VI. Sihir
Samar-samar aku mendengar percakapan antara Lana dan Madia.
“... nonaku mendapatkan surat misterius ini dari seseorang. Apakah Anda mengetahui siapa pengirimnya?”
Aku merasakan sensasi empuk dan hangat tempat di mana aku berbaring. Pandanganku masih belum jelas, tetapi kesadaranku mulai pulih perlahan.
“Maaf Lana. Aku tidak tahu tulisan siapa ini ... tapi yang jelas, kamu harus berhati-hati. Tempat tinggal tuanmu itu berada dekat dengan Hutan Magis. Bisa saja pria yang kamu sebutkan dan orang yang menulis surat ini adalah Penyihir Hitam yang terbebas dari hutan itu.”
Hutan Magis? Apa yang mereka bicarakan? Aku membuka mata, memutar kepala ke kanan, dan melihat kedua wanita itu duduk di dua sofa yang saling berhadapan. Madia memberikan sepucuk surat kepada Lana. Mataku masih menyesuaikan.
“Tapi bagaimana caranya Penyihir Hitam yang ada di dalam segel sihir hutan itu bisa keluar? Kami, para Penyihir Putih sudah memastikan bahwa tidak ada yang bisa keluar masuk area hutan itu. Anda sendiri yang merupakan Penyihir Hitam seharusnya sudah tahu bagaimana kehebatan segel hutan itu.”
“Itu berarti bisa saja, kan, orang yang memberi surat dan bertemu dengan Nona Mary adalah salah satu Penyihir Putih yang menjaga segel hutan itu?” Madia mengangkat bahunya, “aku akan memberitahumu secepatnya jika aku menemukan petunjuk. Anggap saja ini sebagai layanan tambahan karena tuanmu adalah pelanggan tetap dan sebagai balas budi karena beliau sudah membantuku.”
Aku menyingkirkan selimut, bangun dari tidur, lalu menurunkan kaki ke permukaan lantai kayu perlahan. Bagian di mana lukaku berada kini dibalut oleh kasa. Meskipun begitu, rasa nyeri dari luka tersebut masih terasa.
“Apa yang kalian bicarakan Lana? Madia?” tanyaku.
Lana dan Madia sontak melihatku. Mereka tampak terkejut. “Ah ... apa sekarang Nona baik-baik saja? Nona pingsan setelah melihat yang dilakukan oleh Nona Madia tadi,” ujar Lana sembari melangkah mendekatiku.
“Apa yang kalian berdua bicarakan?” ulangku, “sepertinya kalian tampak serius tadi.”
“Saya hanya meminta pertaggung jawaban Nona Madia terhadap luka itu, Nona,” jawab Lana sambil menunjuk perban yang ada di kakiku. Ia lalu berdehem.
“Ah, itu benar Nona. Lana hanya meminta pertanggung jawabanku saja,” bela Madia canggung.
Mereka berdua sepertinya sudah sepakat untuk menyembunyikan topik yang mereka bicarakan dariku. Mereka aneh, padahal mereka sepertinya sedang bertengkar ketika pertama kali bertemu. Lana yang menyebut Madia sebagai Penyihir Hitam berwatak kejam tadi kini menyebutnya Nona Madia. Madia juga yang selalu menyebut Lana sebagai ‘gadis pembantu’ kini menyebut namanya langsung. Apa sebenarnya yang terjadi ketika aku pingsan?
Aku memutuskan untuk tidak menceritakan potongan pembicaraan yang telah kudengar. Hutan Magis yang disegel agar sosok yang terkurung didalamnya tidak keluar dan Penyihir Putih yang menjaga segel itu. Mungkin aku akan mencaritahu hal itu nanti.
Aku mendongkak ke arah jam yang berdiri tegak di dekat jendela. Sekarang pukul dua belas kurang, itu artinya aku sudah pingsan hampir satu jam. Aku kemudian melihat sekitar, mencari sosok anak laki-laki yang telah menjadi pelaku dibalik luka yang kuderita. Namun, sosok kecil itu menghilang.
“Kemana anak tadi?”
Madia menunjuk burung hantu miliknya yang sedang berada di dalam kandang. Burung itu menatapku dengan tajam ketika aku meliriknya. “Saya mengubahnya kembali menjadi burung, Nona.”
Aku memiringkan kepala dan tanpa sadar mengeluarkan suara huh. Madia yang mengerti apa maksudku mendekati kandang, mengeluarkan burungnya, lalu menggerakan bibirnya seperti Lana yang merapal mantra. Tiga buah bola cahaya muncul, berputar mengelilingi burung itu sebelum akhirnya masuk dan melebur ke dalam tubuhnya.
Burung itu kini mengeluarkan cahaya kehijauan dari sekujur tubuhnya. Satu demi satu anatominya berubah menjadi mirip seperti manusia. Sayap yang menjadi tangan, kaki tajam yang menjadi kaki manusia, tubuh penuh bulu berubah menjadi tubuh seorang anak laki-laki, dan terakhir kepala berparuh runcing yang berubah menjadi tampang seorang anak kecil dengan pipi yang dipenuhi bulu. Perawakan kurus yang kulihat tadi kini berubah menjadi sedikit berisi. Ia pun berkicau ketika cahaya hijau yang menyelimutinya meredup dan menghilang secara dramatis.
Itu adalah hal yang sangat menakjubkan yang pernah kulihat. Namun, disaat yang bersamaan aku merasakan kengerian darinya.
“Untuk menggunakan sihir, diperlukan sebuah pengorbanan. Semakin besar pengorbanannya, semakin besar pula sihir yang bisa dikeluarkan,” Madia mengelus kepala anak itu, “saya berjanji untuk memberitahu Nona tentang sihir, kan, kemarin?”
Aku mengangguk.
“Untuk pengorbanannya sendiri, penyihir dapat menggunakan berbagai cara. Menggunakan energi, mengorbankan darah seperti yang saya lakukan, mengorbankan anggota tubuh, mengorbankan ingatan, bahkan sampai mengorbankan nyawa.” Ia berjalan mendekatiku, memelankan nada bicara, “tidak seperti penyihir-penyihir pada dongeng yang dapat menggunakan kekuatan sihir luar biasa hanya dalam sekali jentikan jari, mendapat akhir cerita yang bahagia ... kehidupan penyihir di dunia ini sangatlah memprihatinkan. Mungkin Lana juga mengerti apa yang saya maksud.”
Lana memalingkan wajahnya dan menatap lantai kayu. Kedua tangannya saling bergenggaman. Aku merasakan kesedihan dari raut wajahnya.
“Kami harus memutar otak dengan apa yang harus kami korbankan untuk sihir. Ketika menggunakan energi, kami harus berpikir bagaimana cara menyembunyikan kelelahan. Ketika menggunakan darah, kami harus bisa menutup luka dan melakukan segala cara untuk menghindari anemia. Ketika mengorbankan anggota tubuh, kami harus berpikir apakah sihir itu sangat diperlukan. Terakhir, ketika mengorbankan ingatan, kita tidak tahu ingatan apa yang akan hilang dari ingatan kami.”
Madia tersenyum lembut kepadaku. Wanita berambut pendek itu pergi menuju sofa lalu duduk bersama dengan anak laki-laki yang sebelumnya adalah burung hantu itu. Suasana ruangan mulai terbalut keheningan.
Mataku menjelajah ruangan ini, melihat pernak pernik yang ada di dinding, salah satunya adalah foto ayah dan ibu bersama Madia. Ada juga gantungan seperti bulu-bulu dan hiasan kayu juga yang menambah kesan estetik ruangan kamar, dapur, sekaligus ruang tamu ini.
Kakiku kini sudah tidak terlalu terasa sakit ketika aku menghentikannya ke lantai. Aku bangkit dari kasur lalu berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Sementara itu Lana hanya berdiri dan diam seribu bahasa. Entah apa yang menyebabkannya seperti itu.
“Apa yang ingin Nona ketahui lagi dariku?” tanya Madia.
“Apakah kau bisa memberitahuku semua hal tentang sihir?”
“Saya bisa, tapi kenapa Nona ingin tahu semua hal tentang sihir? Setelah saya memberitahu tentang apa yang harus dikorbankan untuk menggunakan sihir, kenapa Nona masih ingin mengetahuinya?”
“Jika aku mencari tahu apa itu sihir, mungkin misteri kematian ibu akan terpecahkan.”
Jam mengeluarkan dentingnya tepat saat aku menyelesaikan kalimat. Madia mengatupkan bibir dan mengubah posisi duduknya. Ia tersenyum kembali. “Seperti itulah jawaban nonamu, Lana. Apakah kamu masih ingin menyembunyikannya?”
Aku melirik ke arah Lana yang kini berdiri di belakangku Ia menghela napas panjang lalu menampar kedua pipinya sampai merah. “Baiklah Nona, jika itu keinginan Nona, maka aku akan membantu sebisaku.”
Aku duduk di sofa dan memerintahkan Lana untuk duduk di sampingku. Anak laki-laki yang sedang memeluk Madia pergi ke dapur--yang masih ada di ruangan yang sama. Aku memperhatikan gerak-gerik anak itu yang cekatan menyiapkan teh. Setelah ia menyajikan teh itu kepada masing-masing dari kami, pembicaraan dimulai.
Hal pertama yang kami bahas adalah tentang familia, makhluk yang terikat kontrak sihir dengan Penyihir Hitam. Familia bertugas untuk membantu sang penyihir yang memanggilnya, seperti mencari tanaman obat di hutan, mengirimkan surat, dan juga sebagai perlindungan apabila suatu saat terjadi bahaya. Sekilas mirip dengan sistem perbudakan yang selalu dibanggakan oleh sebagian oknum bangsawan. Namun, resiko penggunaan familia ini lebih tinggi dibandingkan dengan budak. Itu karena familia membutuhkan darah sang penyihir yang mamanggilnya untuk hidup. Ketika penyihir telat memberikan darahnya, maka familia akan kehilangan kontrol dirinya seperti saat anak laki-laki itu menarik tanganku dan Lana. Katanya ada tiga fase saat familia kehilangan kontrol diri, tapi Madia tidak menjelaskannya.
Sebenarnya aku merasa agak mual ketika mendengar kata darah karena terbayang dengan kejadian Madia yang menusuk lengannya dengan gunting tadi, tapi aku harus menahannya.
Aku bertanya kepada Madia mengapa ia masih tetap menjalin kontrak dengan anak atau lebih tepatnya burung hantu miliknya itu meskipun resikonya seperti itu. Wanita itu pun menjelaskan bahwa ia membutuhkan familia untuk membantunya. Ia juga memberi tahu kalau memutus kontrak sihir dengan familia tidaklah semudah apa yang terdengar.
Kontrak itu baru akan terputus ketika familia atau penyihir yang memanggilnya meninggal. Penyihir akan kehilangan kemampuan sihirnya selama tiga bulan ketika familia yang dipanggilnya mati, tatapi apabila penyihir yang memanggil familia itu yang lebih dulu kehilangan nyawa, maka familia tersebut akan mendapatkan kekuatan sebanyak tiga kali lipat. Sayangnya, meskipun bertambah kuat familia itu akan berubah menjadi gila dan menyerang siapapun yang ada di sekitarnya.
Lana menjelaskan kalau pernah ada suatu kejadian di mana Penyihir Hitam yang memanggil familia mati karena usia. Familia-familia milik Penyihir Hitam itu menggila dan menghancurkan sebuah desa di mana sekelompok Penyihir Putih tinggal di sana. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya pertikaian antara Penyihir Hitam dan Penyihir Putih.
Tanpa terasa satu jam telah terlewat, jam mengeluarkan dengungannya sebanyak satu kali. Ketika aku bertanya apa perbedaan antara Penyihir Hitam dan Penyihir Putih, Lana malah memintaku untuk segera bersiap-siap untuk pulang. Katanya terlalu berbahaya jika kami pulang terlalu larut. Raut wajah Madia tampak kecewa. Namun, pada akhirnya ia hanya bisa mengiyakannya.
Lana duduk di dalam kereta bersamaku setelah kami keluar dari kota. Rino yang katanya sudah hafal dengan jalan pulang memintanya untuk menemaniku saja. Aku tidak tahu bagaimana cara Rino berkomunikasi dengan Lana, tapi mungkin saja, kan, Lana mengerti karena ia sudah terbiasa dengan Rino?
Ketika kereta berjalan di hutan tempat bunga daffodil berada, Lana menceritakan kisah yang ia janjikan ketika perjalanan menuju kota. Ia bilang kisah itu merupakan sebuah jawaban mengapa bunga-bunga daffodil di tempat itu masih tumbuh meski musim semi telah berlalu. Kisah itu menceritakan tentang seorang iblis yang jatuh cinta kepada manusia.
***
[Jumlah kata : 1532]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top