V. Menuju Toko Milik Madia
“Nona, bangunlah. Ini sudah pagi,” ucap Dorothy. Ia mengguncang tubuhku yang masih terkulai lemas di atas kasur. Aku merasa kesal.
“Nona, Anda dan Lana, kan, akan pergi ke kota hari ini.” Wanita bertubuh tambun itu semakin keras mengguncang tubuhku. Aku akhirnya menyerah untuk melanjutkan tidur lalu duduk menyender ke sandaran kasur. Mataku masih tertutup rapat.
Terdengar suara tetesan air yang jatuh ke baskom dari handuk yang diperas. Dorothy mengelap wajahku dengan handuk yang membawa sensasi basah dan hangat. Ia kemudian membuka gorden lalu memintaku untuk segera pergi ke kamar mandi sebelum air hangat untuk mandi yang disiapkan olehnya mendingin. Aku membuka mata setelah mendengar suara decit engsel pintu, turun dari kasur lalu meregangkan tubuh bak seekor kucing.
Aku mencoret tanggal empat belas pada kalender, itu berarti lima hari sebelum aku dan ayah pergi ke pesta debutante putra dari Count Barrel. Jika dipikir-pikir, debutante biasanya selalu dilakukan secara meriah dan tentunya pasti digelar juga pesta dansa. Terlebih lagi, sekarang aku sudah berumur empat belas tahun, itu berarti mau tidak mau aku harus aku menerima permintaan dansa jika diajak oleh pria lain, kan? Aku sudah lama tidak berdansa … semoga saja kemampuan dansa yang sudah lama tidak kuasah tiba-tiba bangkit kembali.
Aku menyimpan kalender kembali ke atas meja lalu keluar dari kamar. Aku mengetuk pintu kamar ayah dan nihil, tidak ada jawaban. Aku lalu berlari menuruni tangga kayu, menuju kamar mandi di mana Dorothy sudah bersiap di sana.
Aku melepas pakaian kemudian mencelupkan kaki ke bak mandi berisi air yang menciptakan kepulan uap hangat. Dorothy mulai menggosok tubuhku mulai dari punggung sampai ke bagian lainnya dengan sabun.
“Dorothy … apakah kau percaya jika sihir itu ada?” tanyaku asal.
“Selama saya belum melihatnya secara langsung, saya tidak bisa percaya.”
“Hmm … jika misalkan sihir itu ada, dan kau bisa menggunakan sihir, apa yang akan kau lakukan?”
Dorothy berhenti menggosok tubuhku sesaat. “Saya ingin kembali ke masa lalu, melindungi semua yang saya miliki dengan segala cara, lalu memilih pilihan lain agar saya bisa tetap selalu bersama dengan semua yang saya miliki di masa itu.”
Aku melirik Dorothy, dan ia hanya tersenyum. Entah kenapa aku merasa ada kenangan pilu dibalik kalimatnya itu.
“Lagipula, sihir itu adalah suatu hal yang mustahil, Nona. Jika hal itu nyata mungkin saja kita bisa kembali ke masa lalu dengan menggunakan sihir waktu, kan?”
Aku mengangguk, tidak tahu kalimat apa yang pas untuk meresponnya. Hal yang dikatakan olehnya itu masuk akal. Jika kita membicarakan satu hal yang mustahil, maka tidak ada batasan sejauh apa hal mustahil yang kita pikirkan untuk dibicarakan. Namun sayangnya, sihir itu ada. Aku sudah melihatnya dari Lana dan Madia. Kira-kira, apa yang akan dilakukan oleh Dorothy jika ia tahu akan hal itu?
Aku keluar dari bak ketika air yang kugunakan sudah mulai mendingin. Dorothy membilas tubuhku dengan air hangat yang ada di ember lain untuk menghilangkan sisa sabun yang masih menempel. Ia kemudian memakaikanku jubah handuk yang sudah disiapkan dan kembali bersama menuju ke kamar untuk memakaikanku pakaian.
Lana sudah berada di sana ketika kami tiba, ikut membantu. Ia tidak mengenakan baju pelayan seperti biasa, melainkan menggunakan kemeja putih lengan panjang dengan terusan rok panjang berwarna biru pucat, selaras dengan pita tipis yang dikalungkannya pada kerah.
Sementara itu, pilihan pakaianku jatuh kepada kemeja blus putih, terusan rok panjang berpola kotak-kotak yang terdiri dari kombinasi warna hijau, hitam, dan abu-abu. Hal terakhir adalah scarf untuk dikalungkan serta bros permata kecil untuk mengikatnya. Aku memilih semua itu karena tidak ingin menarik perhatian orang lain sekaligus menghindari pakalian berkorset yang menyesakkan.
Aku dan Lana baru berangkat pukul delapan lebih beberapa menit, menaiki kereta kuda cadangan yang dipawangi oleh Rino. Lana duduk bersama lelaki berambut oren itu, sementara aku duduk di dalam kereta sendirian. Lana bertugas membantu Rino untuk menunjukan jalan serta berkomunikasi denganku atau orang lain di luar jika terjadi suatu masalah. Itu semua dilakukan bukan karena Rino tidak cakap dalam bekerja, melainkan karena ia tidak bisa berbicara.
Perjalanan berjalan tanpa ada hambatan yang berarti. Kereta hanya berhenti sebentar ketika ada hewan atau orang yang membawa senapan menyebrangi jalan saja. Fuh … Rasanya sudah lama sekali aku tidak meninggalkan rumah, melihat rentetan pohon besar di kedua sisi seperti ini. Ada rasa takut yang perlahan sirna oleh nostalgia.
Aku mengingat ibu yang selalu duduk di sebelahku ketika duduk di kereta. Bersama melihat embun pada daun yang membiaskan cahaya di setelah hujan, melihat daun-daun kering karena hawa panas yang menyengat di musim panas, melihat daun yang menguning dan berjatuhan di musim gugur, dan melihat pohon tanpa daun di musim dingin. Sungguh kenangan indah yang tidak akan pernah kurasakan lagi.
Aku membuka jendela kereta, merasakan angin segar dari luar masuk dan mengusir rasa panas. Pemandangan pohon yang terhalang oleh kaca jendela terlihat lebih jernih sekarang.
Tak lama, kami sampai di desa Erden, desa yang paling dekat dengan rumah setelah menempuh perjalanan selama setengah jam. Desa ini merupakan desa di mana mayoritas penduduknya bekerja sebagai pemburu untuk menyambung hidup. Kata ayah, desa ini selalu ramai oleh pendatang yang tertarik untuk mencoba sensasi berburu di alam liar atau juga hanya sekedar membeli hasil buruan yang masih segar. Lana atau Dorothy juga biasa belanja di sini ketika stok makanan sudah mulai habis.
Rino memelankan laju kereta. Di saat yang sama, aku menutup jendela dan menggeser tirai untuk menutupinya. Pusat perhatian orang-orang di desa ini tampaknya tertuju pada Lana. Mereka saling bertegur sapa, menanyakan kami akan pergi kemana, dan yang lainnya. Salah satu dari mereka bilang kalau aku adalah nona yang pemalu karena menutup tirai kereta. Lana hanya tertawa ramah dan aku berusaha untuk tidak mempedulikan omongan itu, meskipun agak kesal.
Aku baru membuka kembali tirai dan jendela kereta ketika Rino mulai memacu kembali kecepatan kuda. Di sisi kiri dan kanan, kini berubah menjadi pemandangan ladang gandum yang mulai menguning. Ada beberapa gubuk berdiri di sekitar ladang, tak lupa orang-orangan sawah yang tubuhnya dihubungkan dengan tali panjang. Saat burung-burung kecil datang, seseorang yang berada di dalam gubuk segera menarik tali itu untuk menggerakan orang-orangan sawah, mengusir burung nakal yang mencoba mencuri butir gandum.
Di pertigaan ladang, kereta berbelok ke kanan. Pemandagan ladang gandum kini berganti kembali menjadi rentetan pohon. Aku mulai merasa bosan. Coba saja tadi aku membawa Glu atau buku tadi. Jika saja Lana ikut duduk di kereta bersamaku, mungkin aku tidak akan bosan. Sebenarnya seberapa jauh kota Houton itu, sih?
Aku mendaratkan kepalaku ke bangku kereta lalu memejamkan mata. Suara batu yang terlindas roda kereta terdengar jelas. Aku melemaskan badan, berusaha untuk tertidur, tapi gagal. Aku pun berakhir dengan keadaan terbaring seperti ini. Aku tidak tahu berapa menit atau mungkin berapa jam telah berlalu. Hanya Lana dan Rino saja yang membawa jam, aku tidak. Memangnya Houton sejauh ini, ya?
“Nona, apakah Nona melihatnya?” teriak Lana dari bangku kusir. “Bunga-bunga iti sangat indah!”
Dengan cepat aku bangkit, menengok ke luar cendela. Aku membuka mata lebar-lebar, takjub. Daffodil, bunga-bunga berwarna keunguan yang tumbuh subur di antara rentetan pohon besar yang menjulang tinggi. Sinar matahari yang tersaring oleh dedaunan dari pohon-pohon besar membuat pemandangan tampak harmonis.
“Nona, bunga-bunga liar itu menandakan bahwa kita akan segera sampai di kota,” jelas Lana. “Oh iya, ada satu kisah juga mengenai bunga-bunga yang tumbuh liar ini, mungkin aku akan menceritakannya di lain waktu kepada Nona.”
Aku mengeluarkan kepala ke luar jendela. “Kau sudah berjanji Lana. Awas saja jika kau melupakannya!” teriakku.
“Tentu saja, Nona.”
Kata ibu, Daffodil merupakan simbol dari permulaan baru dan kebahagiaan. Beliau juga bilang bahwa Daffodil merupakan bunga yang tumbuh pada musim semi, tapi entah kenapa bunga-bunga ini bisa tumbuh dan mekar di musim panas seperti ini. Mungkin jika Lana menceritakan kisah yang dijanjikannya itu, aku bisa jadi tahu alasan mengapa bunga-bunga itu masih bisa tumbuh.
Aku kembali duduk di bangku dengan benar. Fokusku kembali kepada hamparan bunga Daffodil. Namun, pemandangan itu terasa berlalu begitu cepat dan tergantikan oleh hamparan rumput dan pemandangan kota tujuan akhir kami dari kejauhan. Aku melihat dermaga dan juga tiga buah kincir besar yang terus berputar sejalan dengan datangnya angin. Langit biru tanpa awan terlihat lebih jelas tanpa ada satupun dahan pohon yang menghalangi. Burung-burung merpati terbang dengan bebas.
Pemandangan yang menakjubkan selalu terasa singkat saat perjalanan, dan aku merasakannya. Kereta sudah sampai di gerbang kota ketika fokusku masih tertuju pada langit biru. Penjaga memeriksa identitas kami sebentar lalu membiarkan kami masuk kedalamnya.
Keramaian kota menyambut kami. Rino melambatkan laju kuda, sementara aku langsung berkutat dengan tirai. Aku mengintip sedikit orang-orang yang tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Wanita dengan gaun indah, pria berjas, orang berpakaian santai, bahkan sampai orang yang mengenakan pakaian dengan tambalan kain melebur menjadi satu di atas trotoar. Seperti inilah wajah dari kota yang jarang kulihat.
Laju kereta beberapa kali terhenti karena Lana menanyakan alamat toko milik Madia. Kami baru sampai setelah dua kali memutari sebuah kompleks gedung. Toko milik Madia tampak seperti rumah biasa tanpa etalase yang memiliki sebuah papan dengan gambar mesin jahit yang menggantung di depan pintu. Mungkin itu yang menyebabkan Lana dan Rino sulit menemukannya.
“Jam berapa sekarang?” tanyaku setelah turun dari kereta.
Lana mengeluarkan jam saku miliknya. “Sekarang jam sebelas lebih, Nona.”
Ternyata jarak dari rumah ke kota tiga jam. Mungkin karena ini juga ayah selalu menghilang di pagi hari sebelum aku terbangun. Ayah juga pernah bilang kalau lokasi pabrik sekitar dua kilo dari kota ini.
Rino menunggu kereta, sedangkan aku dan Lana berjalan menuju pintu toko, lantas mengetuknya. Seorang anak laki-laki membukakan pintu untuk kami. Ia memiliki perawakan kurus dibandingkan anak-anak seusianya yang kulihat di jalanan kota tadi. Sorot matanya tajam, dan juga ada bulu-bulu burung yang menempel di kedua pipinya.
Tanpa mengucapkan salam ataupun yang lainnya, anak itu langsung menarik tanganku dan Lana masuk ke dalam toko. Tenaganya sangat besar meskipun tubuhnya sangat kecil. Pintu toko tertutup dengan sendirinya. Helai demi helai gaun dilewatinya begitu saja tanpa memberikanku sedikitpun waktu untuk mengamatinya.
“Hei, berhenti! Tanganku sakit! Aku di sini pelanggan, harusnya kau melayaniku dengan baik!” pekikku.
Anak itu tidak mendengarkan. Ia terus menyeretku dan Lana ke lantai atas meski aku terus-menerus berteriak kesakitan. Saat sampai di lantai atas, aku terjatuh. Tulang keringku sakit karena mengenai anak tangga.
Anak kecil itu langsung berlari memeluk Madia. Madia yang terkejut langsung berlari menghampiriku, mencoba untuk membantu. Namun, uluran tangannya ditepis oleh Lana.
“Apa maksud dari sambutan seperti ini, Penyihir Hitam! Kau melukai nonaku!” Lana membantuku berdiri, lalu menuntunku ke bangku yang paling dekat dengan tangga. Ia membukakan sepatu dan kaos kaki yang kupakai, memeriksa luka. “Kau lihat? Seperti inikah sambuatan baik untuk pelanggan?”
“Tu-tunggu, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku sudah menyuruhnya untuk melayani kalian dengan baik, tapi ….”
“Jangan beralasan! Sudah kuduga, semua Penyihir Hitam berwatak kejam!”
Anak yang memeluk Madia itu berkicau, memekik layaknya seekor burung hantu yang tengah kelaparan.
“No-Nona Mary, dan kamu, tolong maafkan aku atas semua yang terjadi.” Madia mencoba melepaskan pelukan anak itu. “Aku tidak tahu jika anak ini akan menjadi ganas seperti ini ketika ia melewati waktu makannya.”
Madia menunjuk sebuah meja yang tak jauh dari tempatku berada. “Kamu, gadis pembantu, cepat ambilkan aku pisau atau benda tajam lainnya di sana ... tolong, jika dibiarkan dia akan semakin menggila dan terus memelukku sampai tulangku remuk.”
Lana pun segera mengikuti perintahnya meski terlihat enggan. Ia mengacak-acak meja yang penuh dengan potongan kain sampai ia menemukan sebuah gunting. Jantungku mulai berpacu ketika melihat ujung gunting yang tajam. Pikiranku menjadi kacau. Aku harus menghentikan Lana! Jika tidak, maka nyawa anak itu akan terancam!
“Lana, hentikan!” ucapku sambil berusaha berdiri.
Namun, semuanya terlambat. Gunting tajam kini sudah berada di tangan Madia. Lana pun segera menghampiriku. “Tidak apa, Nona. Cara kerja Penyihir Hitam memang seperti itu. Tenangkan diri Nona, dan lihatlah.”
Wanita berambut pendek itu mendekatkan ujung gunting ke pergelangan tangan kirinya. Ia mengepalkan tangannya, menutup mata, lalu menusukan gunting yang dipegangnya itu ke tangan. Darah segar pun mengalir dari pembuluh darah di tangan Madia. Aliran darah itu mengucur semakin deras tatkala ia menarik kembali gunting itu. Tangan kiriku kini tiba-tiba terasa kebas karena melihatnya.
Sementara itu, anak laki-laki yang memeluk tubuh Madia melepaskan pelukannya. Ia beralih ke aliran darah yang mengucur. Ia berkicau, membuka mulutnya, dan membiarkan darah yang mengalir dari tangan Madia masuk ke dalam mulutnya. Aku menutup mulutku. Sekarang giliran perutku yang merasa mual.
Mengerikan.
Pandanganku berkunang-kunang. Aku mencoba melihat ke segala arah untuk mengalihkan perhatian, tapi fokusku kembali ke aliran darah dari tangan Madia dan anak laki-laki yang memekik bahagia karena meminum darahnya. Aku sudah tidak sanggup melihatnya. Tubuhku tiba-tiba melemas, dan kesadaranku perlahan mulai menghilang.
***
[Jumlah kata : 2082]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top