Part 3

"Ken mau et klim." Lebih dari lima menit mengantre, Ken sudah tidak sabar menunggu. Bocah lelaki itu terus merengek dalam gendongan Sienna, tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke kedai es cream depannya.

"Iya, Sayang. Kita harus ngantre dulu, sebentar lagi, oke. Tinggal dua orang terus giliran kita."

"Mau tekalang. Ken mau et klim panila." Bocah lelaki itu memberengut. Lucu sekali wajahnya, membuat Sienna gemas sendiri dan mengecupi pipinya berulang kali.

Satu orang berlalu, Sienna melangkah maju. Akan tetapi, ia dikagetkan oleh orang tersebut yang menyodorkan satu cup es cream vanilla ke dirinya. Seorang lelaki bertubuh tinggi dan masih muda, mungkin sepantaran dirinya.

"Untuk anakmu. Aku kasihan melihatnya sudah tidak sabaran," ucap lelaki tersebut sembari mengulas senyum.

"Hah? Tidak usah." Perempuan itu speechless. "Tinggal satu orang lagi terus giliran kami," tolaknya sopan.

"Tidak apa-apa. Aku sudah terlanjur beli tiga, satu baut anakmu. Ayo, ambil," desak lelaki itu memaksa, dan tanpa keraguan Ken menerimanya.

"Tentiyu, Antle," ucap Ken, terdengar lucu suaranya. Matanya tampak berbinar, dan tak ada gunanya lagi Sienna menolak.

"Sama-sama." Lelaki itu mengembangkan senyum. Dari raut wajahnya terlihat penyayang anak kecil, suaranya pun terdengar hangat.

"Kau menyukai es cream rasa vanilla?" tanya lelaki itu lagi, bersamaan dengan Sienna menyingkir dari barisan antrean. Perempuan itu duduk di kursi beratap payung yang disediakan oleh pemilik kedai. Ia masih mengikutinya. Jujur, sedari tadi ocehan bocah lelaki itu menyita perhatiannya, dan membuat dirinya berinisiatif untuk membelikan.

"Tuta." Ken manggut-manggut lucu sembari melahap es creamnya sendiri.

"Terima kasih untuk es creamnya." Sienna berucap setelah melihat Ken nyaman. Ia mengulas senyum kepada lelaki yang duduk di depannya, terhalang meja bundar yang menyatu dengan tiang payung.

Lelaki itu mengangguk. "Oh, ini untukmu. Aku membelikan rasa yang sama." Ia menyodorkan satu cup es cream ke hadapan Sienna.

"Tidak usah. Aku lagi tidak ingin makan es cream," balas Sienna bohong. Malu juga dirinya menerima dua es cream secara cuma-cuma.

"Aku tidak menerima penelokan. Dan menolak pemberian orang itu tidak baik, Nona." Lelaki itu terkekeh pelan. Lalu, tatapannya beralih ke Ken yang begitu lahap memakan es creamnya. Agak belepotan di sekitar bibir mungil itu, dan membuatnya semakin lucu.

"Anakmu sangat lucu dan menggemaskan," puji lelaki itu. Pandangannya tak berpindah dari Ken meskipun sedang melahap es creamnya sendiri.

"Keponakanku, anak dari Kakakku," kata Sienna, sama-sama menatap Ken--mengawasinya.

"Oh, aku kira anakmu." Lelaki itu menghela napas lega. Entah mengapa ada rasa bahagia mendengar Ken hanya berstatus keponakan. "Orang tuanya tidak ikut kemari?" tanya lelaki itu lagi.

"Mommynya sudah meninggal seminggu lalu, kecelakaan. Sedangkan Daddynya sibuk dengan istri baru," jawab Sienna jujur. Ia belum tahu lelaki di depannya, tetapi ia merasa nyaman ngobrol dengannya.

"Poor little boy." Lelaki itu menatap iba Ken. Tanpa terasa ia telah menghabiskan es cream miliknya. "Ngomong-ngomong, kita belum kenalan. Aku, Maxime." Ia mengulurkan tangan kanannya ke Sienna.

Perempuan itu menatap sekilas tangan Maxime, sebelum akhirnya membalas. "Sienna."

"Terdengar tidak asing. Sebentar, aku ingat-ingat dulu." Maxime tampak berpikir, tidak lama ia menjentikkan jari. "Sienna Boutique. Apakah itu milikmu?"

Sienna mengangguk sembari tertawa lirih. "Kau tahu?"

"Oh, God! Setiap hari aku melihatnya. Setiap berangkat kerja kebetulan melewati jalan butikmu. Tempat kerjaku tidak jauh dari kawasan sana."

Sienna mengangguk paham. Butik miliknya tepat di gedung pinggir jalan. Berlantai tiga dan menyatu dengan toko-toko lainnya, bisa dikatakan ruko modern dengan bangunannya yang elegan. Ia memiliki sepuluh karyawan selain Eliz, serta enam orang penjahit berada di lantai tiga. Di umurnya yang menginjak 27 tahun, Sienna terbilang sukses dalam berkarier desainer.

Kedua orang itu melanjutkan obrolan dan semakin dekat. Maxime ikut Sienna jalan-jalan, bergantian membopong Ken. Orang melihatnya, mereka adalah suami-istri yang dikaruniai satu anak, hidup rukun dan bahagia. Ken seringkali tertawa saat digoda Maxime. Sienna ikut menimbrung, terkadang tertawa lepas.

"Weekend depan bagaimana kalau kita melakukan piknik kecil-kecilan di taman? Sepertinya Ken suka kebebasan," ajak Maxime sembari berjalan menuju parkiran. Hari sudah menjelang sore, membuat Sienna memutuskan untuk pulang.

"Boleh. Dulu aku dan Morgan sering melakukan piknik kecil-kecilan di taman dan membiarkan Ken berlarian di sana."

"Cocok." Maxime tersenyum lebar, lalu menatap wajah Sienna dari samping. "Aku jemput, ya."

Sienna mengangguk tanpa keraguan. Ia mengambil alih Ken dari gendongan Maxime setelah sampai mobilnya. "Terima kasih sudah menemani kami, Max."

"Aku senang menemani kalian. Dan senang juga berkenalan denganmu, Sien." Maxime mengulas senyum. Lalu, membantu Sienna membukakan pintu mobil.

"Say bye-bye to Uncle, Baby," pinta Sienna sebelum mendudukkan Ken ke car seat samping kemudi.

Bocah lelaki itu menurut sembari melambaikan tangan. "Bye-bye, Antle Mek."

"Bye, Sayang." Maxime ikut melambaikan tangan, semakin lebar senyumnya. "Hati-hati di jalan, Sien," ucapnya lagi sambil memerhatikan Sienna mendudukkan Ken.

Perempuan itu menoleh menatapnya, lalu mengangguk. "Terima kasih sekali lagi."

***

Langit sudah menggelap saat Sienna sampai di rumah Diego. Dengan wajah garangnya, sang pemilik rumah menghadang perempuan itu masuk. Ia menatapnya tak suka, tetapi Sienna tidak memedulikan dan terus melangkah menaiki anak tangga menuju kamar Ken.

"Mau protes apa? Melarangku membawa Ken keluar?" tanya Sienna, menyadari Diego membuntuti dirinya.

"Dia masih kecil dan kau mengajaknya kelayaban tak tahu waktu."

"Lalu, apa pedulimu? Kau bahkan melupakan dia sebagai anakmu. Kau lebih mementingkan perempuan murahan itu." Sienna membuka pintu kamar Ken, melangkah masuk dengan Diego masih mengikuti.

"Aku Daddynya. Tentu peduli kepada anakku."

Sienna menurunkan Ken, lalu membantu mencopot sepatu di kaki mungil bocah lelaki itu. "Ken, senang tidak jalan-jalan sama Aunty Sien?" tanyanya lembut.

"Tenang. Ken tuta naik tuda. Makan et klim."

"Ken, senang bertemu Uncle Max?" tanya Sienna lagi. Diego yang berdiri di belakangnya tampak mengawasi dan menajamkan pendengaran. Tatapannya mendingin.

Ken mengangguk antusias. "Ken tuta Antle Mek. Baik."

"Nanti Daddymu ganti dia saja, oke." Sienna memasang wajah semangat.

Ken langsung menatap wajah Diego yang melototi Sienna. "Daddy jeyek," ucapnya polos sembari terkikik.

Diego melongo mendengar ejekan sang anak. Ia menghampiri Ken, berjongkok di sebelah Sienna dan menenggerkan kedua tangannya di bahu bocah itu. "Kalau Daddy jelek, Ken juga jelek, dong. Ken anak tampan, berarti Daddy juga ...." Ia mengembangkan senyum lebar, dibuat semanis mungkin.

"Ampan." Bocah lelaki itu manggut-manggut.

"Iyuuh! Daddymu seperti setan, Ken," ketus Sienna sembari beranjak. Ia melepas jaket jinsnya, menyisakan tanktop putih dengan bawahan rok mini. Kemudian, ia melempar asal jaketnya ke ranjang.

"Jaga ucapan di depan Ken, Sien. Lama-lama anakku tidak normal berdekatan denganmu terus." Diego yang melihat penampilan Sienna tertegun. Ia memerhatikan tubuh seksi perempuan itu yang membelakangi sedang berjalan ke kamar mandi.

"Daddy tetan." Ken tertawa renyah.

Diego langsung menggeleng. "Tidak baik berbicara seperti itu, Sayang. Jangan meniru Auntymu yang buruk."

"Kalau tidak normal itu keturunan dari gennya! Kau sendiri bagaimana? Normal tidak? Tapi, aku percaya Ken seperti Mommynya, kalem, memiliki hati nurani tinggi, dan waras tentu saja," seru Sienna lantang di kamar mandi. Ia sedang mengatur suhu air shower untuk Ken mandi.

Suara gemericik air terdengar dari luar. Diego mengabaikan. Ia masih memberi pengertian kepada sang anak jika ucapan Sienna tidak baik ditiru. Kemudian, ia mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar mandi saat perempuan itu keluar dari sana. Tubuhnya semakin terlihat seksi dari depan dengan dadanya yang besar dan penuh. Belahan dadanya pun terlihat jelas, membuatnya meneguk ludah.

"Ayo, Sayang. Mandi terus tidur, ya. Nanti Aunty kelonin." Sienna menuntun Ken menuju kamar mandi, membiarkan Diego yang terdiam dalam pikirannya.

**

Setengah jam berlalu. Ken sudah rapi dengan piyamanya dan bersiap tidur. Marlin datang ke kamar Ken, satu tangannya menenteng botol susu. Sementara itu, Sienna dan Ken sudah rebahan di ranjang, dengan bocah lelaki itu dalam rengkuhan Sienna.

"Tanen Mommy. Ken mau Mommy." Suara bocah itu terdengar sayu.

Sienna langsung menatap wajahnya, mata Ken memerah, berkaca-kaca. Sungguh, hal paling rapuh dalan diri Sienna melihat keponakannya tersiksa dalam kerinduan.

"Mommy Ken ana, Anty Tien? Ken mau Mommy."

Sienna dan Marlin saling bertatapan, seakan saling paham.

"Setiap mau tidur selalu seperti ini, Nona. Terus meracau Mommynya. Kalau sudah menangis susah berhenti dan sampai sesenggukan."

Sienna menahan sesak di dada. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan Ken. Kemudian, ia menatap lekat wajah gembul sang keponakan.

"Sayang, Mommy sudah ada di surga. Tempatnya jauuuuh sekali," ucap Sienna sambil menepuk-nepuk bokong berlapis diapers.

"Ken mau itut Mommy." Ken mencebikkan bibir dan bergetar, menahan tangis.

"Oke, besok kita ikut Mommy. Sekarang Ken tidur, ya," pinta Sienna sembari mengulas senyum.

"Daddy."

"Ken mau dikelonin Daddy?"

Bocah lelaki itu manggut-manggut.

"Marlin, bisa tolong panggilkan Diego?"

Marlin yang berdiri di samping ranjang mengangguk. "Bisa, Nona."

"Kasih ke aku botol susunya." Sienna mengulurkan tangan, mengambil alih botol yang disodorkan Marlin. Lalu, ia membiarkan Marlin keluar.

Tidak menunggu lama Diego datang. Marlin tidak ikut masuk. Lelaki itu merangkak ke ranjang Ken, merebahkan diri ke sebelah sang anak. Sienna mengubah posisi berbaring, melumah, saat Ken masuk dalam rengkuhan sang daddy. Botol susu masih setia dalam genggaman tangan mungil itu.

"Sumpah, kau lelaki terbejat di dunia ini, Diego. Kau merenggut kebahagiaan Ken demi perempuan murahan itu. Dan sekarang, dia hanya bisa menahan rindunya ke Morgan," ucap Sienna sembari menahan sesak. Ia melirihkan suaranya, tetapi masih terdengar jelas oleh Diego. Sedangkan air mata meluruh deras tanpa diminta.

"Kenapa kau tega melakukan itu ke Morgan dan Ken? Mereka sangat baik kepadamu. Dan tanpa berperasaan kau melemparkan kotoran ke wajah Morgan. Ken yang menjadi korban." Suara Sienna semakin serak dan tertahan.

Sementara Diego hanya diam mendengarkan cecaran dari sang adik ipar, salah satu tangannya menepuk-nepuk bokong Ken.

"Perempuan itu ke mana? Dia tidak mengambilmu kemari?" tanya Sienna setelah lebih tenang.

"Pergi bersama teman-temannya."

Sienna mendengkus. "Istri teladan." Terdengar sinis suaranya.

***

Sosok Ken ini aku teringat Gala. Ngomongnya pinter dan pandai banget diumurnya yang masih 2th, hahaha.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top