IV. Penjahit dan Burung Hantu

Setelah jam menunjukkan pukul tiga lebih pada sore hari, ayah datang bersama seorang wanita berambut hitam pendek dengan gradasi warna cokelat, berpakaian aneh, dan seekor burung hantu yang turut serta bertengger di pundaknya. Mungkin dari pada aneh, eksentrik lebih terdengar halus dan cocok baginya. Namun, siapa juga yang peduli dengan perbedaan antara aneh dan eksentrik?

Aku sebelumnya berada di istal, memperhatikan Rino yang sedang menyikat kuda setelah penat memikirkan siapa sosok pria aneh yang kutemui di rumah kaca tadi. Lana yang mendapat perintah dari ayah bergegas mencariku, memintaku untuk ganti baju, dan membuatku sekarang terduduk di kursi ruang tamu bersama ayah dan sang wanita eksentrik.

“Jadi ini, nona kecil cantik yang Tuan bicarakan tadi?” Wanita itu menatapku dari ujung rambut sampai ke kaki, “menarik.”

Akan tetapi, menurutku hal yang paling menarik sekarang adalah burung hantu yang sedang bertengger di pundaknya. Hebatnya, ayah yang duduk paling dekat dengan wanita itu tidak menyinggung sedikitpun tentang burung hantu itu. Ia hanya membahas tentang aku, anak kesayangan satu-satunya kepada wanita itu sampai-sampai aku merasa malu sendiri. Wanita itu hanya tersenyum ramah mendengarnya, memaklumi bahwa sifat kliennya seperti itu.

Lana datang membawa troli yang di atasnya terdapat poci teh, tiga buah cangkir, dan kue disela-sela ayah sedang menyebarkan informasiku. Gadis berkacamata bulat itu mengalirkan teh hitam ke cangkir, mempersembahkannya bersama kue sebagai jamuan, lalu berdiri di sampingku setelah tugasnya selesai.

Ketika ayah sudah berhenti berbicara, fokus wanita eksentrik itu tertuju kepadaku. “Nona Mary, perkenalkan. Nama saya Madia Navervoid, seorang perancang busana sekaligus penjahit yang akan melayani permintaan anda.”

Aku menundukan kepala, menerapkan tata krama yang kuingat. “Perkenalkan, nama saya Mary Faercroft, putri tunggal keluarga Faercroft. Mohon bantuannya, Nyonya Madia.”

Aku kembali menegakkan kepala. Apakah aku sudah benar? Aku sudah lama tidak melakukan tata krama bangsawan seperti ini selain tata krama makan. Setelah kepergian ibu, aku tidak pernah berhubungan langsung dengan orang luar seperti ini. Tanganku gemetar. Bagaimana jika aku salah?

Wanita itu tertawa ringan. “Panggil saja saya Madia, Nona. Tidak perlu terlalu tegang dan formal terhadap saya, bawa santai saja.” Madia mengambil cangkir tehnya, menyesap sedikit, “selain itu saya bukanlah seorang bangsawan, dan juga saya belum menikah. Jadi, Nona tidak perlu memanggil saya nyonya.”

Aku tersenyum canggung. Sepertinya menyinggung hal yang salah. Ayah pun sama saja, ikut merasa canggung dengan tawa terpatah-patah sembari menggaruk pelipis.

“Ah iya, Madia. Bagaimana jika sekarang kita langsung membahas tentang gaun untuk Mary saja?” tanya ayah, mencoba mencairkan suasana.

Madia mengangguk. Ia membuka tas besar yang dibawanya, mengeluarkan banyak lembar kertas dengan sketsa-sketsa gaun yang tergambar di permukaannya, ia lalu mengulurkan lembaran itu kepadaku. “Sebenarnya ini hanya sebagian kecil dari rancangan saya. Mungkin saja di situ ada model yang mampu memikat hati Nona.”

Aku melirik ayah.

“Lihat saja. Ayah sudah melihatnya tadi ketika berada di kereta. Semuanya luar biasa. Pilihlah model yang kamu sukai,” ucap ayah sembari mengangguk.

Aku menerima lembaran sketsa itu, membalikkan lembar demi lembar sketsa sembari memperhatikan modelnya yang cantik nan elegan. Tiap model memiliki ciri khasnya masing-masing, mulai dari penggunaan bulu-bulu hewan, renda-renda dengan detailnya, dan juga jahitannya. Semua sketsa gaun yang telah kulihat luar biasa, seperti kata ayah.

Namun, ketika aku melihat lembaran terakhir, muncul alfabet-alfabet bercahaya di atas sketsa itu yang perlahan terangkai menjadi kalimat. Aku membelalakan mata. Ini sihir!

Apakah kau bisa melihat familiar-ku?

Aku segera menatap mata Madia bungung, sementara ia mengembangkan senyum percaya diri. Aku kembali menatap lembar sketsa itu kembali dan mendapat tulisan baru yang muncul di sisi kanan sketsa.

Tidak apa, tuan tidak bisa melihat tulisan ini. Hanya aku, Nona, dan pembantu yang sedang memelototiku itu saja yang hanya bisa melihat tulisan ini.

Lana berdehem. Mungkin itu sebagai jawaban bahwa yang ditulis di lembar sketsa ini benar. Sementara itu, mata ayah tertuju padaku, menunggu pilihanku jatuh kepada salah satu sketsa gaun. Lagi-lagi sebuah tulisan baru muncul. Namun kali ini berada di bawah sketsa.

Apakah Anda tertarik dengan dengan sihir, Nona? Jika Anda tertarik, katakan bahwa Anda ingin melihat-lihat gaun secara langsung. Dengan begitu, kita bisa membicarakan tentang sihir nanti di tokoku sekalian melihat-lihat gaun yang tergambar di lembar-lembar itu secara langsung. Aku juga akan menjalaskan burung hantu yang merupakan familiar-ku ini.

Akhirnya aku tahu apa yang dimaksud familiar oleh Madia. Aku sekali lagi meliriknya dan ia pun mengangguk. Di saat yang bersamaan, aku teringat akan gumaman Lana sebelum ia menyisir rambutku pagi tadi, ia tidak ingin aku berhubungan dengan penyihir lain selain dirinya. Fuh, pilihanku kini hanya ada dua saja, ya atau tidak.

“Bagaimana Nak? Apa ada yang kamu sukai?” tanya ayah yang secara tidak langsung membuatku harus cepat mengambil keputusan. “Apa kamu tidak menyukai model-modelnya?”

“Baiklah! Aku suka semua, tapi aku ingin melihatnya langsung,” jawabku cepat sebelum aku selesai memikirkan dua pilihan itu dengan matang. “Aku ingin melihatnya dulu, apakah boleh ayah?”

Lana mendekatkan bibirnya ke telingaku, mencoba membisikan sesuatu. Namun, ia terlambat.

“Oke, kamu dan Lana besok pergi ke kota, ke toko milik Madia,” ucap ayah. Perkataannya itu bak palu yang sudah diketuk oleh hakim. Lana kembali ke posisinya semula, tidak jadi berbisik kepadaku, dan di sisi lainnya, Madia tersenyum ramah.

***

Nona Madia sudah kembali ke kota. Meskipun ayah merasa khawatir karena matahari sudah terbenam sampai-sampai menawarkan kamar kosong untuk menginap kepadanya, pada akhirnya ia tidak bisa memaksa keputusan Madia. Aku juga sudah mengatakan bahwa aku bersedia ikut ke pesta dengan ayah setelah makan malam. Ayah langsung memelukku karena senang dan berjanji akan membelikanku satu hal yang kuinginkan setelah pesta.

Bulan kini menggantikan peran matahari, dan aku sekarang menunggu Lana membawakanku susu hangat ke kamar, seperti biasa. Aku memegang amplop berisi surat yang kutemukan saat aku mengobrol dengan Glu, membaca sepenggal kalimat yang tertulis di surat itu sesekali, memikirkan siapa orang tidak jelas yang kutemui di rumah kaca, dan memikirkan tentang siapa Madia.

Banyak sekali hal yang terjadi hari ini, atau lebih tepatnya setelah kemarin malam Lana memberitahu bahwa dirinya adalah pyromancer. Aku berjalan mondar-mandir sembari menyilangkan lengan.

Lana mengetuk pintu, lantas masuk membawa segelas susu. Aku menaruh surat itu ke atas meja rias, duduk di bangku, lalu meniup-niup susu hangat itu sebelum akhirnya kutenggak perlahan.

“Nona, kenapa Nona mau menerima permintaan Nona Madia tadi?”

“Itu karena kau tidak mau menjawab pertanyaan yang kuajukan kepadamu kemarin malam.”

Lana mengernyitkan dahi. “Aku hanya ingin Nona tidak terlibat dengan sihir atau penyihir lain saja, sungguh! Aku bukannya tidak mau menjelaskan kepada Nona tentang bagaimana cara menggunakan sihir, sihir apa saja yang kuketahui, dan lainnya, melainkan aku takut jika Nona mengetahui sihir, Nona tenggelam ke dalamnya.”

Aku diam dan sibuk dengan susu yang sedang kuminum. Setelah menghabiskan setengahnya, aku memberikan surat yang kutaruh di meja kepada Lana. Ia membacanya lalu menatapku bingung.

“Aku menemukannya di atas meja itu.” Aku menunjuk meja kecil yang ada di samping kasur, mata Lana mengikuti. “Aku pikir kau yang menulisnya …, tapi melihat reaksimu itu sepertinya bukan kau.”

Aku kembali menyesap susu yang mulai mendingin dan menyaksikan Lana yang kebingungan. Ia melihat surat itu, menatap meja yang kutunjuk tadi, dan mengulanginya selama beberapa kali.

“Oh iya, Lana, aku juga bertemu pria aneh yang memakai mantel tebal di rumah kaca ketika kau berbelanja dengan Rino. Ia bilang kalau dirinya tamu spesial, penyihir yang menumpang lewat, dan juga dia memanggilku Alisa. Dia orang yang konyol bukan? Awalnya aku pikir dia adalah teman ayah, tapi aku tidak mengingat siapa dia sedikitpun.”

Lana membelalakan matanya, menatapku. Ia tampak sedikit menyeramkan. Aku meminum susu sampai habis lalu mengulurkan gelasnya kepada Lana. “Aku sudah selesai.”

Aku berdiri, berjalan menuju kasur, lalu melompat ke atasnya. Aku melihat Lana yang masih diam di tempat. “Lana? Apa kau baik-baik saja?”

“Nona, apakah Nona baik-baik saja? Nona tidak dilukai oleh orang itu, kan?” tanya Lana.

“Kau aneh, Lana. Jika aku terluka, mana mungkin aku bisa menceritakan hal-hal tadi kepadamu …. Oh, jangan-jangan kau tahu siapa orang itu?”

Lana menggeleng. “Selamat malam, Nona.”

Lana lantas pergi meninggalkan kamarku. Ada apa dengannya?

***

[Jumlah kata : 1316]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top