Part 28
Dari dapur, Marlin berlari tergesa-gesa menuju taman belakang mansion ketika mendengar deru helikopter turun. Ia telah mendengar kabar penyerangan yang menimpa sang tuan, Ken, dan Sienna, dari anak buah Diego yang kemarin mengikuti mereka. Kabar itu telah tersebar luas di mansion, dan menjadi buah bibir para pekerja bangunan yang mendengar berita panas tersebut.
Diikuti beberapa asisten rumah tangga, Marlin berhenti sejenak di ambang pintu yang dibuka lebar. Dilihatnya helikopter telah mendarat, tetapi baling-balingnya masih berputar kencang menggoyangkan rimbunan pepohonan yang ada di sekitar.
Perlahan, baling-baling itu bergerak lambat, tetapi masih menyisakan sepoian angin di dedaunan. Marlin melanjutkan langkah lagi melewati area kolam renang untuk sampai tempat tujuan. Dari tempatnya terlihat Diego turun lebih dulu dari helikopter, lalu lelaki itu mengulurkan tangan membantu Sienna yang menggendong Ken, turun.
Marlin berhenti berjalan lagi di ujung anak tangga pembatas taman dan kolam renang. Ia memerhatikan sang tuan merengkuh Sienna dari samping berjalan menjauh dari helikopter. Terlihat sangat protektiv, lelaki itu seakan tak ingin Sienna jauh-jauh darinya.
"Tuan, Nona, kami sangat mengkhawatirkan keadaan kalian setelah mendengar kabar dari George. Ya Tuhan, saya bersyukur kalian baik-baik saja." Marlin menyambut mereka dengan kecemasan, tepat Sienna dan Diego menginjakkan kaki di tangga.
"Kau sudah memanggilkan dokter untuk datang kemari?" Diego telah memerintahkan perempuan itu sebelum meninggalkan hotel pagi ini. Kondisi Ken masih belum stabil. Lebih sering diam, kagetan, dan ketakutan setiap saat. Seperti saat ini, anaknya begitu erat merengkuh leher Sienna dan diam. Sama sekali tidak tertarik untuk melihat sekitar. Marlin yang sangat akrab dengannya pun, seolah tak menarik untuk dilirik.
Marlin mengangguk. "Sudah, Tuan. Akan segera datang kemari." Kemudian, ia mendekati Sienna ketika melihat wajah lesu perempuan itu.
Sienna tampak kelelahan, matanya begitu sayu seperti kurang tidur. Marlin pun berinisiatif mengulurkan kedua tangan mencoba mengambil alih Ken dari gendongan perempuan itu. Namun, Ken justru menggeleng keras dan semakin mengencangkan rengkuhannya, tanpa mengangkat kepala dari rebahannya di bahu kiri Sienna.
"Biarkan Ken dengan aku, Marlin. Tak apa." Sienna berucap ramah sembari mengulas senyum.
Marlin mengangguk lantas melangkah mundur. Sementara Sienna menatap Diego, mengisyaratkan dengan sorot matanya untuk melanjutkan jalan.
"Untuk keamananmu lagi, apa kau bersedia untuk tidak berangkat ke butik selama waktu yang belum bisa ditentukan, Sien?" Diego menoleh ke Sienna dan langsung bertatapan.
"Aku masih ada banyak acara untuk persiapan fashion show. Tapi, melihat keadaan Ken seperti ini, aku akan menunggu sampai kondisinya stabil." Sienna menatap jalanan depannya lagi. "Lalu, apa rencanamu untuk mengatasi masalah ini agar cepat selesai, Diego?"
Keduanya melewati jalanan cor-coran menuju mansion setelah melalui area kolam renang. Agak berjarak dengan para asisten rumah tangganya, yang di antara mereka ada membawakan barang bawaan Diego dan Sienna dari helikopter.
"Aku sudah memikirkannya semalam. Aku pikir rencana ini akan berhasil untuk menghentikan penyerangan mereka terhadap kita."
Keduanya memasuki mansion. Diego masih merengkuh Sienna dari samping, sesekali menatap anaknya yang terlihat tak berdaya. Ken kehilangan kecerian.
"Kau akan menyerahkan senjata api itu ke mereka?"
Diego tidak menjawab. Ia langsung terpikir dengan rencananya yang tidak bisa membuatnya tertidur semalam. Ia sudah membicarakannya kepada Federic serta bawahannya yang lain, yang ikut bersangkutan.
"Diego." Sienna memanggilnya pelan. Ia memandang lelaki itu sambil melewati koridor dari ruangan-ruangan tertutup sebelum hall. Dan berhasil membuat lelaki itu menatap dirinya.
"Sepertinya begitu," balas Diego.
Mereka sampai di hall. Barang peralatan kerja milik para tukang bangunan tampak berantakan dan menjadi pemandangan tak mengenakkan. Sienna hanya membatin jika mansion mulai pembenahan. Ia tak perlu bertanya lagi untuk kejelasan kapan waktu dimulai. Lalu, keduanya menaiki anak tangga masih berjalan berjejeran.
"Nanti siang aku harus pergi ke pabrik senjata api," lanjut Diego, dan mendapat anggukan mengerti dari Sienna.
Sampai di anak tangga terakhir lantai dua, Diego berjalan mendahului menuju kamar Ken. Langkahnya agak cepat. Lalu, ia membukakan pintu untuk Sienna dan disambut dengan kegelapan. Gorden cokelat tebal dibalik tirai putih tipis yang transparan, masih tertutup rapat. Ia menyalakan lampu, memperlihatkan isinya memiliki interior klasik. Headboard dari kayu memiliki ukiran rumit, pun dengan langit-langitnya memiliki konsep modern terdapat lampu kristal tengah-tengahnya.
Diego masuk ke kamar setelah Sienna. Kemudian, ia membuka gorden menggunakan remot kontrol yang diambil dari atas nakas, agar cahaya matahari menyusup masuk.
"Eeeh, eeeh, tida mauuu. Mommy Tien tida boyeh pelgiii!"
Suara rengek Ken yang terdengar manja dan imut, berhasil menarik perhatian Diego yang berdiri membelakangi. Lelaki itu langsung menoleh ke sumber suara. Terlihat Sienna sedang merebahkan sang anak ke ranjang, tetapi Ken tetap mengalungkan kedua tangan di leher perempuan itu.
"Mommy ke kamar mandi dulu, Sayang. Tidak lama."
"Tida boyeh pelgi. Tida boyeeeh!" Ken menggeleng cepat. Masih mengunci leher Sienna.
"Ada Daddy di sini." Diego berucap pelan seraya meletakkan remot kontrol ke tempat semula. Lantas, ia naik ke ranjang, merebahkan diri di sebelah Ken untuk mengambil alih peran Sienna. "Nanti Mommy ngompol kalau Ken menahannya seperti ini. Nanti, kamarnya jadi bau pesing," ucapnya sambil merengkuh bocah itu dan mengecup kepala sang anak.
"Tida boyeh lama." Akhirnya, Ken melepaskan rengkuhannya perlahan, masih menatap lekat Sienna.
"Iya, Sayang." Sienna mengangguk. Tangannya bergerak lembut mengelus puncak kepala Ken. Lantas, segera berlalu. Sudah sedari tadi ia menahan untuk buang air kecil.
"Daddy, Ken tatut ada penjahat agi." Ken berbalik merengkuh Diego, menyembunyikan kepalanya di dada bidang lelaki itu.
"Sayang, penjahatnya sudah tewas. Tidak akan kembali lagi."
"Ken tatut." Jemari mungil bocah itu mencengkeram erat kaus hitam Diego bagian pinggang.
Diego hanya mengangguk sambil mengusap-usap kepala Ken. Pandangan yang tertuju pada dinding tampak kosong. Sedangkan benak memikirkan sesuatu hal serius.
Mendengar ketukan pintu dari luar, Ken terperanjat dan semakin erat merengkuh sang ayah. "Tatuuut," lirihnya, suaranya terbenam dalam balik dada Diego.
"Biar Mommy yang buka." Sienna yang baru keluar dari kamar mandi langsung menuju pintu dan membukanya. Dua asisten rumah tangga berdiri di sana, masing-masing membawa barang miliknya dan milik Diego.
"Taruh di sofa depan ranjang saja," perintah Sienna ramah sambil memperluas bukaan pintu untuk mereka jalan.
"Baik, Nona." Dua asisten itu membalas kompak diiringi anggukan, lalu bersamaan mengayunkan kaki masuk. Mereka mengangguk sopan kepada Diego yang memerhatikan. Agak kikuk dan terkesan kaku, keduanya tidak berani bersuara. Bahkan, selama bekerja di mansion pun sangat jarang berkomunikasi secara langsung kepada sang tuan. Jika membicarakan soal pekerjaan, lebih sering melalui Camellia yang langsung mendapat perintah dari lelaki itu.
Dua asisten itu meninggalkan kamar Ken, wajahnya tampak semringah mendapat kata terima kasih dari Sienna. Sejak dulu, para asisten rumah tangga yang bekerja di mansion Diego memang sangat menyukai Sienna dan Morgan. Kedua perempuan itu memiliki good manner yang tidak dibuat-buat, bisa terlihat dari wajahnya yang teduh, damai, dan ramah.
***
"Anak Anda masih terlalu dini untuk mendengar suara ledakan senjata api secara langsung dan dengan frekuesni jarak dekat. Kebisingan yang dirasakan menjadi penyebab utama dia mengalami gejala trauma akustik ringan karena gendang telinganya terkena getaran kuat," jelas seorang dokter laki-laki setelah mengecek kondisi tubuh dan kedua telinga Ken dengan teliti. Ia membawa cukup alat untuk pemeriksaan pasien setelah tahu kejelasan gejala yang dialami. Ada dua perawat wanita yang membantunya, sedang merapikan alat-alat medis.
"Maksud dari trauma akustik, Dok?" tanya Sienna penasaran sambil memangku Ken.
Sementara Diego berdiri gagah di belakang sang dokter sambil menatapnya intens. Ia pun penasaran dan ingin tahu lebih detail.
"Trauma akustik adalah cidera pada telinga bagian dalam yang disebabkan oleh suara keras seperti ledakan, kebisingan berlanjut dengan desibel tinggi. Dan berdampak pada pendengarannya bisa mengalami tuli sementara dan permanen, tergantung pada kerusakan sel-sel gendang telinga. Dan dari hasil pemeriksaan saya, gendang telinga anak Anda tidak mengalami kerusakan. Tuhan masih melindunginya." Dokter itu mengulas senyum.
Diego dan Sienna yang mendengar, bernapas lega. Begitu bersyukur kondisi Ken tidak terlalu parah.
"Apa telinganya akan cepat sembuh dan bisa mendengar secara normal lagi?" tanya Diego, ingin memastikan.
"Saya harap akan cepat pulih. Anak Anda masih bisa merespons cukup bagus. Agar tidak memperparah kondisi pendengarannya, lebih baik dijauhkan dari benda-benda yang memiliki suara keras atau pun ledakan, terutama senjata api."
Sienna dan Diego saling pandang lalu mengangguk. Kalut meliputi keduanya karena tidak tahu bahaya apa lagi yang akan terjadi ke depannya. Eduardo seolah momok bagi keduanya. Selama lelaki itu masih hidup, Diego tidak menyerahkan senjata api yang diinginkan, penyerangan tentu masih akan berlanjut.
"Terima kasih penjelasannya," ucap Diego.
Diangguki oleh dokter. "Sama-sama, Sir." Ia memberi jeda sesaat sambil meletakkan stetoskop ke dalam tas kerja. "Tidak ada obat yang perlu dikonsumsi untuk anak Anda karena kondisi tubuhnya cukup baik. Dia hanya mengalami trauma dari kejadian yang dialami dan bisa sembuh dengan melakukan terapi mandiri. Jangan biarkan dia sendirian, lakukan banyak komunikasi, dan beri hiburan agar ketakutan dalam dirinya cepat hilang."
"Baik, terima kasih, Dokter," ucap Sienna sambil mengelus kepala Ken penuh kasih sayang.
"Jika terjadi sesuatu kepada anak Anda, tolong segera hubungi saya."
"Baik, Dok." Sienna dan Diego berucap kompak.
Tidak berselang lama dokter beserta dua perawat meninggalkan kamar Ken, diantar Diego sampai pintu dan berlanjut diantar Marlin sampai teras mansion.
Diego menghampiri Sienna lantas mendaratkan pantat di samping perempuan itu. Pandangan terobjek pada anaknya yang menyandarkan kepala di dada Sienna, terlihat begitu lesu.
"Tidak apa-apa. Telinga Ken akan cepat sembuh." Diego mengusap lembut pipi gembul anaknya, mengulas senyum hangat. "Tidak ada penjahat lagi. Nanti Daddy akan menghukum mereka, oke."
Ken menatap sang ayah dan mengangguk. "Temba meleka, Daddy."
"Iya, Sayang." Lalu, Diego beralih menatap Sienna yang menunduk. "Aku harus pergi ke pabrik senjata api sekarang. Tolong jaga Ken," ucapnya pelan.
Sienna langsung menoleh dan beradu tatap dengan lelaki yang menatapnya lembut dan sendu, hanya berjarak beberapa senti saja.
Tatapan itu ...
Demi apa pun, Sienna merasa jantungnya tengah bermasalah sekarang. Degubannya terlalu cepat dan terdengar merdu, meskipun hanya dirinya sendiri yang tahu.
Sienna mengerjab, berdeham pelan. "Iya, Diego." Dan terkejut saat lelaki itu menarik kepalanya dan mengecup bibirnya begitu cepat sebelum berlalu meninggalkan kamar.
***
Hallo, Dear. Happy New Year🥳🥳🥳
Maaf telat banget updatenya ya.😂 Sekarang aku pegang 2 cerita, satunya My Enemy. Kalian bisa mampir dan ngramein di lapak itu, ya.😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top