III. Pria Aneh
Percakapan kemarin malam tidak berlangsung lama. Lana hanya menjelaskan kalau ia adalah seseorang yang bisa mengendalikan api saja. Ia bisa menentukan siapa yang terkena dampak apinya dan siapa yang tidak terkena. Itu saja, selebihnya ia berkata kalau itu adalah rahasia. Aku sendiri tidak terlalu mempedulikannya.
Pagi ini adalah pagi yang cerah. Lana membangunkanku, membersihkan wajahku menggunakan handuk kecil yang ia celupkan ke air hangat. Ketika ia membuka gorden kamar, cahaya matahari seketika menerangi seisi ruangan dan membuat mataku silau. Aku membutuhkan waktu beberapa saat untuk menyesuaikan pengelihatan.
"Lana, apa kau masih tidak mau menceritakan bagaimana caranya menggunakan sihir? Mungkin saja jika aku bisa menggunakan sihir sepertimu akan ada seorang pangeran dari negeri antah berantah yang melamarku."
Aku berjalan menuju meja rias dan duduk di bangkunya, sementara Lana masih menyeringai di tempatnya berdiri. Ia mengambil sisir di laci meja dan mulai merapikan rambut berwarna keemasan milikku.
"Itu tidak mungkin, Nona. Itu hanya cerita fantasi saja, cerita fantasi. Jika Nona berpikiran seperti itu, seharusnya aku duluan yang dilamar oleh pangeran dari negeri antah berantah itu." Aku melihat Lana membuang mukanya dari pantulan cermin. "Aku lebih berharap Nona tidak pernah terlibat dengan penyihir lain selain diriku," gumamnya.
Raut wajah Lana tampak berubah menjadi agak suram. Namun, ia segera menutupinya senyuman. Ia menepuk pipinya sampai merah lalu lanjut merapikan rambutku.
Lana merahasiakan sesuatu lagi dariku.
Setelah Lana menyisir rambut dan menggantikan piyamaku dengan gaun santai, ia keluar dari kamar untuk menyiapkan sarapan. Aku mengambil kalender yang ada di meja, mencoret tanggal tiga belas dan melingkari tanggal dua puluh, tanggal di mana pesta itu akan digelar.
Sebenarnya untuk sebuah undangan pesta, itu terlalu mendadak. Mungkin saja undangan itu tiba karena pengirimannya yang terlambat. Mungkin juga karena ayah yang memikirkan dulu kapan waktu yang tepat untuk memberitahukannya kepadaku.
Sampai sekarang aku belum memutuskan apakah aku akan ikut atau tidak. Aku takut, tapi juga merasa bersalah jika menolak undangan itu karena ayah. Terlebih di usiaku sekarang, aku juga harus mencoba berkenalan dengan gadis-gadis seusiaku, menghadiri pesta teh, dan berkengkrama tentang hal-hal remeh.
Aku menepuk pipiku lalu pergi ke luar kamar. Membiarkan hal itu menghantui pikiran untuk sementara sampai waktu yang akan tiba. Aku mengetuk kamar ayah, memanggilnya, dan menunggu suara hangatnya menjawabku. Namun, suara ayah tidak terdengar. Ayah sudah pergi ke pabrik.
Aku menuruni tangga, menuju ruang tamu, lalu duduk di meja makan. Menunggu sarapan selesai dimasak. Aku menengok jendela, melihat taman bunga dan juga kolam ikan. Tak lama, Rino datang menghampiri kolam itu sambil membawakan pakan untuk ikan-ikan. Ia menyebarkan pakan itu ke kolam. Saat mataku dan matanya bertemu, ia melambaikan tangannya kepadaku.
Dorothy dan Lana datang menyiapkan sarapan. Kali ini menunya adalah roti panggang dengan telur mata sapi di atasnya, dan tentu saja ada segelas air putih. Aku menyantap hidangan itu dengan seksama, menggunakan etika makan bangsawan yang rumit. Kata ayah aku harus membiasakan hal itu, mengingat status ayah yang merupakan seorang Baron.
"Nona, ada satu pesan yang ingin saya sampaikan ke Nona dari Tuan," ucap Dorothy ketika Lana sibuk membersihkan meja makan.
"Pesan apa?"
"Tuan bilang seorang perancang busana akan datang kemari. Maka dari itu saya diperintahkan Tuan untuk mengukur tubuh anda."
Aku mengernyitkan dahi. Lana pergi membawa piring dan alat makan yang telah kugunakan, dan meninggalkanku bersama Dorothy.
"Tuan berencana membuatkan nona gaun pesta yang baru setelah beliau melihat lemari Nona. Karena semua gaun pesta Nona sudah kecil, Tuan jadi memutuskan hal itu," jelas Dorothy.
"Aku, kan, belum bilang kalau aku akan pergi ke pesta!" Aku menghirup napas panjang dan membuangnya. "Baiklah, aku akan menuruti permohonan ayah," ucapku pasrah.
***
Aku merebahkan diriku di kasur dengan lengan kanan yang menutupi dahi. Sekarang yang kulihat hanyalah langit-langit kamar yang terbuat dari kayu serta lampu yang menggantung indah.
Setelah Dorothy mendapat ukuran tubuhku, aku tidak tahu hal apa lagi yang harus kulakukan. Aku kembali berkutat dengan dilemaku, apakah aku harus ikut atau tidak. Aku mengambil Glu, boneka beruangku yang sedang duduk santai di meja rias lalu kembali melompat ke atas kasur.
"Sepertinya aku harus ikut ke pesta itu, Glu."
Aku menggerak-gerakkan lengan Glu, membayangkan apa yang akan Glu katakan jika ia benar-benar hidup.
"Ayah sampai membuatkan gaun pesta yang baru untukku. Jika aku menolaknya kali ini, ayah pasti akan kecewa .... Aku tahu jika ayah selalu menutupi kekecewaannya itu dengan senyuman. Jika aku menolak ajakanya kali ini, terlebih lagi setelah ayah membuatkan gaun baru untukku, ayah pasti akan merasa lebih kecewa dari biasanya."
Aku kali ini memainkan bagian kepala Glu. Mencubit pipinya, menyentuh hidung dan mata yang merupakan sehuah manik hitam, dan memainkan pita kecil yang dijahit di dekat telinga kirinya.
Aku berdiri di atas kasur setelah menimang-nimang, dan membulatkan keputusan. Aku mengangkat Glu tinggi-tinggi. "Baiklah, aku akan ikut pesta itu. Aku tidak peduli dengan rasa takut itu. Aku yakin, jika bersama ayah tidak akan terjadi apa-apa!"
Aku turun dari kasur lalu meletakkan Glu ke posisinya semula. Aku meregangkan tubuh. Baiklah, aku akan memberitahu ayah setelah ia pulang.
Aku menatap sekitarku, dan menemukan sebuah amplop di atas meja kecil di samping kasur. Amplop itu tidak memiliki stempel ataupun perangko, hanya ada namaku saja yang tertulis di tengahnya. Penasaranku memuncak, aku mengambil surat dari amplop yang tidak tahu asalnya dari mana itu lalu membacanya.
Kepada Nona Mary Faercroft
Aku adalah seorang bayangan yang akan selalu menjagamu dari kegelapan. Berhati-hatilah terhadap penyihir selain orang terdekatmu.
Aku memasukan surat itu ke dalam amplopnya kembali. Apakah Lana yang menyimpan ini? Namun, aku merasa kalau tadi tidak ada surat ini ketika aku berbicara dengan Glu.
Aku keluar dari kamar, mencari sosok Lana di lantai bawah. Namun, kata Dorothy ia sudah keluar bersama Rino untuk berbelanja. Dorothy bertanya kenapa aku mencarinya, tapi aku tidak menggubrisnya. Aku hanya akan mengatakan tentang surat ini kepada Lana.
Aku mengambil sandalku, memutuskan untuk pergi ke rumah kaca, sekedar melihat-lihat tanaman hias dan bunga berwarna warni yang hanya bisa tumbuh di dalamnya. Langkahku terhenti ketika aku melihat bunga angrek putih yang dihinggapi kupu-kupu bersayap hitam dengan corak ungu yang indah. Tatkala kupu-kupu itu mengepakan sayapnya dan pergi, aku melihat seseorang pria berambut ikal dan mengenakan mantel berwarna coklat muda yang sepertinya panas tengah berdiri di tengah-tengah ruang.
"Halo ..., Tuan? Anda siapa?" Aku melangkah pelan, mendekati sosok pria yang tidak kukenal itu, "bagaimana caranya Anda bisa ada di sini?"
Sambil melangkah, aku mencoba mengingat-ingat siapa pria itu. Apakah ia rekannya ayah? Akan tetapi aku tidak mengingat siapa orang itu. Pria itu kali ini menatap arloji yang mengikat pergelangan tangannya, masih belum membalas.
"Sepertinya kau bukan rekan ayah atau siapapun yang kukenal. Kau sebaiknya pergi dari sini!" tegasku.
Pria itu baru menyelesaikan kesibukan tidak jelas dengan arlojinya ketika aku sudah berada di depannya. Ia berlutut, menyeringai, dan menatap mataku. "Sebaiknya jangan terlalu kejam terhadap tamu spesial seperti diriku, Nona manis." Ia meraih tanganku, "aku hanyalah seorang penyihir yang sedang menumpang saja."
Aku dengan sigap menarik tanganku ketika ia akan menciumnya. Aku menatapnya tajam, mencoba mengusirnya.
"Lho, bukannya etika bangsawan di dunia ini memang seperti itu?" Pria itu berdiri, menggaruk kepalanya.
"Etika bangsawan memang seperti itu, tapi siapa juga orang yang mau tangannya dicium oleh orang aneh bermantel tebal di musim panas, mengabaikan tuan rumah ketika ditanya, menganggap dirinya tamu spesial, mengaku-ngaku penyihir, dan berada di wilayah rumah orang lain tanpa ada yang mengizinkan!"
Pria itu terdiam sesaat, menghala napas, lalu mengangkat bahu. "Baiklah, Nona adalah yang berkuasa di sini." Pria itu melangkah ke pintu, "sampai bertemu lagi di lain waktu, Alisa. Ahh... tidak, di dunia ini namamu adalah Mary."
Pria tidak jelas itu keluar dan menutup pintu. Aku mengikutinya, berlari kecil menuju pintu, dan membukanya. Aku mencari sosok pria itu untuk memastikan bahwa ia sudah benar-benar keluar dari rumah. Aku berkeliling di sekitar rumah kaca dan tidak menemukan pria aneh itu. Pria itu sudah menghilang bak di telan bumi.
"Dasar pria aneh," ketusku.
***
[Jumlah kata : 1300]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top