Part 4
Diego keluar dari walk in closet sudah rapi dengan kemeja putih dan celana kain hitam. Sepatu pantofel hitam mengkilap telah melapisi telapak kakinya, memperlihatkan penampilannya semakin menawan. Masih memasang dasi dan membuat simpul, lelaki itu melangkah mendekati ranjang. Tatapan memerhatikan perempuan yang masih terbaring, dengan tubuh telanjangnya terbungkus selimut tebal sampai dada.
"Ken butuh sosok Mommynya. Bisakah kau melakukan pendekatan padanya, Mill?" pinta Diego, saat terpikir obrolannya dengan Sienna semalam. Perempuan itu benar, Ken membutuhkan sosok mommynya dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Namun, bukan jawaban yang di dapat, Milly justru mengambil ponsel di nakas dan sibuk sendiri. Sama sekali tidak menggubris ucapan Diego. Seakan-akan, suara lelaki itu hanya angin lewat saja.
"Mill, aku bicara padamu." Diego sedikit menaikkan oktaf suaranya. Ia tidak suka diabaikan dan berhasil membuat Milly tersadar.
Perempuan itu menjauhkan ponsel dari wajah. Ia beranjak duduk, lalu melemparkan tatapan ke Diego. "Aku sudah mengatakan padamu berulang kali, Diego. Aku tidak suka anak kecil. Bagiku itu sangat merepotkan. Lagipula Ken sudah punya Marlin yang mengurus. Ada Sien juga yang bisa menjadi ibu penggantinya."
"Sien tidak setiap waktu di sini. Dan kau istriku satu-satunya sekarang, itu artinya kau Mommy pengganti untuk Ken."
Milly mendengkus. Niatnya menikahi Diego adalah hidup enak, memiliki tempat tinggal nyaman, dan tidak memikirkan beban hidup. Intinya ia bisa mendapatkan kebebasan. Melakukan apa pun sesukanya seperti shopping, jalan-jalan, dan bersenang-senang dengan temannya.
Memang, dulu ia pernah meninggalkan Diego karena lebih memilih lelaki yang lebih kaya dari lelaki itu dan tinggal di luar negeri. Tanpa sepengetahuan Diego tentu saja. Namun, itu dulu sebelum ia tahu bahwa Diego anak konglomerat. Diego masih hidup di kos-kosan rumah susun, tempatnya terlalu sempit, tidak beratur, dan Diego masih kuliah, belum jelas masa depannya. Hanya saja lelaki itu pandai dalam urusan ranjang yang membuatnya bertahan.
Setelah ia kembali ke negaranya dan tahu siapa Diego, ia mulai mendekatinya lagi. Tidak peduli sekali pun meski Diego telah memiliki istri dan anak. Ia tahu jika Diego sangat mencintai dirinya dulu, sehingga tidak susah untuk mengambil hatinya lagi. Tinggal melemparkan rayuan dan tubuh sexynya ke lelaki itu, ia berhasil memikatnya lagi dan menyingkirkan Morgan.
Milly turun dari ranjang, membiarkan tubuhnya telanjang. Ia mendekati sang suami, lalu mengambil alih aktivitas Diego merapikan dasi. "Die, sebelum menikah kita sudah membuat kesepakatan ini. Aku tidak akan mengganggu Morgan dan tidak akan merebut Ken dari Mommynya," ucapnya dibuat selembut mungkin, tampak centil.
"Itu dulu, Milly. Sekarang ceritanya berbeda. Morgan sudah tidak ada. Ken butuh sosok Mommynya, dan harapanku hanya ada padamu."
"Sayang, please, jangan paksa aku. Aku tidak sesabar itu mengurus anak kecil. Ken juga sudah besar, sudah bisa jalan sendiri, sudah bisa makan sendiri, dan dia harus dilatih mandiri sejak dini." Milly mengalungkan kedua tangan di leher Diego, lantas menciumnya memberi lumatan panas dan sensual. Ia sengaja merapatkan tubuh ke lelaki itu, menggesekkan dadanya ke dada Diego.
"Nanti teman-temanku mau kemari. Ada acara party kecil-kecilan," kata Milly setelah melepaskan ciumannya. Matanya tampak berbinar menatap Diego sembari mengulas senyum manis.
"Party? Kau tidak bilang padaku sebelumnya." Diego terlihat kaget. "Rumahku tidak sembarang orang bisa masuk. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa datang kemari dan itu melalui undangan. Sudah sejak dulu." Ia tidak menyukai keramaian di rumahnya semacam pesta. Jika mengadakan acara pun ia menyewa gedung untuk berkumpul. Sudah bisa dibayangkan, acara semacam pesta pasti akan membuat kekacauan di rumahnya.
"Hanya lima orang, Diego. Temanku semua. Partynya tidak meriah juga. Hanya kumpul-kumpul biasa, minum, makan, ngobrol, itu saja." Milly menjeda ucapannya, lalu melanjutkan lagi, "boleh, ya. Pleaaase. Aku sudah terlanjur mengundang mereka. Malu lah, kalau membatalkan."
Diego mengembuskan napas berat. Mimik wajahnya berubah seketika. Ia melepaskan tangan Milly yang melingkar di lehernya, lalu mengambil jas hitam dan memakainya. Ia meraih tas kerja di meja kaca depan sofa. Sebelum berlalu, ia berkata dingin, "Ini pertama dan yang terakhir kau mengundang teman-temanmu kemari. Setelahnya tidak ada lagi."
"Tapi, Sienna kau bebaskan datang kemari, Diego," protes Milly, meninggikan suara. Ia tidak terima dibedakan oleh Diego.
"Dia termasuk keluargaku. Adik iparku." Diego membanting pintu kamar. Ia merasakan banyak perbedaan antara Milly dan Morgan.
Morgan wanita berhati lembut, gampang diatur dan penurut, tidak suka membantah kecuali permintaan dirinya akan menikah lagi. Dan sialnya, keputusannya menikahi Milly salah besar. Ia hanya mengikuti hawa nafsu semata. Dibutakan oleh perasaan cinta pertama yang masih merayap di dinding hatinya.
Langkah Diego membawanya ke kamar sang anak. Ken masih tertidur pulas, sedangkan Marlin duduk di samping ranjang, menunggunya.
"Dia sangat lelap tidurnya," kata Diego sambil mengelus kepala sang anak.
Rambut Ken terasa lembut bagai sutra. Wangi shamponya seperti aroma permen strawberry, ada manis-manisnya. Diego mengulas senyum. Kemudian, ia mendaratkan kecupan di pipi gembul sang anak. Ia juga menyukai aroma Ken saat tertidur, hawanya terasa menghangatkan.
"Iya, Tuan. Mungkin dia merasa kelelahan setelah kemarin bermain seharian dengan Nona Sienna," sahut Marlin, berdiri di belakang Diego.
"Nanti kabari aku kalau dia sudah bangun. Aku akan meneleponnya setelah sampai kantor. Oh, ya, kalau ada apa-apa dengannya, segera kabari aku, Marlin."
"Baik, Tuan." Marlin mengangguk meskipun Diego tak terlihat.
Lelaki itu mengecup pipi Ken sekali lagi, kemudian berlalu dari kamar.
***
"Girls, selamat bersenang-senang!" Milly mengangkat gelas kaki berisi bir.
Teman-temannya mengikuti lantas bersulang sembari tertawa lepas. Dengan pakaian bikini, mereka berkumpul di kolam renang belakang rumah Diego. Tempat itu cukup luas, sebelahnya terdapat taman dan lapangan rumput. Sekitarnya dikelilingi pohon cemara serta pohon rindang sebagai pagar pembatas tanah pemilik rumah.
Tepat di samping kolam renang, terdapat gazebo dengan bangunannya yang mewah. Milly mengatur dekorasi di sana seapik mungkin, meminta pelayan rumah menata meja memanjang, atasnya telah tersaji berbagai macam makanan yang ia pesan dari luar.
"Kau hebat bisa merebut hati Diego lagi. Ternyata rumahnya sebesar ini," kata Sasha, senyumnya merekah.
"Bukan rumah lagi, tapi mansion. Lihat saja, bangunannya besar dan kokoh. Memiliki banyak ruangan dan berdiri di atas tanah yang sangat luas. Oh, Mil, kau selalu berhasil memikat para lelaki kaya," kata Marcy, pandangannya mengitari sekitar.
"Semua mudah kudapat, termasuk Diego. Buktinya, dia mau menikahiku meskipun sudah memiliki anak dan istri."
Milly meletakkan gelasnya ke meja, lalu menyalakan musik DJ membuat suasana semakin ramai dan heboh. Ia berlari menuju kolam renang lantas menceburkan diri ke dalamnya. Tiga temannya ikut, dua temannya lagi menikmati makanan yang tersaji.
Sementara di dalam rumah, Marlin belum bisa menenangkan Ken yang terus menangis. Seharusnya sudah waktunya bocah itu tidur siang. Namun, entah apa yang membuatnya mengamuk dan terus meracau memanggil mommynya, tangan kanan Ken terangkat seakan minta pertolongan.
"Itut Mommy, huaaa, itut Mommy." Ken berseru di sela tangisnya. Tubuhnya tidak bisa diam dalam gendongan Marlin.
"Mommy tidak boyeh pelgi! Ken itut Mommy." Tangis Ken semakin kencang, terisak-isak. Tubuhnya seakan minta dilepaskan dari gendongan Marlin untuk mengejar seseorang.
"Cup cup cup, Ken, tenang, ya." Marlin terus menangkan, tetap saja gagal.
"Tendong Mommy, huaaa, itut Mommy."
Marlin kebingungan. Hatinya merintih saat Ken mulai bertingkah seperti melihat mommynya.
"Telepon Tuan saja, Marlin," kata Sofia, pelayan rumah lainnya yang ikut menyaksikan kepiluan Ken. "Minta tolong nyonya baru juga percuma, dia hanya memikirkan dirinya sendiri." Suaranya terdengar tidak menyukai Milly.
Marlin mengangguk menurut. Ia mengambil ponsel dari saku baju seragam kerjanya. Dengan segera ia menghubungi Diego. Namun, sampai lima kali menghubungi, lelaki itu tidak mengangkatnya.
"Huaaa, itut Mommy. Jangan pelgi!"
Ken memberontak dari gendongan Marlin. Perempuan itu hampir saja kelepasan. Beruntung, Ken masih bisa diselamatkan.
"Tidak diangkat sama Tuan," kata Marlin di sela kecemasannya.
"Tidak ada pilihan lain, Marlin. Telepon Nona Sienna saja," usul Sofia lagi.
"Baiklah." Marlin mengangguk. Ia berganti menelepon Sienna.
***
Di ruang kerjanya, Sienna sibuk mendesain busana model terbaru. Tadi, saat perjalanan menuju butik, ia mendapat ide yang tercetus tiba-tiba dalam benak. Tangannya sangat gatal jika tidak segera membubuhkan coretan pensil ke kertas untuk melihat hasil. Namun, baru separuh perjalanan, konsentrasinya buyar ketika ponsel di samping lengan kanan berdering keras.
Perempuan itu mendengkus kasar. Agak kesal. Namun, setelah melihat nama yang tertera dalam layar membuatnya bersikap biasa lagi. Sienna langsung mengambil ponsel, menyambungkan sambungan telepon.
"Maaf, mengganggu waktu Anda, Nona Sienna."
Sienna mendengar suara Marlin, ditambah suara tangisan Ken yang terisak-isak.
"Marlin, ada apa dengan Ken?" tanya Sienna khawatir.
"Nona, Ken tidak mau berhenti menangis sedari tadi dan terus memanggil Mommynya. Saya sudah berusaha menenangkan, tapi gagal. Saya sudah menelepon Tuan Diego, juga tidak diangkat. Sedangkan nyonya baru sedang sibuk party dengan teman-temannya di sini," jelas Marlin.
"Fuck, Diego," gumam Sienna lirih, salah satu tangannya mengepal geram. "Aku ke sana sekarang." Tanpa perintah Marlin, ia paham yang harus dilakukan.
Sienna memutuskan sambungan telepon. Ia beranjak dari kursi kebesarannya, lantas meraih hand bag di meja. Kemudian, ia keluar dari ruangannya berjalan tergesa.
"Kau mau ke mana?" tanya Eliz, saat Sienna melewati depan kasir.
"Jemput Ken. Diego sialan! Punya istri, tapi tidak berguna. Keponakanku benar-benar tersiksa di rumahnya sendiri," gerutu Sienna terus berjalan.
Eliz paham ada yang tidak beres. Ia tidak melanjutkan pertanyaan dan membiarkan Sienna pergi.
Sienna melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Diego. Jalanan sepi, tidak padat kendaraan, sehingga mempersingkat waktu untuk dirinya sampai di rumah besar milik kakak iparnya.
Sampainya di sana, Sienna berlari memasuki rumah mencari keberadaan Ken.
"Nona, Marlin dan Ken ada di balkon," kata pelayan rumah ketika berpapasan dengan Sienna.
"Terima kasih." Sienna langsung berlari menaiki anak tangga. Napasnya agak tersengal sampai di balkon.
"Sayang," panggil Sienna kepada Ken.
Bocah lelaki itu terisak-isak dalam gendongan Marlin, tetapi tangisnya telah mereda. Sienna meletakkan hand bag ke meja, lalu mengambil alih Ken dari gendongan Marlin, membopongnya bak koala.
"Cup cup, Aunty Sien sudah di sini. Jangan menangis lagi, oke." Sienna mengusap-usap punggung Ken penuh perhatian sembari mengecup kepala bocah itu.
"Mommy." Napas Ken tersengal-sengal, masih terisak. "Itut Mommy Mogan. Ken mau itut Mommy Mogan."
Mulut Sienna seakan terkunci, sangat alot untuk membalas ucapan Ken. Yang ia lakukan hanya mengecup dalam-dalam kepala keponakannya. Sementara tatapan mengarah ke kolam renang. Suara riuh ala-ala pesta perempuan murahan, terdengar jelas dari tempatnya. Dada Sienna bergemuruh, darahnya mendidih melihat tingkah Milly.
"Rapikan beberapa pakaian dan kebutuhan Ken lainnya ke ransel, Marlin. Aku akan membawanya tinggal denganku sementara sampai keadaannya lebih tenang," perintah Sienna, langsung dituruti pengasuh Ken.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top