Part 8
"Mau sampai kapan kau di sini?" Sienna bersedekap, menatap Diego sangat enggan. Ia berdiri di samping Ken yang sedang mencoret-coret kertas HVS dengan spidol hitam di meja tamu. Sedangkan lelaki itu duduk di kursi depan meja kerjanya, baru saja selesai menyantap makan siang.
"Semauku." Diego melirik Sienna sekilas. Tangannya menarik tisu dari box dan mengelap bibirnya dengan cepat. Ia beranjak dari kursi, membuang box bekas makanannya ke tong sampah di sebelah kursi kebesaran Sienna.
Mendengar jawaban yang mengesalkan, Sienna mendengkus. Ia berdecak. "Kau seperti seorang berandalan yang tidak punya pekerjaan. Padahal para karyawanmu bekerja keras untuk perusahaanmu," cemoohnya.
Pandangan Sienna mengikuti langkah Diego yang menghampiri dirinya. Lalu, lelaki itu berdiri di hadapannya dengan jarak sangat dekat. Sienna merasakan bulu kuduk berdiri ketika Diego mendekatkan kepala ke telinga kirinya. Embusan napas lelaki itu terasa jelas dan hangat. Dengan dada mereka yang saling menempel, jantung Sienna berdebar kencang membuat tangannya panas dingin dan ia harus menahan napas sejenak saat aroma parfum maskulin lelaki itu tercium kuat.
"Dan itu gunanya aku memperkerjakan mereka, Sien." Suara Diego melirih. Ia menghirup aroma wangi di ceruk perempuan itu. Harum yang memabukkan dan ia menyukainya. Sienna dan Morgan sama-sama perempuan yang suka merawat diri, bersih, dan elegan. Meskipun Milly juga seperti itu, tetapi Diego merasakan ada perbedaan di antara mereka. Mungkin, karena pengaruh sifat dan gaya hidup. Ya, bisa jadi seperti itu.
"Menjauh dariku. Suka cari kesempatan sekali dirimu." Sienna mendorong dada Diego yang terasa keras seperti batu. Ia bisa membayangkan bagaimana bentuk dada bidang lelaki itu. Apalagi Diego pria yang gemar olahraga, terutama ngegym.
"Well, aku akan membawa Ken pergi dari sini dan mengajaknya pulang," kata Diego enteng, langsung mendapat pelototan dari Sienna.
"Tidak." Perempuan itu mengatupkan bibir rapat-rapat, kedua tangannya mengepal kuat. "Ken tidak akan ikut denganmu. Dia akan tetap di sini dan tinggal bersamaku," lanjutnya tegas.
Diego mendekatkan diri kepada Sienna lagi, hanya berjarak beberapa senti saja. Ia menautkan kedua alis dengan kening melipat, seakan-akan heran. "Kenapa? Ken anakku, kenapa kau yang menguasainya? Kau tidak ikut membuat dia, jadi kau tidak punya hak lebih. Kecuali, kalau kau ikut membuatnya denganku dan Ken lahir dari rahimmu, Sien." Ia menelusupkan kedua tangan ke saku celana, menatap Sienna penuh minat.
Sementara perempuan itu menegakkan tubuh, mendongak, melemparkan tatapan menantang kepada Diego. "Walaupun aku tidak ikut membuatnya dan aku bukan ibu kandungnya, tapi ada darah Morgan di tubuh Ken. Morgan Kakak kandungku. Jadi, aku masih memiliki hak untuk mengasuhnya karena Ken keponakan kandungku," ucap Sienna lugas. "Kau mengabaikan Ken dan membuatnya seperti tidak memiliki orang tua. Coba kau pikir, kalau tidak ada aku yang menggantikan posisi Morgan sekarang, hidup dia akan seperti apa tinggal denganmu dan Mommy tirinya yang sama-sama mengabaikan? Anak nangis kejer semalaman saja dibiarkan. Itukah yang disebut orang tua tanggung jawab, Diego?" imbuhnya. Ia menahan emosi, melirihkan suara agar Ken tidak mendengarnya jelas.
"Oke, oke. Aku minta maaf untuk itu. Aku menyesalinya." Diego menghela napas panjang sambil menatap Ken yang masih asyik menggambar. Anaknya terlihat begitu menikmati permainannya membuat pola tidak jelas.
Sienna terkekeh lirih. "Menyesalinya? Ke mena rasa penyesalan itu dulu? Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari dulu rasa penyesalan itu ada saat Morgan masih hidup dan memintamu untuk tidak menikah lagi? Sekarang percuma kau merasa menyesal, Diego. Kau yang membuat Morgan meninggal. Kau pria paling jahat dan tak punya hati."
Sienna mengusap matanya yang berair. "Dengan rasa menyesalmu, Morgan tidak akan hidup lagi. Ken akan tetap kehilangan Mommynya. Dan kau ... Daddy pengecut yang lebih memilih kebahagiaannya sendiri daripada keutuhan rumah tangga yang bahagia."
Diego mendongak, terpejam, menarik napas panjang. "Sien, bisakah kau tidak mengungkit soal Morgan lagi? Aku mencintainya. Dan aku menyesal telah mengambil keputusan ini."
"Kau tidak mencintainya. Kau menyakitinya, bahkan sampai diembusan napas terakhirnya." Sienna menggeleng keras. "Kalau kau mencintai Morgan, kau tidak akan tergoda oleh wanita lain. Entah wanita masa lalu atau pun wanita yang baru muncul. Kalau kau mencintai Morgan, kau akan memilih dia daripada Milly. Tapi, nyatanya kau juga memilih Milly untuk dijadikan istri. Kau lelaki bajingan, Diego. Dan aku ... atas nama Morgan, sangat membencimu. Sangat."
Kali ini air mata Sienna tak terbendung lagi. Meluruh deras begitu saja, menangis tanpa suara. Diego yang melihat menjadi tak tega, ada rasa iba merayap ke dada. Lelaki itu meneduhkan tatapan. Ia ingin mengulurkan tangan menghapus jejak air mata di wajah perempuan itu. Alih-alih melakukan, Diego hanya bisa menatapnya dalam diam.
"Anty Tien, danan nanis." Ken sudah di samping Sienna, mendongak sambil menarik-narik celana kain perempuan itu. Bocah itu ikut berkaca-kaca, bibirnya berkedut, pipinya yang putih terlihat merona merah. "Daddy, danan natal tama Anty Tien." Ia berganti menatap sang ayah, seakan memprotes.
Sienna berjongkok. Ia mengulas senyum lebar, tangannya terulur menangkup pipi gembul bocah itu. Pun dengan Ken yang mengusap wajah Sienna penuh perhatian.
"Anty Tien tida boyeh nanis." Bocah itu menggeleng. "Ken tayang, Anty Tien." Lantas, ia menghambur ke pelukan Sienna. Kedua tangannya melingkar erat di leher perempuan itu.
"Iya, Sayang. Aunty Sien kelilipan saja," kata Sienna memberi pengertian palsu. "Kau tahu, kalau mata kelilipan rasanya pedas dan seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam mata ini, Sayang."
"Betitu?"
"Hehem. Kau mau membantu mengobatinya?"
Ken mengangguk semangat seraya mengurai pelukan. Ia menatap Sienna ada rasa ingin bertanya bagaimana acara mengobatinya, tapi masih kekurangan kosa kata.
"Cara ngobatinnya ditiupin, Sayang. Seperti ini." Sienna mencotohkannya sambil meniup mata bocah itu, membuat Ken bergidik geli.
"Ken mau," seru bocah itu semangat.
Sienna mengangguk. Ia pasrah Ken melakukan tugasnya meniup-niup mata dirinya. Diego yang berdiri memerhatikan interaksi keduanya, ada rasa hangat menjalar ke tubuh. Ia bahagia melihat anaknya bahagia. Jika Sienna menganggap dirinya tak acuh kepada sang buah hati, itu salah. Ia jelas-jelas mencintai Ken. Sejak kelahirannya dan menyambut dunia, ia yang pertama kali menggendong sang anak dengan luruhan air mata bahagia.
"Dudah tembuh?" tanya Ken, mendapat anggukan mantap dari Sienna.
"Terima kasih, Sayang. Ah, kau cocok jadi dokter." Sienna berucap senang, membuat sang keponakan tersenyum lebar.
"Ken mau jadi dotel."
"Iya. Nanti kalau Aunty sakit, Ken, yang ngobatin."
"Hehem." Ken mendongak, menatap sang ayah. "Ken mau jadi dotel."
Diego mengangguk. Ia mengembangkan senyum dan ikut berjongkok. Salah satu tangannya mengusap kepala sang anak penuh perhatian. "Kau akan menjadi dokter hebat suatu saat nanti."
Sienna melirik Diego sengit, tetapi hanya sebentar karena ia memusatkan perhatiannya lagi kepada Ken.
"Malam ini kau tidur di rumah Daddy, ya," pinta Diego kepada sang anak. "Kau bisa mengajak Aunty Sien."
"Tidul baleng Anty Tien."
"Iya." Diego manggut-manggut.
"Yeeey!"
"Tapi, Sayang ...." Sienna ingin memprotes kepada Ken, tapi langsung disela Diego.
"Demi Ken. Aku percaya kau bisa menjadi pengganti Mommynya, Sien. Aku tidak mau anakku tinggal di tempat lain, selain rumahnya."
***
Milly tidak berhenti mengoceh sepanjang perjalanan menuju mansion Diego. Sejak tadi siang di tempat perbelanjaan, hatinya sudah sangat dongkol. Tentu karena Diego yang tidak memberinya uang untuk membeli tas keluaran terbaru, padahal semua teman-temannya beli. Semuanya. Hanya dirinya saja yang gigit jari sambil menggerutu.
"Percuma aku menikahi dia kalau uangnya saja susah keluar. Masa ia hanya dijatah seratus ribu dollar, mana cukup? Astaga, dasar pelit! Padahal uangnya sudah menggunung. Perusahaannya di mana-mana. Mau uangnya dihambur-hamburin juga sampai tujuh turunan pun tidak akan habis," ocehnya lagi, dengan kesadaran yang dua puluh lima persennya menghilang karena pengaruh alkohol.
Milly membanting setir ke kanan, memasuki gerbang yang dibuka secara otomatis oleh penjaga dan langsung menuju garasi bawah tanah. Sekarang sudah jam sembilan malam. Ia melihat mobil yang dikendarai Diego sudah terparkir di garasi, berjejer di antara enam mobil lainnya. Lelaki itu sudah pulang. Rencananya ia akan merajuk, mendiamkan Diego karena tadi tidak menuruti keinginan dirinya.
Namun, teringat semalam lelaki itu menginap di rumah Sienna, Milly jadi berpikir ulang. Jika ia merajuk dan marah, pasti Diego akan cepat bosan kepada dirinya. Lelaki itu akan dengan mudah berpaling ke Sienna, dan dirinya akan didepak dari rumah besar itu. Tidak. Milly tidak ingin kehilangan gelarnya dari Nyonya Wallis.
Sambil memarkirkan mobil, Milly menggeleng keras menampik pikiran yang terkesan buruk. Ia akan merevisi rencananya. Ia harus bersikap manis, merayu, dan membawa Diego dalam kenikmatan duniawi seperti yang sering dilakukan bersama. Ya, itu ide yang lebih menarik untuk meluluhkan hati sekeras baja.
Milly keluar dari mobil. Ia berjalan cepat keluar dari area garasi, lalu menaiki anak tangga sambil menahan kepala yang sedikit keliyengan. Ia memasuki rumah, biasanya sepi. Namun, kali ini ia mendengar suara ramai bocah cilik itu. Ken pulang ke rumahnya lagi dan belum tidur. Yang membedakan adalah suara tawa seorang wanita. Jika pelayan, mereka tidak akan seberani itu.
"Oh, astaga, Ken. Kau membuat wajah Daddymu hancur! Hahaha. Sudah seperti badut."
Itu suara Sienna. Milly semakin cepat melangkah, tidak sabar ingin melihat apa yang sedang terjadi.
"Sien, hei! Jangan membidikku."
Kali ini Diego yang bersuara. Milly sudah sampai di bawah cekungan antara ruang santai dan ruangan penghubung tangga garasi. Ia berdiri mematung melihat pemandangan di ruang santai tersebut. Ken sedang mencoreti wajah Diego dengan spidol besar, sedangkan Sienna berdiri sambil membawa ponsel diarahkan ke Diego. Sementara lelaki itu, dia duduk pasrah di karpet bulu bersandar sofa.
Milly mengepalkan kedua tangan. Pandangannya menajam. Ia tidak suka melihat mereka tertawa bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top