Part 9

"Kita harus menggunakan cara lain untuk mendapatkan senjata api dari pabrik Diego." Eduardo berjalan mondar-mandir di hadapan para anak buahnya. Ini sudah kesekian kali bernegoisasi pembelian senjata api dari pabrik Diego, tetapi selalu mendapat penolakan mentah-mentah.

"Kita perlu melakukan gertakkan tegas. Membakar sebagian kebun gandumnya, misalnya," usul Matt--anak buah Eduardo. "Kelompok Moreno membutuhkan senjata api itu dan kita harus segera mengirimkannya ke Italia. Hasil survey, senjata api dari pabrik Diego memang yang paling bagus kualitasnya."

"Aku tahu. Itu sebabnya aku membuat perjanjian dengan Moreno. Aku mengirim senjata api buatan dari pabrik Diego ke sana dan mereka akan mengirim heroin ke sini."

"Dan kau membuat perjanjian konyol, Ed," sahut Maxime santai.

Eduardo langsung menatap sang adik. Ia mendengkus kesal. "Dan kau akan menyalahkanku? Aku melakukan ini untuk kelancaran bisnis kita juga, Max."

Maxime mengangguk tanpa keraguan. "Tentu aku menyalahkanmu. Kau sudah tahu mendapatkan senjata api dari pabrik legal sangat susah, dan kau dengan entengnya membuat perjanjian itu. Macam punya pabrik sendiri saja."

"Max, daripada kau menyalahkanku. Mending bantu aku cari solusi." Eduardo semakin kesal.

Maxime beranjak dari kursi, melangkah menghampiri sang kakak yang lebih tua darinya sepuluh tahun. "Dengarkan aku. Kalau kita melakukan tindakan anarkis, kita sendiri yang akan celaka. Mereka tentu tidak akan tinggal diam. Kepolisian akan mengusut tuntas apa penyebab kebakaran di kebun Diego. Dan kalian harus ingat, kebun itu penjagaannya sangat ketat."

"Lalu? Bagaimana kita bisa mendapatkan senjata api dari pabriknya?" Eduardo menatap adiknya tak berkedip.

"Aku sedang mendekati adik iparnya juga anaknya. Mereka tidak tahu siapa aku. Yang mereka tahu, aku karyawan kantoran biasa."

Alis hitam Eduardo saling bertaut, menatap adiknya penuh tanya. "Kau tahu adik ipar lelaki itu?"

"Yeah. Selama ini aku mengikutinya dan mengajaknya berkenalan di wahana permainan. At least, sekarang sudah mulai dekat. Tinggal menjalankan rencana yang tepat. Dan yang aku tahu, adik iparnya sangat membenci Diego karena lelaki itu penyebab kakaknya meninggal."

Eduardo berhenti mondar-mandir dan berdiri di depan sang adik. Ia mengembangkan senyum semringah sambil menjentikkan jari. "Kalau begitu lanjutkan dan cari tahu apa kelemahan Diego. Kita bisa membuat ancaman yang membuat lelaki itu tak bisa berkutik. Dengan begitu, aku akan melayangkan surat perjanjian jual-beli senjata api antara aku dan dia."

"Gunakan cara elegan tanpa tindakan anarkis. Jangan khawatir, kita pasti bisa mendapatkan senjata api itu. Dan aku bisa mendapatkan adik iparnya sekaligus." Maxime menepuk pundak sang kakak lantas melangkah menuju pintu.

"Kau menyukai perempuan itu?" tanya Eduardo.

Maxime menoleh ke belakang, salah satu tangannya sudah memegang gagang pintu. "Cukup tertarik. Dia sangat cantik dan tipe wanitaku." Kemudian, ia membuka pintu, keluar dari ruang kerja Eduardo.

Maxime mengayunkan kaki menuju kamarnya. Membicarakan soal Sienna, ia jadi merindukan perempuan itu. Dalam benaknya terus teringat tawa renyah Sienna dan Ken sewaktu di restoran tadi siang. Masih menaiki anak tangga, Maxime mengeluarkan ponsel dari saku jas. Kedua ibu jari tangannya menari-nari bebas di atas layar mencari kontak perempuan itu, lantas meneleponnya setelah ketemu.

***

"Twinkle, twinkle, little star
How I wonder what you are
Up above the world so high
Like a diamond in the sky."

Sienna menghentikan alunan  nyanyiannya serta tepukan di bokong Ken saat ponsel di atas nakas berdering. Ia menatap wajah bocah lelaki yang bersembunyi di dadanya, untuk memastikan jika telah terlelap. Beringsut pelan, salah satu tangan Sienna terulur ke nakas mengambil ponsel. Ia mengulas senyum melihat nama Maxime tertera di sana. Tidak membuang itu, ia pun langsung menyambungkan telepon tersebut.

"Hai, kau sudah tidur? Maaf kalau mengganggumu."

Sienna menggeleng, senyumnya belum memudar. "Aku baru menidurkan Ken." Ia mengarahkan ponsel ke Ken, Maxime tampak tersenyum dan mengangguk.

"Oh God, dia menggemaskan sekali," puji Maxime melihat Ken meringkuk dalam dekapan Sienna. "Dia tidur di tempatmu lagi?"

"Tidak. Sekarang aku yang tidur di rumahnya."

"Sekamar dengan Diego?" tanya Maxime cepat.

"Oh, Max. Yang benar saja aku sekamar dengannya. Dia punya istri, tentu tidur dengan istrinya. Aku yakin, sekarang mereka lagi proses berkembang biakan."

"Apa kau memikirkan itu sedari tadi?" Maxime mengulum senyum menggoda.

Sienna melihat lelaki itu memasuki kamar, tidak lama merebahkan diri ke kasur. Sprei silver polos menjadi background lelaki itu sekarang.

"Noo!" Sienna langsung membekap mulut saat sadar nada suaranya meninggi. Ken menggeliat pelan, dan ia cepat-cepat menepuk bokongnya lagi. "Aku hanya menebak. Apalagi mereka sama-sama gila, pasti memiliki heavy sex, right?" Sekarang ia memelankan suara.

"Aku pikir kau sedang membayangkan pergulatan mereka." Maxime tergelak, membuat Sienna salah tingkah.

"Ck. Ganti topik, please." Sienna merengut. "Btw, sekarang sudah jam dua belas dan kau baru pulang?"

"Ya. Ada acara dengan teman-temanku. Dan aku merindukanmu, Sienna. Jadi, sekarang aku meneleponmu."

Sienna mengulas senyum lagi. Ia tahu Maxime sedang menggombalinya, dan itu berhasil membuat jantungnya berdebar. Ia salah tingkah. "Max, tadi siang kita baru bertemu."

"Dan aku ingin terus bersamamu."

"Kenapa?"

"I feel falling in love with you, Sien. Dari pertama kita bertemu, aku tidak bisa stop berpikir tentangmu. Dan aku ...."

"Aku apa?" Sienna mengernyit, tidak sabar mendengar kelanjutannya.

"Aku tidak akan melanjutkan di telepon. Besok malam bisa jalan keluar bersama? Hanya kita berdua, kasihan Ken kalau ikut."

Sienna tampak berpikir, tidak lama mengangguk. "Oke."

"Aku akan menjemputmu di butik."

"Oke."

"Good night, Sweet Heart."

Maxime memutuskan sambungan telepon, membuat Sienna terkesiap mendengar nama panggilan itu.

"Sweet Heart?" gumam Sienna sembari mengulum senyum. "Apa dia ... menyukaiku?" tanyanya pada diri sendiri.

Sienna menaruh ponselnya lagi ke atas nakas, tepat Diego memasuki kamar Ken. Lelaki itu melangkah cepat, wajahnya tampak berantakan, masih terlihat tegang dengan rahangnya yang mengeras.

"Fuck, Diego! Kenapa kau kemari, hah?" tanya Sienna menekankan ucapannya. Ia beranjak duduk dan bersandar.

"Ribut dengan Milly dan aku tidak bisa tidur."

"Oh, God! Seriously?" Tatapan Sienna penuh ejek, ia mengulum senyum penuh arti. "Bertengkar dengan wanita tercintamu, apa aku tidak salah dengar?"

Diego sudah duduk di kursi dekat jendela. Ia bersandar sambil memijat keningnya. "Milly meributkan masalah keuangan dan dia tidak menyukaimu tinggal di sini."

"Fix! Aku akan tinggal lebih lama di sini," ucap Sienna senang. Akhirnya, ia menemukan jalan untuk membuat kedua orang itu dilanda kekalang kabutan. Diego yang tak ingin pisah dengan Ken, dan Milly yang merasa risih atas kehadiran dirinya di sana. Sekarang tinggal menarik hati Diego. Setelah berhasil, detik itu juga ia akan menghitungan mundur, lalu pergi dari rumah lelaki brengsek itu.

"Kenapa Milly meributkan masalah keuangan?" tanya Sienna lebih santai. Ia tidak memutus pandangan dari lelaki yang terbalut kimono, wajahnya tampak kepusingan.

"Dia sangat boros, Sien. Beda sekali dengan Morgan."

"Itu karma untuk lelaki brengsek sepertimu. Jadi, nikmatin saja memiliki istri yang menurutmu lebih segalanya dari Morgan. Benar begitu, Tuan Wallis? Milly pilihanmu sendiri sampai kau rela menduakan Morgan, bukan?."

"Dan aku menyesal." Diego mendesah berat. Ia menurunkan tangannya dari kening, lalu menegakkan tubuh seraya menatap Sienna.

"Percuma menyesal sekarang."

"Aku ingin menceraikannya. Dia juga tidak mau menyentuh Ken sama sekali."

"Dan itu terdengar menarik." Sienna berucap senang, mengulas senyum lebar. "Untuk apa mempertahankan istri yang tak ada gunanya? Sibuk foya-foya dan tak mau menyentuh anakmu. Bahkan, lebih bagus kau memelihara anjing daripada Milly." Ucapannya sangat pedas, tapi masuk logika.

"Kau benar, Ken butuh sosok Mommy yang mau merawatnya penuh kasih sayang sampai dia tumbuh dewasa." Kini tatapan Diego jatuh ke anaknya yang terlelap pulas. "Kesalahan terbesarku karena tetap menikahi Milly."

"Lelaki mata keranjang memang begitu. Sangat egois kepada istri sah dan anaknya. Saat ada perempuan yang merayu, dia gampang sekali terayu. Pokoknya lelaki mata keranjang itu mudah mengabaikan apa yang sudah dipunya ketika kedatangan yang baru. Mentang-mentang punya banyak uang, merasa tampan padahal biasa saja, dia dengan seenaknya bertingkah. Dan yang baru ini kebanyakan minusnya daripada plusnya. Herannya, si lelaki mata keranjang tetap menerobos benteng kokoh yang didirikan bersama istri sah. Meskipun menghasilkan luka dalam, dia tetap akan melanjutkan sebelum keinginannya terlaksana. Ck! Dasar lelaki mata keranjang. Ingin sekali aku mencekiknya," gerutu Sienna kesal.

"Tapi, kau tidak melakukan itu kepadaku?" Sebelah alis Diego terangkat satu.

"Apa?" Kini Sienna yang mengernyit bingung.

"Mencekikku."

"Ingin kulakukan. Tapi, ada Ken. Dan aku tidak akan mencotohkan hal buruk di hadapan keponakanku. Bisa-bisa dia jadi gangster nanti. Tidak." Sienna menggeleng tegas. "Morgan tidak mau anaknya seperti itu."

"Sekarang Ken tidur dan kau bisa melakukan niatmu," tantang Diego. "Aku sudah siap kalau kau mau mencekikku."

Sienna terdiam, menajamkan tatapan ke Diego. Sementara lelaki itu menunggu pembencinya bertindak. Namun, Sienna tetap diam di tempat dengan tatapan seakan ingin menerjang.

"Kau tidak akan berani melakukan itu. Karena kau perempuan lemah, Sien. Hanya ucapan saja yang pedas," ejek Diego.

"Aku bukan perempuan seperti yang kau pikirkan, Jerk!"

Sienna beranjak turun. Dress tidur berbahan sutra tanpa lengan meluruh, memperlihatkan lekukan tubuhnya semakin jelas dengan dada tanpa balutan bra. Kaki jenjangnya melangkah elegan menghampiri Diego. Kedua tangannya mengepal seakan meremas sesuatu, padahal ia sedang melakukan pemanasan untuk mencekik sang ipar.

"Diego!"

Pintu kamar terbuka lebar. Sienna dan Diego kompak menoleh, Milly berdiri di sana. Menangis.

"Aku minta maaf."

Diego beranjak berdiri. Sementara Sienna tersenyum sinis kepada perempuan itu.

"Sayang, aku tidak ingin dia mengganggu kita," ucap Sienna dibuat-buat.

"Apa kau bilang? Sayang?" Milly menaikkan oktaf suara.

Sienna langsung mengalihkan pandangan ke arah Ken. Beruntung sekali bocah itu tidak terganggu oleh pekikan suara sang nenek sihir. Kemudian, ia menatap Milly kembali sembari meletakkan telunjuk tangan kanan di depan mulut. "Ssst! Kau bisa membangunkannya."

Perubahan suara dan tingkah Sienna kentara sekali. Terlihat berani dan binal. Diego merasakannya.

"Aku tidak peduli mau dia terbangun atau tidak. Kedatanganku ke sini untuk menjemput suamiku." Milly melangkah masuk. Dan ia menggeram saat Sienna merengkuh Diego dengan beraninya.

"Malam ini dia akan tidur di sini denganku. Iya, kan, Sayang?" Sienna mengalihkan pandangan dari Milly ke Diego. Ia langsung mencium bibir lelaki itu, memagutnya mesra.

Tanpa basa-basi, Milly langsung menarik rambut Sienna dan menjauhkannya dari Diego. "Bitch! Menjauh dari suamiku dan jangan pernah bersikap kurang ajar."

"Kenapa? Gerah, ya? Tidak suka? Takut posisinya tergeser?" Sienna berkacak pinggang, berkata penuh ejekan. Ia bahkan mengabaikan rasa panas di pori-pori kepalanya, terlalu senang melihat Milly meradang dengan emosi membara.

"Bitch. Ah, julukan itu pantas kau sandang, Milly. Dan asal kau tahu, lelaki yang gampang terayu tidak akan setia pada satu wanita. Seperti yang dilakukan Diego ke Morgan, dan sekarang kau merasakannya, kan? Diego memintaku tidur di rumahnya, sekarang dia datang ke kamarku,  dan ... kau pahamlah apa yang akan dilakukan kami. Persis seperti yang dilakukan Diego ke dirimu saat dia masih menjadi suami Morgan. Bercinta."

"Sien."

"Diam, Sayang. Katakan saja kau sudah bosan sama perempuan yang pekerjaannya hanya menghambur-hamburkan uang." Sienna memperingati Diego. "Sekadar informasi untukmu, Bitch. Diego akan menceraikanmu."

"Tidak." Milly menggeleng tegas. "Aku tidak akan melepaskan Diego begitu saja."

"Tapi, dia akan."

Diego menarik Milly keluar dari kamar. Keributan keduanya semakin menjadi dan tidak bagus di dengar sang anak. Sementara Sienna sangat puas melihat keduanya di ambang bencana.

"Pokoknya Milly harus merasakan sakit seperti yang dirasakan Morgan," ucap Sienna penuh tekad. "Maafkan aku, Mor, sudah lancang mencium suamimu. Tapi, ini demi kelancaran rencanaku untuk balas dendam. " Ia menunduk sambil terpejam. Ada rasa bersalah dalam dirinya kepada Morgan.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top