Linggar Arum serasa diiris-iris dan tanpa sadar air matanya pun berlinang.

"Karena itulah ibuk tidak ingin orang-orang tau kamu memiliki bakat istimewa dalam pengobatan dengan cara yang tidak biasa itu. Kalau sampai itu tersebar, para kompeni ataupun nipon pasti akan menggunakanmu secara ugalu-ugalan dan itu bisa berdampak pada misi ayahmu."

"Ayah tau aku punya bakat itu?"

Nyai Sukma mengangguk. "Dia tau. Karena sering secara diam-diam mengawasimu. Dia mata-mata yang hebat."

"Lalu, kenapa bisa seperti ini?" Linggar Arum perlahan berlutut di samping ayahnya.

Pria kurus dan ringkih bernama Soewiryo itu sebenarnya adalah salah satu petinggi militer. Karena cintanya kepada Bumi Pertiwi melebihi hidupnya sendiri, secara sukarela turun langsung ke lapangan sebagai mata-mata. Bahkan juga rela meninggalkan istri dan anaknya. Namun, semua kerja keras dan pengorbanannya harus berakhir seperti itu karena dikhianati oleh rekan seperjuangan.

Tidak membuang-buang waktu, Linggar Arum pun segera bermeditasi sebagai salah satu persiapan untuk mengobati kaki ayahnya yang sudah nyaris membusuk.

Kisaran tiga jam kemudian, ditemani ibunya dan Satoshi Arata yang membantu menangani penerangan berupa cublik supaya nyalanya tetap stabil, Linggar Arum menggunakan kemampuan tidak biasanya untuk mengeluarkan darah beku serta nanah yang membuat betis ayahnya membusuk. Meletakkan telapak tangan kanan di atas luka, tetapi tidak sampai menyentuh, dia melakukan gerakan mengelus sangat intens.

Ajaib, seperti diurut, cairan kental hitam dan kecokelatan, berbau busuk perlahan-lahan keluar dari luka borok. Nyai Sukma menadahnya dengan kain supaya tidak luber ke mana-mana.

Linggar Arum mengerahkan seluruh kemampuan untuk mengeluarkan semua cairan busuk hingga wajahnya sendiri pun bercucuran keringat. Ini adalah untuk pertama kali dia melakukan pengobatan yang hampir menguras seluruh tenaga dalamnya. Orang-orang istimewa seperti dirinya oleh para tua-tua disebut Dara Kawarasan yang artinya gadis penyembuh.

Setelah satu jam berlalu dan tugasnya selesai, Linggar Arum pun langsung tidak sadarkan diri. Gadis itu terbangun satu hari kemudian dan mendapati dirinya berbaring di samping sang ayah. Senyum semringah pria yang selama delapan belas tahun ini dia kira sudah mati pun menyambutnya.

"Ayah," panggil Linggar Arum sangat lirih.

Mata laki-laki itu berkaca-kaca. "Ayah minta maaf ...."

Linggar Arum berguling ke arah sang ayah, lalu memeluk pinggangnya. "Linggar bangga pada Ayah. Linggar juga ingin seperti Ayah."

"Kamu hebat, ayah juga bangga."

Ayah dan anak itu terus bercengkerama dalam suasana riang tanpa menyadari ada pendengar di luar tenda sesenggukan karena terharu. Nyai Sukma mengusap air mata, lalu masuk untuk bergabung.

Sementara itu, Satoshi Arata dan beberapa pemuda pejuang sedang mengajari beberapa anak membaca. Mereka adalah anak terlantar yang ayah dan ibunya telah menjadi korban perang.

Ketika hari menjelang sore, Linggar Arum dan Satoshi Arata menjelajah sekitar jurang untuk menemukan tanaman obat juga bahan makanan. Keduanya tengah berjongkok sambil menggali.

"Linggar."

"Hm."

Linggar Arum sedang sibuk menggali lempuyang, tidak terlalu hirau saat dipanggil.

Satoshi Arata tidak peduli dan lanjut bicara, "Mau pergi ke Jepang bersamaku?"

Seketika itu juga Linggar Arum mengangkat wajah dan menatap Satoshi Arata yang ada di depannya.

"Tuan, mau pulang?" Nada suaranya biasa saja, tetapi sebenarnya hati sangat sedih.

"Mulai sekarang, panggil aku Satoshi. Dan ya, aku ingin pulang ...."

Menyembunyikan wajah sedihnya, Linggar Arum segera menunduk dan kembali sibuk menggali. "Aku tidak akan ke mana-mana," ujarnya lirih.

"Aku juga masih harus menyelesaikan misi. Pulang, mungkin suatu saat nanti. Tidak tau kapan."

Linggar Arum kembali mengangkat wajah dan bertemu tatap dengan Satoshi Arata. Laki-laki itu tersenyum penuh arti dan entah bagaimana Linggar Arum merasa jiwanya hangat dan tenang. Bahkan wajahnya pun terasa panas.

"Sudah sore. Ayo pulang." Satoshi Arata berdiri, lalu mengulurkan tangan pada Linggar Arum.

Kedua tangan bertaut sepanjang perjalanan, lalu saling  melepas ketika sudah hampir sampai di barak.

Selesai

[1505 kata]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top