XII. Iblis

Tangisan awan yang muncul sejak pagi buta membuatku tidak bisa keluar dari rumah. Padahal ini musim panas, tapi kenapa hujan harus muncul di saat yang tidak kuinginkan? Rencanaku untuk pergi menemui Fame di rumah kaca pun gagal.

Sebenarnya, aku sendiri pun tidak tahu apakah pria itu akan muncul di sana atau tidak karena ia tidak mengatakan apapun lagi setelah mengantarkanku pulang. Ia seolah pergi tatkala misi yang dibebankan padanya telah selesai. Mungkin ia akan mengirimiku lagi surat melalui kupu-kupunya yang meledak itu … mungkin.

Suasana hatiku jauh lebih baik dari pada kemarin walau masih ada beberapa hal yang mengganjal dalam benak. Aku baru menyadari satu hal saat sarapan, surat dari Fame yang kukantongi hilang entah kemana. Aku bertanya kepada Dorothy. Akan tetapi, wanita bertubuh tambun itu menjawab jika ia tidak menemukan secarik kertas apapun ketika mencuci pakaian.

“Dorothy, kemana Lana? Kenapa ia belum muncul?” tanyaku sebelum meluncurkan sepotong kecil kue ke dalam mulut.

“Lana sedang berbelanja, Nona,” jawabnya singkat.

Fokusku tertuju ke luar jendela, memperhatikan percikan air yang menempel di kaca jendela ruang ini dan Rino yang sedang menggosok-gosok leher kuda di istal. Bibirnya tampak bergerak bak sedang berbicara, memperlakukan kuda itu selayaknya sahabat yang bisa mendengar ucapannya. Ia sangat aneh dan aku sudah terbiasa.

Aku memicingkan mata, menatap Dorothy. Ia berbohong. Reaksinya pun seperti orang yang sedang berpura-pura bodoh.

“Kemana Lana?” ulangku.

“Lana pergi berbelanja bersama Tu—”

Aku bangkit, pergi dari ruangan sebelum Dorothy menyelesaikan kalimatnya. Aku sudah tidak mempercayainya lagi. Hanya karena ayah pergi kerja, ia akan bilang kalau Lana juga pergi bersama ayah. Wanita tua itu sangat hebat sekali berdalih, sama seperti Lana. Mereka berdua menyebalkan.

Dengan langkah cepat, aku pergi menuju kamar. Niat untuk menghabiskan waktu dengan bermain bersama Glu kini telah mantap. Namun, ketika aku membuka pintu, pandangan mata tiba-tiba berputar, kepala berdenyut hebat. Kedua telingaku berdengung sebelum kehilangan keseimbangan. Lutut mendarat ke permukaan lantai kayu dan kedua telapak tangan ikut menyentuh lantai, menahan bobot tubuh.

Aku mendongkak, menyaksikan sosok pria bertubuh tinggi besar berjubah hitam tengah berdiri gagah. Ia melotot, mengintimidasi dengan mata yang memiliki iris berwarna merah menyala dan sklera hitam legam. Napasku memburu. Ada sebuah tanduk berpilin yang mencuat dari keningnya. Pria itu adalah iblis!

Ia melangkah mendekat, membawa atmosfer yang sangat mencekam. Suara hujan tidak terdengar, angin pun tidak berhembus. Semuanya berhenti, kecuali diriku dan iblis itu. Ia mengeluarkan pedang hitam yang disembunyikan dari balik jubah. Tubuhku bak membeku.

“Di mana penghianat itu? Cepat katakan,” ucapnya sembari menodongkan bilah pedang ke leherku.

Aku mengalihkan pandangan dari matanya, menunduk, menyaksikan sepatu besi yang ia kenakan. “A-apa yang k-kau maksud? Si-siapa kau?”

Pria bertanduk itu kemudian menginjak tangan kiriku. Aku menjerit, mengharapkan seseorang datang. Rasa sakit di tangan menjalar ke otak, lantas merambat ke seluruh tubuh.

“Kau berani bertanya balik kepadaku? Cepat, katakan di mana si penghianat itu!” serunya dengan nada yang lebih tinggi.

“Singkirkan kaki itu dari tanganku!” aku mendongkak, menatap kembali matanya, ”sudah kubilang aku tidak mengerti apa yang kau maksud! Siapapun penghianat itu aku tidak peduli, cepat singkirkan kaki itu dari tanganku!”

Pria yang tidak kuketahui identitas, maksud, dan tujuannya itu mengangkat pedang, memisahkan kepalaku dari tubuh dalam sekejap.

***

Seseorang mengunjang tubuhku. Cairan hangat terasa mengenai lutut.

“Nona, sadarlah!”

Aku mengerjapkan mata, melihat sosok pembantu tua di rumah ini panik. Aku sedang memegang telinga cangkir berisi teh, suasana di luar masih sama seperti sebelumnya, hujan. Jantungku masih berdetak kencang.

“A-apa yang telah terjadi tadi? Mimpi?” gumamku.

Dorothy mengangkat tangan kanan, mengacungkan jari telunjuk, jari tengah, serta jari cincinnya. “Nona, cepat katakan ini ada berapa? Ayo, Nona!”

Aku menarik napas panjang dan membuangnya, mencoba menenangkan diri terlebih dahulu. Dorothy sekarang mengguncang tubuhku kembali. Ia lebih panik dari sebelumnya.

“Diamlah Dorothy!”

Wanita bertubuh tambun itu melepaskan tangannya dari kedua pundakku. Aku menyimpan cangkir teh ke atas meja lalu meraba leher. Masih tersambung, tidak ada bekas luka. Kue yang kumakan sebelumnya masih utuh, tetapi gaun yang tengah kukenakan terkena noda teh. Aku masih hidup!

Rintik air dari langit turun semakin deras, menyapa indra pendengaran dengan melodi indahnya. Dorothy masih kebingungan. Meski tidak terlalu jelas, aku masih bisa melihat sosok Rino yang sedang berada di istal bersama kudanya dari ruangan ini.

“Apa yang telah terjadi, Nona? Kenapa Anda tiba-tiba saja terdiam dan melamun?” ucap Dorothy sebelum membuang napas panjang. “Tolong jangan buat saya khawatir, Nona.”

“Maaf, aku hanya memikirkan sesuatu.”

“Pasti Nona sedang memikirkan tentang pesta tiga hari lagi, kan?”

Aku mengangguk. Aku sendiri baru ingat jika tiga hari lagi pesta akan digelar. Padahal rasanya baru kemarin aku mengkhawatirkan akan seperti apa aku, yang sudah dua tahun tidak mengikuti pesta apapun saat nanti berada di pesta itu.

Dorothy tersenyum. “Tidak apa, Nona. Jika bersama tuan, semuanya pasti akan baik-baik saja. Percayalah kepada saya yang sudah melayani keluarga ini selama bertahun-tahun.”

Aku mengangguk. Untunglah Dorothy menganggapku sedang memikirkan pesta. Aku tidak ingin ia tahu kalau aku telah melihat seorang iblis di dalam mimpi tadi. Mimpi? Aku sendiri tidak yakin apakah itu mimpi atau bukan. Aku masih mengingat sensasi ketika bilah besi yang tajam itu memotong leherku …. Semoga saja itu hanyalah mimpi.

“Semua akan baik-baik saja selama kita terus berpikir yang baik-baik. Tuan juga akan melakukan segala hal untuk melindungi Nona jika terjadi apa-apa. Maka dari itu, semangatlah, Nona.”

Padahal baru saja tadi aku memutuskan untuk tidak percaya kepada Dorothy. Ia benar, aku harus berpikir yang baik-baik.

Aku mengambil kembali cangkir teh, mulai menyeruputnya.

“Setelah ini, mari kita ganti pakaian yang terkena noda itu, Nona.”

Aku tersedak, terbatuk-batuk. “Ti-tidak perlu, Dorothy.”

Dorothy mengusap-usap punggungku. “Semakin cepat kita mencucinya, semakin mudah pula noda itu untuk dihilangkan. Nona tidak ingin, kan, jika gaun putih favorit Nona itu memiliki noda yang terus menempel dan tidak enak dipandang?”

“Tapi ….” Aku kembali mengingat sosok iblis yang muncul di kamar. Aku tidak bisa membiarkan Dorothy masuk ke kamar itu.

“Tapi kenapa? Apakah ada hal yang sedang Nona sembunyikan?” selidiknya. Setelah beberapa saat, Dorothy pun menepukan tangan sekali, “Ah ... Nona pasti membuat kamar Nona berantakan. Tidak apa, saya akan merapihkannya kembali. Nona tidak perlu khawatir akan hal itu.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. “Bukan begitu, tapi …”

“Tapi?”

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Inilah hal yang tidak kusukai dari Dorothy. Aku tidak tahu apa yang pas untuk dijadikan alasan agar Dorothy tidak masuk ke kamar.

“Kalau begitu, saya akan mengambil pakaian Nona sendiri saja. Nona tidak keberatan, kan, jika ganti baju di kamar mandi?”

Aku meminum teh sampai habis lalu berdiri. “Baiklah! Aku ikut denganmu. Kita akan ke kamar sekarang juga.”

Aku dan Dorothy melangkah menuju kamar. Jatungku berdebar kencang disertai keringat dingin yang muncul di kening. Aku melipat tanganku agar Dorothy tidak menyadari bahwa tanganku sedang bergetar. Aku takut jika mimpi atau mungkin khayalanku tadi menjadi kenyataan.

Kaki kami kini mulai menapaki anak tangga. Aku merasa seperti menghitung mundur ajal yang mungkin akan datang. Jantungku berdebar semakin kencang dan peluh yang tercipta di kening pun semakin mengucur deras.

“Dorothy, kau yakin mau masuk ke kamar?” tanyaku ketika sampai di lantai kedua.

“Nona, wajah Anda tampak pucat. Ada apa sebenarnya?” tanyanya balik.

Aku menggeleng. Kami pun kembali melanjutkan langkah. Detak jantung, peluh di kening, dan getaran tubuh yang tercipta tanpa disengaja terasa semakin tidak karuan. Saat telapak tangan Dorothy mendaratkan di atas gagang pintu, aku menutup mata. Takut jika iblis itu menyambut dengan pedang hitam nan tajamnya. Aku membatu, napasku memburu.

Suara derik pintu menusuk telinga. Aku membuka sebelah mata, memastikan apakah pembantu bertubuh tambun itu baik-baik saja.

“Tidak ada apapun di sini, Nona. Semuanya seperti biasa.”

Aku masuk ke kamar, berdiri di tengah ruangan, lalu menatap setiap sudut kamar. Ia benar, tidak ada hal yang mencurigakan di sini, bahkan sosok iblis yang telah menebas leherku juga … tidak ada. Syukurlah. Sekarang aku yakin jika itu hanya mimpi. Ya, itu pasti hanya mimpi!

“Sebenarnya apa Nona takutkan?”

“Bu-bukan apa-apa. Sepertinya aku terlalu memikirkan apa yang seharus tidak kupikirkan.”

***

Ayah, Lana, dan Freed pulang ketika langit sudah kembali ceria, membawa gradasi warna jingga bersamanya. Dorothy ternyata tidak bohong kepadaku, Lana memang pergi bersama ayah ke kota. Aku terlalu tidak mempercayainya

Ayah membelikanku kalung permata jamrud. Warnanya mirip seperti mataku, memiliki pola bak pusaran air, serta kedua ujung bingkai peraknya memiliki motif merpati yang tengah mengepakan sayap. Ayah membutuhkan bantuan Lana karena ayah bilang kalau ia payah dalam memilih perhiasan. Aku berterima kasih kepada mereka berdua. Ayah berpesan agar aku menjaga kalung ini dengan baik. 

Aku dan ayah pun menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga setelahnya. Jam terasa bergulir begitu cepat kala ayah menceritakan tentang pegawai pabrik yang lamban menguasai mesin pembuat kain yang lebih mutakhir. Keluhan ayah tentang pabrik selalu terdengar menarik.

Jam berdentang ketika menunjukan pukul enam, waktunya jam makan malam. Kami pergi menuju ruang makan setelah Lana memberi tahu bahwa meja makan telah disiapkan. Ayah mengelus kepalaku dengan lembut. Percakapan kami pun terhenti ketika Dorothy tiba dari dapur, mendorong troli makanan.

Aroma mentega yang gurih membelai indra penciuman. Dorothy menghidangkan French Toast ke atas meja. Aku dan ayah mengangkat alat makan dan mulai memotong roti panggang renyah dengan siraman sirup maple itu, menusuknya dengan garpu, dan mulai memasukannya ke dalam mulut. Rasa manis sirup, creamy-nya mentega, dan tekstur roti yang lembut saling berkolaborasi, membuai indra pengecap terpana.

Kami menyantapnya sampai habis, mengambil gelas, dan mulai menenggak air putih. Dorothy pergi, tetapi Lana masih menunggu di sini.

“Ayah, bolehkah malam ini aku tidur bersama Ayah? Aku takut pergi ke kamar,” pintaku setelah gelas yang ada di tangan telah kosong.

“Ada apa, Nak?”

“Aku mimpi buruk tadi siang,” jawabku dengan fokus mata yang tertuju pada tatapannya.

Ayah mengernyitkan alis, menyimpan gelas kaca kembali ke atas meja. “Mimpi buruk?”

“Aku janji akan menceritakannya kepada Ayah,” aku berdiri, menyimpan gelas ke atas meja, lalu menggapai tangan ayah, “Aku mohon, biarkan aku tidur bersama Ayah … ya? Hanya malam ini saja.”

Ayah bangkit dari kursi, tangannya menopang dagu.

“Baiklah, jika itu bisa membuat kamu tenang maka kamu boleh tidur bersama Ayah," ayah berjalan ke luar ruangan, "tapi, kamu harus ingat janjimu itu.”

Ruangan pun lenggang, menyisakan diriku dan Lana saja. Aku membalikkan tubuh, menatap mata Lana.

“Aku sudah mengetahui apa fungsi bola kaca yang ada di kamarmu.”

Perempuan itu melotot, mulutnya terbuka setengah seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa.

“Aku juga sudah mengetahui apa sebenarnya kuil itu. Meskipun begitu, aku ingin mendengar penjelasannya secara langsung darimu. Bukankah alasanmu dan Dorothy acap kali menghilang karena kuil itu? Memastikan bahwa apa yang ada di dalam kuil itu baik-baik saja,” ucapku asal sambil mengangkat bahu, menghubung-hubungkan perilaku kedua pembantu itu dengan perkataan Fame kemarin.

Lana bergeming, ia sekarang mulai menundukan kepala.

“Jawab pertanyaanku, Lana.”

Ia pun pergi, meninggalkanku sendirian di ruang makan, berlari tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Apa jangan-jangan jawabanku benar?

Dari arah belakang, seseorang memegang pundakku dengan tangan besar dan keriputnya. Aku memutar kepala ke kiri dan mendongkak. Ia adalah Dorothy, pembantu tua yang sedang tersenyum ramah. Namun, dari senyum itu juga aku merasakan sesuatu yang … menyeramkan.

***

[Jumlah kata : 1822]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top