VIII. Kemana Mereka Pergi?
Aku, Lana, dan Rino tiba di rumah pukul empat kurang. Tubuhku sangat letih, berbeda dengan Lana yang langsung sigap menyiapkan teh lemon ketika kusuruh atau Rino yang langsung pergi ke istal untuk membenahi kuda coklat beserta kereta yang ditariknya. Entah kenapa sofa di ruang keluarga sekarang terasa lebih nyaman digunakan untuk tiduran daripada kasur. Ya, walaupun aku belum pergi ke kamar karena malas.
Jika dipikir-pikir, nama dari gadis yang ada di kisah “Iblis yang Mencintai Manusia” yang diceritakan Lana tadi mirip sekali dengan ibu, Charlotte. Apa jangan-jangan gadis itu memang ibu yang sesungguhnya? Tidak, tidak … namaku saja ada di lagu “Mary Punya Domba Kecil” dan aku tidak punya domba seperti Mary yang ada di lagu itu. Lagipula, itu hanya kebetulan saja.
Gaun yang kupakai sekarang membuatku tidak leluasa untuk menggulingkan tubuh di atas sofa. Meskipun tidak serumit dan sebesar gaun pesta, tetap saja gaun ini mengurangi tingkat kenyamanan saat bermalas-malasan. Coba saja jika ada ibu peri yang bisa dalam sekejap menggantinya dengan gaun santai, pasti sangat menyenangkan bukan?
Aku memiringkan kepala yang sedang mencium bau kapuk bantal sofa ke kiri, menatap piano yang berdiri kokoh dengan siluet yang tercipta ketika sinar jingga mentari jatuh ke permukaannya. Piano itu pun membangkitkan kembali memori ketika ibu masih hidup. Saat masih berumur tujuh tahun, aku ingat ketika ibu memainkan lagu yang membuat hati terasa tentram dengan piano itu. Ayah juga mengelus kepalaku dengan lembut ketika aku merebahkan kepala ke pangkuannya. Mungkin hal itu terdengar biasa. Namun, itu merupakan salah satu dari banyak kenangan yang penuh akan kehangatan.
Lana tiba dengan membawa apa yang kuminta. Aku membenarkan posisi duduk lalu menyesap teh lemon yang masih mengepulkan uap indah pada permukaannya. Bau khas teh menyeruak, memenuhi indra penciuman dengan aroma yang hangat.
“Aku permisi dulu, Nona,” ucap Lana sambil membungkuk.
“Kenapa?” tanyaku sembari menyimpan cangkir teh ke atas meja, “kau tidak ingin menemaniku?”
Lana menggeleng. “Bibi Dorothy tidak ada …. Selain itu, aku juga mendapatkan pesan darinya untuk membersihkan dapur.”
“Memangnya kenapa jika Dorothy tidak ada? Kau, kan, bisa melakukannya nanti.”
Lana menggaruk keningnya dengan jari telunjuk lalu membenarkan posisi kacamata bulatnya. “Aku akan dimarahi jika tidak segera membereskan pekerjaanku, Nona. Maafkan aku.”
Aku membuang muka dan menggerakan tangan sebagai isyarat bahwa aku mengizinkannya pergi. Aku kembali berkutat dengan teh lemon ketika sosoknya sudah menghilang. Aku menghela napas.
Ada kalanya Dorothy menghilang seperti ini dan membuat orang lain kerepotan. Wanita tua bertubuh tambun itu juga tidak pernah memberitahuku kemana tujuannya meski sudah ditanya beribu-ribu kali.
“Sekarang suasana hatiku menjadi buruk karena dua pembantu itu.”
Aku berdiri, berjalan menuju rak sepatu, lalu mengenakan sendal. Aku melangkahkan kaki menuju rumah kaca melalui taman. Angin berhembus tenang, berbeda dengan perasaanku sekarang. Bunga-bunga yang tumbuh dan beberapa kupu-kupu berwarna kuning menyambutku dengan keceriaannya. Namun, aku tidak berniat untuk memperhatikan mereka.
Aku memukul box kayu setelah sampai di rumah kaca lalu duduk di atasnya. “Kenapa Lana lebih mementingkan apa yang si tua bangka itu suruh daripada menemaniku? Padahal, kan, aku adalah nona di rumah ini!”
Saat Madia menyelesaikan penjelasannya tentang sihir tadi siang, Lana memang bilang bahwa dia akan membantuku, tapi entah kenapa aku tidak terlalu yakin bahwa ia akan benar-benar membantuku mencari tahu tentang apa itu sihir. Itu karena aku tahu Lana seperti apa.
Lana selalu menyembunyikan hal penting dariku, misalnya seperti saat ia membuat pita yang ada di telinga Glu hilang, seperti saat ia memecahkan cangkir kesayangan ayah, dan juga seperti saat ia tidak sengaja menghilangkan permata milik ibu dulu. Lana pasti tidak akan pernah berkata jujur jika masalahnya belum selesai atau ada hal lain yang mengganjal hatinya. Ia juga hanya akan jujur ketika pikiranya sudah buntu atau rahasianya itu sudah terbongkar.
Lana terkadang sering terlihat aneh. Misalnya saat ia merapikan rambutku kemarin. Ia bergumam bahwa sebaiknya aku tidak terlibat dengan penyihir lain selain dirinya. Aku diam dan berpura-pura tidak mendengar saja saat itu. Terus ketika aku memberitahunya tentang pria aneh bermantel tebal yang kutemui di rumah kaca dan tentang surat aneh yang kutemukan itu pun ia langsung melotot dan berusaha untuk cepat-cepat pergi.
“Tunggu …, di mana surat aneh itu?”
Aku berjalan keluar, kembali ke rumah melalui pintu belakang yang mengarah langsung ke dapur dan ruang makan. Awalnya aku juga sekalian ingin mengecek apakah Lana benar-benar sedang membersihkan dapur. Namun, Lana tidak ada di sana.
“Lana? Kau di mana?”
Aku melepas sendal lalu mendaratkan kaki di lantai dapur. Dapur ini sudah bersih, bahkan mejanya terlihat sudah mengkilap. Lalu, jika sudah selesai membersihkan dapur seperti ini, kenapa Lana tidak menemuiku kembali?
“Lana, kau di mana? Bantu aku mengganti gaun!”
Aku pergi menuju kamar Lana, tapi sosoknya ridak ada di sana. Di kamar kecil berukuran sepertiga kamarku itu aku menemukan sebuah bola kristal yang biasa dimiliki oleh peramal dan sepucuk surat di atas meja. Surat itu adalah surat aneh yang kutunjukan kepadanya malam kemarin. Aku langsung mengantonginya dan memutar badan untuk kembali. Namun, saat aku berada selangkah dari pintu, aku kembali memutar badan dan mendekati bola kristal bening itu.
Rasa penasaranku memuncak. Aku mengangkat bola kristal itu, memperhatikannya dari segala sisi. Aku menyimpannya kembali di atas alas kain berwarna merah lalu memutar-mutar telapak tangan di atasnya bak peramal yang pernah kulihat. Aku menutup mata sambil membayangkan keberadaan Lana.
Sepuluh detik berlalu, aku membuka mata dan melihat pemandangan sebuah tempat yang sangat asing. Tempat di mana ada sebuah bangunan yang terdiri dari susunan bebatuan dan rimbunan pohon yang mengelilinginya. Aku tersenyum dan hatiku berbunga-bunga karena berhasil membuat bola kristal itu bekerja dalam sekali coba. Namun, tanda tanya yang muncul di saat bersamaan membuat kebahagiaan itu sirna dengan cepat.
“Kuil? Tapi kuil apa itu? Di mana?” gumamku.
Seseorang bertubuh tambun dan mengenakan jubah berwarna hijau gelap berjalan keluar dari dalam bangunan. Kepalanya tertutup oleh tudung jubah sehingga aku tidak tahu apakah ia seorang pria atau wanita. Ia mendekati sosok lain yang mengenakan jubah cokelat yang juga menutup kepalanya dengan tudung jubah lalu memberikan sesuatu. Pemandangan di bola itu mulai kabur dan perlahan menghilang. Bola itu pun kembali menjadi sebening kaca.
Aku mencoba melakukan hal seperti sebelumnya seperti mengangkat bola kristal itu, memutar-mutar telapak tangan di atasnya, dan memejamkan mata sambil membayangkan keberadaan Lana. Akan tetapi, benda itu tidak bekerja seperti sebelumnya. Aku mengulanginya beberapa kali, dan aku pun menyerah.
Aku keluar dari kamar Lana, kembali berjalan di lorong untuk mencari Lana. Seekor kupu-kupu bersayap hitam pun terlihat sedang hinggap di pegangan tangga. Hewan bersayap indah itu terbang menuju ruang tamu ketika aku melangkah mendekatinya. Kupu-kupu itu aneh, ia mengeluarkan pendar cahaya yang seperti serbuk dari corak sayapnya yang berwarna ungu. Aku kembali mendekatinya. Saat kupu-kupu itu mendarat di tengah meja, ia meledakkan cahaya yang membutakan mata.
Kedua tanganku refleks menggapai mata dan menguceknya. Perlahan aku membuka mata, melirik ke segala arah sembari mengedipkan mata dengan cepat. Setelah penglihatanku kembali, sepucuk kertas yang terlipat rapi muncul di tempat kupu-kupu itu meledak. Aku mengambil surat itu dan membaca isinya.
Halo Nona penguasa rumah, Paman aneh bermantel tebal disini!
Sepertinya Nona sedang kebingungan. Biar kutebak, pasti Nona memikirkanku, kan? Hahaha …. Tenang, aku hanya bercanda.
Hmm …, tapi sepertinya Nona benar-benar sedang memikirkanku. Tidak, lebih tepatnya memikirkan siapa sebenarnya aku.
Kita langsung ke intinya saja. Aku memutuskan untuk membantumu, Nona penguasa kecil yang rasa penasarannya sedang memuncak . Nona pasti penasaran, kan, dengan apa yang dilakukan pembantu tua dan pembantu berambut kepang itu ketika mereka menghilang?
Jika Nona penasaran, temui aku di rumah kaca sendirian besok ketika mereka berdua tidak ada. Tentu saja Nona juga harus merahasiakan ini dari siapapun, termasuk si anak bisu itu.
Aku meremas surat itu lalu memasukannya ke kantong. Suara langkah kaki terdengar. Aku memutar tubuh dan melihat Dorothy dengan jubah berwarna hijau gelap sedang menunduk dan memegang tembok Suara napasnya yang menggebu terdengar jelas. Ada ranting-ranting kecil juga menempel pada jubah yang menutupi seragam pembantunya.
“Nona! Apa … Anda baik-baik saja?” tanya Dorothy sambil menghapus peluh dikeningnya dengan lengan baju. “Cahaya apa tadi?”
“Kau dari mana? Kemana Lana?”
Dorothy mendekatiku dan langsung memegang kedua pundakku. “Setelah Lana menyiram tanaman, aku—”
“Kau berbohong Dorothy! Apa yang sebenarnya kau dan Lana sembunyikan dariku?”
Dorothy melepas cengkramannya. Wajahnya memelas. “Maaf Nona, tapi aku harus merahasiakan ini.”
“Terserah padamu, Dorothy!”
***
[Jumlah kata : 1361]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top