2
السَّلاَمُ عَلَيْكُمُ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَ كَاتُهُ
Selamat malam teman-teman semua..
Bagaimana puasa hari ketiganya?
Lancar kan?
Tarawihnya gimana? Lancar juga kah?
Selamat membaca semuanya..
•
•
•
•
Aku terbangun dengan keadaan punggung keram. Bagaimana tidak jika sejak subuh tadi aku tertidur hanya dengan beralaskan sajadah. Bahkan mukenah yang ku kenakan tadi subuh masih melekat di tubuhku.
Aku bangkit, menyingkap gorden jendela kamarku. Sinar Mentari pagi langsung menyapaku. Tak lupa aku bersyukur atas nikmat Allah hingga aku masih bisa menikmati indahnya pagi ini.
Setelah puas menikmati cahaya matahari pagi, aku segera menyambar handuk dan berlalu ke kamar mandi. Satu gayung air dingin mengguyur dari puncak kepalaku.
Brushh..
Alhamdulillah, sejuk sekali rasanya. Tak ingin berlama, aku segera mengakhiri ritual pagiku dan bersiap dengan pakaianku, homedress dan khimar instan kesukaanku.
Sajadah kembali ku gelar, takbir kembali ku kumandangkan. Sunnah dua rakaat di pagi hari memang indah rasanya.
Ketika jam menunjukkan pukul sembilan, barulah aku keluar dari kamar. Menghampiri Ibu yang sedang bertadarus di kursi santai di belakang rumah.
Ku peluk tubuhnya erat dan mendarat ciuman di pipi Ibu. "Nabil berangkat ya Bu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah."
🌷
Siang ini cukup terik. Panasnya seakan menembus kulitku yang sudah tertutup gamis dan khimar. Keringat mengucur deras dari pelipisku.
Dhuhur baru saja aku lakukan. Mesjid masih ramai oleh para jama'ah yang memilih untuk berdiam diri. Sedangkan aku lebih memilih duduk berselonjor di bawah pohon di taman mesjid.
Fitri, sahabatku sejak SMA belum juga terlihat. Padahal tadi katanya sudah di jalan. Sembari menunggu Fitri, aku memilih untuk menggoreskan pensil di atas kertas gambarku, kesukaanku sejak dulu.
Angin tiba-tiba berhembus sepoi, daun-daun kering berjatuhan mengenai kepalaku. Huh, tiba-tiba mataku terasa mengantuk sekali. Kemana sebenarnya Fitri, jalan mana yang ia tempuh hingga saat ini tak kunjung sampai.
"Maaf Bil, mules!"
Seperti hantu, Fitri sudah berada tepat di belakangku. Untunglah aku tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
"Ya sudah, duduklah!" ucapku akhirnya. Fitri ikut berselonjor di sampingku. Nafasnya terdengar tak beraturan, mungkin tadi Fitri berlari untuk sampai di sini.
"Ngapain sih ajak ketemuan segala, biasanya juga langsung nongol gitu aja," protes Fitri. "Ini jamnya tidur siang loh Bil."
"Jangan tidur aja pikirannya, batal loh puasanya," jawabku. Fitri melengos dan aku hanya bisa terkekeh kecil. Setelahnya aku terdiam, mataku sibuk menikmati dedaunan yang terus berguguran akibat terpaan angin.
"Kak Ibrahim apa kabar Fit? Udah nikah?" tanyaku setelah cukup lama terdiam. Percayalah semua kulakukan setelah terjadi perang dunia ketiga diotakku.
"Aku kok cium aroma kecemburuan, ya."
Tuh kan, seperti dugaanku, Fitri pasti menertawakanku atau malah memojokkanmu.
"Apaan sih Fit, emang salah kalau tanya gitu?" elakku. Aku memalingkan wajahku dari Fitri yang terus saja menggodaku melalui tatapan matanya.
"Dulu aja pas SMA nggak ngaku suka sama Kak Ibrahim."
"Udah ah, terserah kamu aja." Aku memilih mengalah dari pada Fitri semakin menyudutkanku. Dalam hati aku merutuki kebodohanku karena sudah bertanya hal itu pada Fitri.
"Dulu aku sempat dengar dari Bang Fariz kalau Kak Ibrahim dijodohkan dengan saudara jauhnya."
Degh..
Tidak. Kenapa lagi dengan diriku, kenapa lagi dengan jantungku.
"Jangan membenci orang terlalu dalam Bil, bisa jadi suatu saat dia akan menjadi orang yang paling kamu sayang. Karena Allah Maha Membolak-balikkan hati manusia."
Aku menunduk, sejak dulu Fitri tak pernah lupa untuk mengingatkanku akan hal itu.
🌷
Keringat sudah sebesar biji jagung menggantung di pelipisku. Panas siang ini benar-benar terik. Air mineral yang ku beli pun sudah tak bersisa. Satu persatu teman-temanku mulai melayangkan protesannya pada sosok lelaki yang kini berdiri angkuh di tengah lapangan basket.
"Tuh orang gila ya, panas ini woy." Sekali lagi protesan di layangkan, tapi kenapa dengan suara sekecil itu, mana mungkin orang di depan sana mendengarnya.
Tubuhku yang sejak semalam memang tidak fit kini semakin menjadi. Tenggorokanku terasa sakit sekali, kepalaku juga rasanya berat. Ingin menepi tapi tidak enak dengan teman-teman yang lain.
"Ya udah, kalian boleh istirahat sejenak. Kita lanjutkan latihan kita setelah ini."
Aku menarik napas panjang. Dengan lunglai melangkah menepi dari lapangan basket. Kini aku hanya bisa terduduk lemas di kursi tepi lapangan.
"Sakit Bil? Pucat gitu loh!" Fitri yang tadi izin ke toilet ikut bergabung bersamaku.
"Nggak papa kok, cuma kurang enak badan aja," jawabku.
"Acara kita besok loh Bil, kamu yakin bakal lanjutin?"
Aku diam, menatap lurus ke arah lapangan basket. Dimana kini Kak Ibrahim, pelatih kami tengah berbincang dengan dua orang temannya.
"Kamu coba lapor Kak Ibrahim deh, minta ganti."
Besok adalah jadwal kelasku untuk menjadi petugas upacara bendera, dan aku di tunjuk sebagai pembaca teks pembukaan UUD 1945.
"Dari pada kamu kenapa-napa nanti, mending undurin diri aja."
Aku menganggukkan kepala, pelan aku bangkit dan berjalan menghampiri Kak Ibrahim di tengah lapangan. "Kak?"
Ketiga orang disana serentak mengalihkan pandangannya padaku. "Bisa bicara sebentar dengan Kak Ibrahim."
Jika saja tidak dalam keadaan seperti ini pastilah aku tak akan pernah mengajak lelaki menyebalkan itu berbicara.
"Ada apa?"
"Sebelumnya maaf kak, saya ingin mengundurkan diri jadi pembaca teks UUD," jawabku. Lelaki itu memandangku dengan sebelah alis terangkat, aku hanya bisa menunduk menghindari tatapannya.
"Kenapa?"
"Saya kurang enak badan, saya takut tidak bisa melakukan tugas saya dengan sempurna," jawabku lagi. Kumohon mengertilah.
"Kamu tetap jadi pembaca teks UUD. Kita tidak punya waktu lagi untuk mencari pengganti kamu, belum lagi saya harus mengajarkannya nanti."
"Tapi..."
Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, lelaki bernama Ibrahim itu sudah berlalu meninggalkanku begitu saja. Gigiku bergemeletuk menahan emosi di dada. Ingin sekali kulemparkan batu kerikil di kakiku ke kepala lelaki sombong itu.
Dengan perasaan kecewa dan amarah yang kupendam aku kembali menghampiri Fitri. Ku hempaskan tubuhku tepat di samping Fitri, tempat dudukku sebelumnya.
"Kenapa? Kok jutek gitu wajahnya."
"Kamu tau si ikan luohan itu jawab apa? 'Saya gak ada waktu buat cari pengganti kamu'," jawabku mencoba menirukan ekspresi Kak Ibrahim yang menjengkelkan itu. Bukannya membelaku, Fitri malah tertawa ngakak hingga beberapa teman sekelasku menatap ke arah kami.
"Ikan louhan? Siapa?"
"Kak Ibrahim lah, kamu gak lihat tuh kening nonjol kayak ikan louhan."
Fitri kembali tertawa, matanya yang sipit semakin menghilang karena tawanya. Tanganku terangkat menutup mulut Fitri, tapi gadis itu sudah lebih dulu menjauh dari jangkauanku.
"Kamu ini ada-ada saja. Lagian kenapa sih benci banget sama Kak Ibrahim? Dia kan baik, care gitu sama semua orang."
"Iya, dia baik sama semua orang kecuali aku. Sikapnya itu selalu menyebalkan setiap kali berhadapan denganku."
Ya Allah, bisakah Engkau menghilangkan manusia satu itu dari atas muka bumi ini. Kumohon.
•
•
•
•
Jadi gimana kak? Masih ingin lanjut?
Setelah baca jangan lupa jejaknya ya kak! 😁😁
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Mira yulianti
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top