Unterschiedlich
Suara dentingan garpu dan sendok yang beradu dengan piring kaca berwarna putih menggema di seisi ruangan UKS. Hanya itu yang menemani kami sedari tadi. Dia memilih untuk menyuapiku dalam keheningan dan aku pun bisa menangkap guratan penuh emosi dari raut wajahnya. Aku tahu, dia marah.
"Kamu bandel banget, sih! Berapa kali aku bilang kalau kamu tuh gak boleh kecapean, ini malah ikut olahraga.." Suaranya yang terdengar kesal mulai menyembur keluar, kala aku mengelak dari suapan terakhirnya. Aku kenyang, tau.
"Tadi olahraga basket, Rav. Kamu tau sendiri kalau aku suka basket." Tukasku, meraih secangkir air putih lalu meneguknya hingga setengah.
"'Kan kamu gak boleh kecapean, kamu gak bisa ikut-ikut yang berat gitu. Lihat aja, baru dribble bola dua kali bolak-balik lapangan aja udah pingsan!" Ravi mendecih kesal, menurunkan sendoknya dari depan wajahku.
"Tau mah yang kuat," Aku mencibir rendah, seraya menjulurkan lidahku kearahnya.
"Ini tuh gak ada hubungannya tentang siapa yang kuat, siapa yang lemah. Ini tentang kesehatan kamu. Kamu pikir aku gak khawatir liat kamu jatuh pingsan mendadak kayak tadi?"
"Emang kamu khawatir sama aku?" Selaku cepat
"Kapan aku gak peduli sama kamu, hm?"
Arana calm down Arana ...
Ahh nggak bisa!
Jantungku udah berdegup kencang bukan main, rasanya kayak jantungku pengen keluar dari sarangnya dan yang aku takutkan adalah Ravi bisa mendengar bunyi detak jantungku yang berdetak kencang. Astaga Arana ... Lemah banget sih, gini aja udah baper.
"Udah jangan blushing-blushing anjing gitu!" Ravi menjewel pipi kiriku, yang mana malah membuat pipiku semakin merona. Ish.
"Siapa juga yang blushing!"
"Lah itu merah, apa namanya kalau gak blushing? Haha.."
Tawa Ravi menyembur keluar, dan entah kenapa terasa renyah di pendengaranku. Ketawa aja bikin baper, Ravi oh Ravi..
"Udah gak marah nih?" tanyaku sok galak, padahal mah di dalam hati lagi meleleh gak karuan.
"Lah, emang aku marah sama kamu?"
"Kamu kira aku gak tau? Aku gini-gini hapal tau tabiat kamu."
Ravi tertawa lagi, "Nggak marah lagi sih, asal kamu janji gak ikut olahraga berat-berat kayak gitu lagi. Gimana?"
Aku meletakkan jariku di dagu lalu mengetuk-ngetuknya layaknya seseorang yang sedang berpikir, "Em, gimana ya..., Boleh deh."
"Janji?" Ravi mengacungkan jari kelikingnya kearahku.
Aku menatapnya sejenak lalu mengaitkan jari kelingkingku di sela jari kelingking milik Ravi.
"Janji. Arana's Promise!"
Ravi mengacak-ngacak rambutku gemas yang mana berakibat hebat pada kinerja otot jantungku serta desiran darahku yang bergejolak. Ya Tuhan..
Setelah berikar janji, tiba-tiba Farhan, teman satu tim basket Ravi masuk ke dalam ruang UKS. Farhan bilang, Ravi dipanggil untuk ambil nilai basket. Aku yang mendengarnya, pun membalikan badan membelakanginya dan merengut. Gak suka deh kalau harus sendirian. Apalagi ditinggal Ravi. Ravi kalau peka, harusnya dia susulan bareng aku dan tetep nemenin aku disini. Itu sih, kalau dia peka.
"Bilangin dong, gue pas istirahat ambil nilainya. Sekarang masih nemenin Ara dulu." Tangan Ravi menyentuh rambutku lembut. Mengusap kepalaku pelan dan sayang. Membuat jantungku berpacu terus.
Kepergian Farhan meninggalkan keheningan di dalam ruangan ini. Sebenarnya, Ravi bisa dengar degup jantung ini gak sih? Rasanya degup ini terlalu kencang dan terdengar jika keheningan terus menyelimuti.
"Tumben milih aku dari nilai. Biasanya milih nilai." Sindirku untuk memecahkan keheningan.
"Abis tadi aku denger ada yang ngancem mau ngacangin aku seharian. Aku sih milih susulan dibanding..."
"Dibanding dikacangin aku?" Selaku cepat. Kubalikan badanku agar bisa melihat wajahnya yang sempurna.
"Dibanding harus disihir nenek lampir kayak kamu." Ravi menjawil hidungku. Membuatku memberengut kesal. Kebisaan deh dia. Jawil saja hidungku terus.
"Tau deh yang hidungnya mancung." teriakku kesal yang membuatnya menarik hidungku.
"Biar mancung." kekehnya menyebalkan.
Aku selalu suka dengan tingkahnya. Awalnya, aku hanya menganggap Ravi sebagai kakak. Tetapi lambat laun, tumbuh benih-benih cinta di hatiku.
Ravi yang perhatian. Ravi yang khawatiran. Ravi yang selalu ada. Ravi yang dewasa. Bahkan Ravi yang jahil pun aku suka.
Jangankan bersentuhan dengannya, mencium bau khas miliknya saja sudah membuat jantungku berpacu. Deket-deket sama Ravi mah bikin candu.
"Kamu minum vitamin terus tidur ya. Sejam lagi aku bangunin buat ambil nilai." Usapan lembutnya membuat mataku terpejam. Menikmati degup jantung dan rasa nyaman ini.
"Persis kucing deh kamu tiap gini." Vitaminku berpindah tangan ke aku. Segera kuemut vitamin yang diberikan.
Tanganku menyentuhnya. Dia tersenyum dan menggenggam tanganku erat. Tanda kalau dia akan menunggu diriku. Senyumku mengembang dan mulai tidur sambil mendekap tangannya.
Bukan sekali dua kali aku dijaga karena tidak sekuat dirinya. Sudah berkali-kali. Jadi dia hafal dengan tingkahku saat sakit. Tidak, semua tingkahku. Sama seperti aku mengerti semua tingkahnya.
Lagu nina bobo mengalun lembut dari suara baritonnya yang merdu. Seperti biasanya, dia selalu menyanyikan aku sampai...
Gelap. Aku sudah masuk ke dalam dunia mimpi yang indah. Terlelap dalam tidurku yang masih mendekap tangan Ravi erat.
***
"Rav, kemana aja? Daritadi aku tungguin, is!" Aku menghentakkan kakiku kesal, menatap Ravi yang baru saja muncul di hadapanmu dengan ngos-ngosan.
Ravi mengatur napasnya terlebih dahulu, seraya tangannya bertopang di kedua bahuku. "Sorry, Ra.."
Aku tidak menggubris, masih menunggu kelanjutan dari apa yang ingin Ravi katakan.
"Ra, aku minta maaf. Minta maaf banget. Hari ini aku gak bisa anterin kamu pulang soalnya...,"
"Sekarang 'kan hari Kamis, kamu nggak ada jadwal gereja, 'kan? Kenapa mendadak gak bisa kayak gini?" Aku menyela cepat, sedikit jengkel pada Ravi yang dengan seenaknya membatalkan rencana pulang bersama.
Ravi menurunkan tangannya dari bahuku, lalu menegapkan bahunya. "Aku emang gak ada jadwal gereja hari ini, tapi gak tau kenapa Mama nyuruh aku cepat pulang soalnya ada hal penting yang mau Mama sampain ke aku, katanya."
Aku menghela napas jengah, aku juga tidak bisa memaksa Ravi kalau sudah kayak begini. Pupus sudah harapan berduaan sama Ravi hari ini, huft.
"Maaf ya, mufffinku! Cuma kali ini aja, kok. Besok-besok aku janji kita pulang bareng kayak biasa."
Aku mengangguk, masih sedikit kesal juga, sih. "Iya-iya."
"Omong-omong, kamu pulang sama siapa, Ra?" tanya Ravi. "Eh gak boleh pulang sama cowok lain ya, Ra. Awas aja kalau berani."
"Kalau berani, gimana?"
"Aku cium, mau?" Ravi mengerlingkan matanya seraya menyeringai.
"Ga."
"Makanya jangan bandel sama cowok lain. Bandelnya sama aku aja." Ravi mengedipkan sebelah matanya, yang langsung aku hadiahi cubitan keras di pinggangnya, sampai ia mengaduh sakit. Rasain.
"Eh, lo!" Di tengah-tengah raungan kesakitannya, Ravi memanggil salah satu teman sekelasku yang kebetulan baru aja lewat.
"Gue?" tanyanya
"Iya, elo, Niken.."
Niken mengangguk dan berjalan mendekatiku dan juga Ravi.
"Ken, lo bawa mobil, 'kan? Gue titip Ara dong ama lo, tolong anterin Ara sampai depan gerbang rumahnya dengan selamat sentosa tanpa ada lecet secuilpun. Gue ada urusan penting, jadi gue gak bisa anterin dia pulang. Masalah uang minyak, ntar gue ganti deh, dua kali lipat." kata Ravi panjang lebar tanpa menggunakan jeda barang sedikitpun.
Baik aku maupun Niken sukses menganga mendengar cerocosan Ravi.
"Gimana?" tanya Ravi keki melihat wajahku yang serupa dengan Niken, sama-sama menganga parah.
"Lebay banget ah, Rav! Malu aku.." kilahku
"Bodo, yang penting kamu selamat sampai tujuan.." Ravi beralih menatap Niken. "Gimana, Ken? Bisa nggak?"
"Gue sih oke-oke aja." Jawab Niken
"Ah makasih Niken yang cantik hari ini," Ravi yang entah spontan atau tidak langsung mencubit kedua pipi Niken.
Yang mengundang api cemburu di dalam hatiku. Dasar cowok genit!
"Udah pulang sana, Ra. Hati-hati ya di jalan, ntar kalo udah sampai, hubungin aku." Kata Ravi setelah puas mencubit pipi Niken yang chubby nya minta digigit.
Karena masih kesal dan sekaligus nyesek, aku langsung mengandeng Niken untuk melesat pergi. "Bye!"
***
-RAVI POV-
Aku bingung dengan permintaan Mama yang mendadak. Biasanya, Mama selalu memintaku dari paginya, atau sehari sebelumnya. Tapi hari ini, Mama baru saja menelponku untuk pulang. Untungnya, Ara pulang dengan Niken. Bukan dengan cowok lain. Jadi aku bisa sedikit tenang.
"Rav, kamu mandi terus ganti baju ya? Pake baju semi formal. Nanti ada temen Mama mau dateng. Mau makan malem bareng." Ucap Mama yang segera kulaksanakan. Tumben makan malem pake baju semi formal.
Tepat pukul tujuh malam, Mama masuk ke dalam kamarku. Menyuruhku ikut makan bersama. Aku turun ke bawah, menatap satu persatu tamu yang sedang duduk di meja makan dan tatapanku jatuh pada gadis yang tadi siang mengantar Ara pulang.
"Loh ada Niken? Kenapa, Ken?" Tanyaku lembut karena Niken tampak gelisah. Niken hanya menatapku lalu menggeleng pelan.
Tak terlalu kuhiraukan, aku segera duduk di meja makan. Papa duduk di sebelah kiriku dan Mama sebelah kananku.
"Kita mulai saja ya acaranya?" Ucap Mama yang mendapat respon anggukan dari keluarga Niken.
Alisku bertaut bingung, acara?
"Iya Mbak, langsung mulai. Aku lihat anakmu yang ganteng ini langsung suka loh." Canda seorang wanita paruh baya yang kurasa itu Mama Niken. Tawa menyembur dari mulut semua orang. Tidak, aku dan Niken tidak tertawa.
"Yowes, ini Ravi pasang cincinnya di jari Niken." Mama memberikanku cincin yang kutolak mentah-mentah. Jadi aku dijodohkan dengan Niken? Gak, gak mungkin.
"Maksud Mama apa? Kenapa mendadak gini? Terus ini...,"
"Loh, Ravi, bukannya perjodohan ini udah kita bahas dari dulu, ya? Dan kamu enteng-enteng aja pas topik itu kita bicarain, dulu. Masa kamu gak ingat?" jelas Mama
Memori otakku langsung terputar dan terhenti di peristiwa lima bulan yang lalu, dimana Mama dan Papa membicarakan tentang aku yang akan dijodohkan dengan anak teman Papa. Aku kira itu Cuma lelucon basi yang dilontarkan Papa, ternyata...
"Ma, kan Mama tahu kalau aku suka sama..." ucapanku segera disela Mama dingin.
"Sama siapa? Arana? Kamu dewasa dong, Ravindra sayang. Kamu sama Arana itu beda. Beda banget. Kalian gak bisa bersatu. Buat apa kamu ngayal gitu?"
Aku langsung menggebrak meja kesal, mengundang seluruh perhatian tertuju padaku, termasuk Papa.
"Tapi Ma, aku gak bisa. Aku udah gede, aku bisa cari pasangan aku sendiri tanpa harus dijodohin secara paksa dan apa-apaan ini tiba-tiba ada cincin, hm? Setau aku, aku gak pernah menyetujui hal ini, ya."
"RAVI!" Papa menggeram. "Jaga sikap kamu! Jangan bikin Papa malu!"
"Mama tau kamu udah besar, Rav. Mama tau gimana perasaan kamu ke Ara, tapi gimanapun, kalian gak bisa nyatu. Perbedaan kalian fatal dan Mama gak akan biarin kamu pindah agama hanya karena cinta, Rav."
Aku menghentakkan napas kesal, menelengkupkan sendok dan garpuku dengan rusuh sehingga membuat sepotong ayamku terlempar keluar dari piringku. Selanjutnya, tanpa mempedulikan sopan santun, aku meninggalkan meja makan tanpa sepatah katapun. Dan aku sempat melihat Niken yang menundukkan kepala dengan bahu yang sedikit bergetar. Ngh...
***
Katakan aku pengecut, pecundang, dan hal-hal buruk lainnya. Semenjak kejadian malam itu, aku benar-benar tidak nyaman berada di satu ruangan dengan Ara dan aku cenderung menjauhi gadis itu. Dan sepertinya Ara menangkap sinyalku, itu terbukti saat ia beberapa kali menanyakan hal yang sama berulang-ulang kali.
Aku hanya.. Bingung. Disatu sisi, apa yang dikatakan Mama benar adanya, sekuat apapun cintaku padanya, perbedaan diantara kami tidak akan mampu untuk menyatukan kami.
Dan.. Bukankah perbedaan itu indah? Kenapa perbedaan yang aku alami cenderung mengurungku di dalam jurang kesengsaran?
Kenapa dengan perbedaan, aku harus melepas dia yang aku cinta?
Argh!
Aku melayangkan tinjuku pada salah satu pilar sekolah. Rasa sakitnya tidak sebanding dengan sakit yang kini mendekam di hatiku. Pasalnya, menjauhi orang yang aku cinta itu benar-benar menyiksa batinku.
Ya Tuhan...
"Bukannya kita udah sepakat buat berbagi masalah? Kenapa kamu nggak cerita ke aku? Kenapa kamu malah nyakitin diri kamu sendiri? Bikin luka tangan kamu sendiri?" suara seseorang yang sudah aku rindukan selama seminggu ini menggema di pendengaranku. "Aku disini, Rav. Tolong jangan menghindar lagi. Aku siap buat dengarin masalah kamu, apapun itu."
Ya Tuhan..
Apa bisa aku menjauhi gadis seperti dia lebih lama lagi?
"Aku cuma kesal sama ulangan fisika tadi." Aku tersenyum. Berusaha meyakinkan Ara. Ara hanya menatapku. Kujawil hidungnya lalu merangkulnya.
"Ra, tumben diem aja" kulihat Ara yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Jangan-jangan Ara nyari cara biar tahu apa yang aku tutupi.
"Ah iya, aku laper." Jawab Ara singkat yang membuatku menghela nafas lega. Langsung saja aku menarik tangannya ke tempat langganan kami.
Setiba disana, kami makan dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing masing.
"Ra? Diem aja?" Tanyaku lagi.
"Lagi makan ga boleh ngomong." jawab Ara yang membuatku terbahak.
"Ini ngomong.." kucubit pipinya gemas yang membuat dirinya mencak-mencak menggemaskan.
Maaf ya Ara. Gue ga bisa jujur sama lo...
"Rav.." aku menoleh ke sumber suara yang lain, suara yang terdengar bergetar.
"Niken?" Aku membelalakkan mataku lebar, melihat wajah Niken yang memerah.
"Maaf, aku gak bisa. Aku udah coba, tapi..., tapi..., gagal, Rav. Mereka...," tangis Niken pecah, membludak seperti nuklir dan aku yang mengaku sebagai lelaki gantle pun segera menenangkan Niken. Bagaimanapun, semua ini bukan salah Niken. Niken dan juga aku sudah berusaha untuk menentang, namun takdir berkata lain.
"Gak apa-apa." Balasku pelan.
Aku melihat Ara yang langsung beranjak dari kursi, menatapku sengit. Meski tatapannya terlihat sangat tajam dan menakutkan, tapi aku bisa melihat kilatan kesedihan dibalik netra cokelatnya. Dan akhirnya, ia memilih pergi. Meninggalkan aku. Meninggalkan cinta yang telah tumbuh. Tanpa ada aku yang akan selalu mengejarnya, lagi. Semuanya udah berbeda, mulai sekarang.
"Kenapa nggak dikejar?" tanya Niken disela-sela tangisnya.
Aku tersenyum getir, "Buat apa? Semakin gue kejar, gue ataupun dia sama-sama lebih tersiksa. Gue biarin dia pergi, gue melepas dia bukan karena gue gak sayang sama dia. Gue melepas dia agar dia menemukan sosok yang benar-benar mampu berada disisinya. Berjalan beriringan dengan dia. Tanpa ada perbedaan yang menghalang. Jadi..., biar laki-laki lain yang mengejar dia disaat dia pergi seperti itu. Gue cukup menjaga dia dari jauh."
"Ara beruntung dicintai sama cowok kayak lo." lirih Niken.
Aku cuma tersenyum menanggapinya, seraya memandangi punggung gadis yang aku cinta semakin mengecil dan menghilang di telan hiruk-pikuk pengunjung mall.
***
-ARA POV-
Setelah kebohongan tentang ulangan fisika yang nyatanya gampang banget, Ravi asyik melakukan drama di hadapanku. Drama percintaan dengan Niken. Apa sih maksud mereka.
Aku segera pergi. Sakit kalau harus di sana dan melihat cowok yang dicinta malah asyik bermesraan sama cewek lain. Sialan tuh dua orang.
Aku menatap belakang. Berharap ada Ravi. Ravi selalu mengejarku saat seperti ini. Tapi sekarang... tidak. Cih, habis manis sepah dibuang.
Diluar hujan, tapi aku tetap berjalan menyusuri trotoar pinggir jalan sambil menangis sedih. Tuhan, kenapa harus seperti ini?
Air mataku tumpah. Dadaku terasa sakit. Asma yang kuderita tiba tiba kambuh saat aku sampai di depan gerbang rumah. Bun, tolong Ara... Ara gak kuat....
"Ya Allah Ara!" Suara Bunda. Syukurlah. Lalu semua hitam.
Aku membuka mata dan menyadari kalau aku sudah berada di dalam kamar. Aku berusaha mengingat semuanya. Dadaku sesak lagi. Aku menangis berusaha menggapai inhalerku.
Bunda berlari ke arahku dan memberikan inhalerku. Perlahan nafasku kembali normal.
"Ara kenapa?" Tanya Bunda lembut. Aku hanya menangis dan menggeleng sebagai jawaban. Bunda menghela nafas. Tahu akan sifat anaknya yang keras kepala. Ya, aku keras kepala.
Dalam kesendirian ini, tiba-tiba aku merasa harus mencari tahu semuanya.
Setelah 2 hari aku istirahat di rumah, aku masuk sekolah. Tujuan pertamaku tentu saja Ravi.
Kutunggu Ravi agar dia memberikan penjelasan tentang semuanya. Tapi nihil. Sampai jam delapan, Ravi tak hadir.
"Ravi izin ya. Ayahnya sakit keras." Ucap walikelas ke sekretaris kelas yang dapat kudengar.
Ayah Ravi, Om Wisnu sakit keras? Sejak kapan? Kenapa Ravi gak pernah cerita soal ini? Kenapa Ravi jadi tertutup gini ke aku? Apa karna gadis semalam?
Kenapa banyak pertanyaan yang gak bisa terjawab muncul di benakku?
***
-AUTHOR POV-
Ravi, Niken, Tante Wira, beserta keluarga Niken bejejer mengelilingi bangkar Om Wisnu. Raut wajah mereka memancarkan rasa khawatir yang nyata. Terlebih Ravi yang kalut melihat Papanya jatuh tersungkur begitu saja di teras rumah, tadi pagi.
"Papa?" Ravi mendekat, lalu menggenggam spray bangkar Om Wisnu. Rasanya sakit melihat beliau yang sudah tua harus sakit-sakitan seperti ini.
"Kamu gak sekolah, Rav?" Tanya Om Wisnu sedikit terbata-bata.
"Aku gak mungkin ninggalin Papa yang kayak gini. Aku lebih mentingin Papa daripada pendidikanku."
Om Wisnu mengulas senyuman simpul. "Kamu satu-satunya anak Papa. Pendidikan kamu itu nomor satu! Kamu harus jadi orang sukses dan buktiin ke Papa kalau kamu lebih hebat!"
Ravi mengangguk lemah, hatinya semakin tercubit melihat berbagai macam selang bercumbu dengan kulit Papanya yang sudah mulai keriput.
"Rav, Papa mohon.. Menikahlah dengan Niken. Niken itu orang baik, nak. Dan kamu tau 'kan Papa sangat ingin berbesan dengan Om Tomi?" Om Wisnu mengalihkan pandangannya ke sahabat kecilnya, Om Tomi, Ayah dari Niken.
"Papa tau, Papa nuntut terlalu banyak sama kamu. Menikah ini bukan hal yang main-main dan Papa dan Mama sudah memikirkan hal ini pula matang-matang. Papa menjodohkanmu dengan perempuan baik-baik pilihan Mama dan Papa, nak. Tolong mengerti, kami ingin yang terbaik untuk kamu.."
Rasanya ... Seperti sebongkah batu besar menghimpit dadanya, mengoyak hatinya dan meluluh-lantakkan segala persendiannya. Ravi tidak mungkin bisa mengelak disaat-saat yang seperti ini dan Ravi juga tidak bisa memaksakan takdir agar sesuai dengan kemauannya. Tapi, menikah dengan seseorang yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya..? Lelucon macam apa, sih? Lalu nasib Ara....
Ya Tuhan, kenapa semakin rumit...
"Rav?"
"Iya, Pa. Ravi siap. Ravi siap menikahi Niken." Jawab Ravi akhirnya yang berakhir dengan helaan napas panjang.
Mungkin ini yang terbaik, semoga saja, batin Ravi.
Dan tanpa diketahui oleh Ravi, di ambang pintu sana, seseorang yang ia cinta tengah menyaksikan kejadian mengharukan itu dengan sekumpulan air mata yang menemani.
Ara bergetar mendengar kenyataan pahit yang dia dapat. Ara berharap ini hanya mimpi. Terlalu takut untuk memastikan ini mimpi atau tidak karena kalau memang ini asli kenyataan, ia akan semakin sakit.
Ara ingat dengan ucapan Ravi saat pelajaran Bahasa Jerman setahun silam.
"I unterscheiden sich mit der Ara. Ara Frauen, während ich bin ein Mann."
Ucapan konyol Ravi yang sukses membuatku tertawa. Aku berbeda dengan Ara. Ara wanita, sedangkan aku pria.
Ya, Ara sadar kalau dirinya dan Ravi berbeda. Bukan karena jenis kelamin. Tetapi agama. Hal yang dari awal memang menghambat cinta mereka.
Perbedaan itu memang indah. Tetapi untuk perbedaan sekali ini, jawabannya tidak sama sekali.
Ara dan Ravi memang terlahir untuk berbeda. Bertemu hanya untuk memetik pelajaran bagaimana cara mencintai dan mengiklaskan rasa cintanya.
Ravindra Alvaro yang artinya kekuatan matahari yang melindungi serta berani dengan Arana Laila Putri yang artinya perempuan yang memiliki keindahan bulan di malam hari.
Ravindra Sang Matahari dan Arana Sang Bulan. Saling melengkapi dan berkorban tanpa bisa bersatu. Takdir mereka sudah tertulis sejak awal lahir.
Ara tertawa sekaligus menangisi kebodohannya. Sedangkan Ravi yang akan menikah tanpa rasa sayang. Karena rasa sayang Ravi hanya untuk Ara tanpa bisa memiliki Ara. Keduanya sakit. Tapi tak bisa berbuat apapun.
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top