Part 25

Diego berdiri bersandar pada pilar besar di teras, memerhatikan Pedro sedang mengecek identitas para tukang bangunan. Jam sepuluh pagi ini mereka baru tiba di mansion untuk membenahi kerusakan akibat penyerangan tiga hari lalu. Ada sepuluh tukang bangunan, mereka berdiri berjajar di hadapan Pedro. Silih berganti, satu per satu dari mereka memberikan kartu identitas kepada lelaki berpakaian serba hitam, berompi pelindung dada, dan bersenapan yang digendong di punggung.

"Bagaimana?" tanya Diego bersuara rendah, setelah Pedro selesai mengecek satu per satu identitas para tukang bangunan tersebut.

"Semua ID card cocok dengan wajah mereka, Tuan. Aman," balas Pedro, mendapat anggukan dari Diego.

"Oke. Tahan ID cardnya dan kembalikan saat mereka mau pulang. Lakukan hal yang sama selama mereka masih bekerja di sini." Diego beranjak dari tempatnya, melangkah menuruni empat tangga dan menghampiri Pedro. Kemudian, ia berkata lagi ditujukan kepada para tukang bangunan, "Aku tidak ingin ada pergantian atau penambahan pekerja baru. Atau ... jika di antara kalian ada yang berniat kurang ajar di sini, aku tidak segan-segan mencincang tubuh kalian untuk dijadikan pakanan buaya. Paham?" ancamnya serius.

"Paham, Tuan." Para tukang bangunan itu menjawab kompak sambil menatap sang pemilik mansion yang berdiri di samping Pedro.

Perhatian Diego beralih ke luar gerbang. Anak buahnya yang lain sedang mengecek kendaraan milik para tukang bangunan, yang terparkir di pinggiran jalan luar mansion. Ia mengayunkan kaki ke sana, lantas berdiri di ambang pintu gerbang yang terbuka lebar. Ada satu truk membawa muatan pasir dan semen, satu mobil terbuka membawa alat-alat kebutuhan mereka kerja, dan satu truk molen.

"Bagaimana?" tanya Diego. Dua anak buahnya masih di mobil terbuka, memeriksa barang bawaan mereka dengan teliti.

"Clear, Tuan. Tidak ada senjata api maupun senjata bahaya lainnya, kecuali alat kerja," jawab salah satunya.

Diego mengangguk paham. "Selalu pantau mereka saat bekerja. Jika ada yang mencurigakan, kalian tahu harus melakukan apa."

"Baik, Tuan."

Sejenak, Diego memerhatikan tiga kendaraan yang berderetan itu. Ia mengangguk, sebelum akhirnya kembali lagi menghampiri para tukang bangunan.

"Kerja dengan baik. Jika bisa, dalam waktu cepat mansion ini sudah rapi dan selesai pengerjaan. Aku tidak suka pekerja yang lelet dan tidak serius." Diego berucap tegas.

"Siap, Tuan," jawab sang mandor.

"Diego."

Mendengar suara perempuan memanggilnya, Diego menoleh ke sumber suara diikuti yang lain. Milly berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan memegangi map cokelat yang diberi dirinya semalam. 

Diego beralih menatap para tukang lagi. "Silakan mulai pekerjaan kalian. Pedro, tolong awasi mereka," katanya, lantas melangkah lebar menghampiri Milly.

"Kau sudah menandatangani surat cerainya?" tanya Diego, sampainya di hadapan perempuan berpakaian sexy yang memperlihatkan belahan dadanya sangat jelas. Ia masuk ke mansion, melewati ruang tamu, lalu menuju ruang santai berada di hall.

"Ya." Milly mengikutinya. Langkah Diego menuju satu set sofa krem dekat dinding kaca bertirai lebar yang tersingkap. Lelaki berpakaian kasual dengan kemeja navy digulung sesiku dipadukan dengan celana krem pendek itu mendaratkan pantat di sofa panjang. Ia ikut duduk di sebelahnya.

Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan perceraiannya dengan Diego. Ia pun menghubungi para sahabatnya, meminta bantuan pertimbangan. Hingga akhirnya, tanda tangan pun ia bubuhkan di surat tersebut sebelum datang menghampiri Diego. Mendapat lima ratus ribu dollar dan satu mobil, masih cukup untung. Meskipun begitu, ia tetap membenci Sienna karena perempuan itu yang menyebabkan perceraian dirinya dan Diego terjadi.

"Bagus." Diego manggut-manggut. "Mana suratnya?" Ia menyodorkan salah satu tangan ke Milly.

Perempuan itu menyerahkan map dan langsung diterima Diego. Tanpa ba-bi-bu Diego membukanya, pandangan pun langsung tertuju pada tanda tangan Milly di pojok kiri bawah.

Diego mengambil ponsel dari saku celana kainnya. Mencari kontak Federic, lantas ia menghubungi lelaki itu. Tidak menunggu lama untuk mendengar suara sang sekretaris.

"Fed, tolong transferkan uangnya ke Milly. Sekarang juga."

"Sekarang, Tuan?" Diego harus menunggu beberapa detik untuk mendengar balasan lelaki itu. Suaranya terdengar tidak yakin.

"Iya. Sekarang, detik ini juga." Diego memperjelas ucapannya.

"Baik, Tuan. Understood."

Diego memutuskan sambungan telepon, fokus kepada Milly lagi yang terlihat lesu dari sorot matanya. "Uangnya sedang ditransfer ke rekeningmu. Kau tunggu saja."

"Die ...." Milly berkaca-kaca. Ia menggeleng. Rasanya tidak rela meninggalkan Diego dan segala isi di mansion. Kemewahan yang baru didapat, kini harus ia tinggalkan dengan waktu cepat. Dan semua gara-gara Sienna yang telah mempengaruhi lelaki itu.

"Kau benar-benar memutuskan hubungan kita? Sungguh-sungguh menginginkanku pergi dari hidupmu?" tanya Milly, terbata sembari menahan air mata yang akan meluruh.

"Ya." Diego berkata mantap sambil membuang muka dari perempuan yang sudah sah menjadi mantan istrinya itu. "Silakan siap-siap dan pergi dari sini. Aku sudah memberimu uang beserta mobil. Jadi, jangan pernah mengganggu kehidupanku lagi."

Kau salah, Die. Aku mengalah hanya sesaat. Aku pastikan kau akan kembali ke tanganku lagi. Dan Sienna ... dia akan segera menyusul kakaknya ke neraka. Tunggu saja waktunya.

Milly membatin sambil mengangguk. Ia mengusap air matanya yang berhasil lolos. Kemudian, berlalu meninggalkan Diego menuju kamarnya. Sampainya di sana, ia menggeram penuh emosi sembari menyumpah serapahi Sienna.

Tatapan tertuju pada dua koper besar di samping ranjang. Barang miliknya sudah tertata rapi di sana--tidak semua. Ia sengaja menyisakan sebagian agar masih memiliki akses masuk ke mansion di lain waktu. Lalu, pandangan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di atas selimut. Ia mengambil ponsel itu, mencari kontak seseorang lantas menghubungi, dan menceritakan semua yang sedang dialaminya.

***

"Daddy, Ken mau itut Mommy Tien." Ken mendongak, menatap wajah Diego yang sedang memangkunya. Ia belum lama bergabung dengan sang ayah di ruang santai, yang baru saja selesai bermain dengan Marlin di lantai atas.

"Mommy Sien sedang kerja, Sayang. Sudah berangkat ke butik pagi tadi." Diego mengulas senyum. Dengan perhatian ia mengusap rambut pirang bocah itu.

"Ken mau itut, Daddy."

"Mommy Sien sedang sibuk, Sayang."

"Mau ituuut." Bocah itu tetap memaksa dengan kedua kaki menendang-nendang udara.

Diego tampak berpikir. Anaknya sudah pandai merajuk sekarang. Bibirnya yang dimanyunkan terlihat lucu, ditambah pipinya yang gembul dan lembut itu. Merasa kasihan kepada sang anak, ia pun mengangguk mengiyakan. "Baiklah. Nanti kita ajak Mommy makan siang sekalian, bagaimana? Kau setuju?" ucapnya sekaligus bertanya. Senyum bahagia tersungging ketika melihat bocah itu manggut-manggut.

"Uju, Daddy." Detik itu juga Ken mengalihkan perhatian dari Diego ketika mendengar suara geregetan koper. Ia mencari sumber suara, pandangan tertuju pada Milly yang menghampiri. "Nene tihil atang, Daddy," ucapnya.

Milly berhenti melangkah, meletakkan koper tidak jauh dari sofa. Mendekati Diego dan Ken, ia berdiri dengan jarak beberapa senti saja dari keduanya. "Diego, aku mau pamit."

Diego memerhatikan perempuan itu dari atas sampai bawah, lalu mengangguk. "Ya. Itu surat mobil yang sudah kujanjikan untukmu." Sepeninggal Milly tadi, ia juga berlalu dari ruang santai mengambil salah satu surat mobil miliknya.

Milly mengikuti arah pandang Diego ke meja. Ia mengangguk, kemudian mengambil amplop cokelat segi empat berukuran besar. Ada kunci mobil di dalamnya lengkap dengan surat-suratnya. "Terima kasih."

Diego mengangguk tanpa bersuara, tetapi menatap Milly. Ken melakukan hal yang sama seperti dirinya--diam menatap Milly.

"Aku pergi," ucap Milly lagi.

Dengan berat hati, perempuan itu mengangkat kaki dari hadapan Diego. Ia menarik dua kopernya, lalu mengayunkan kaki menuju garasi. Beberapa pekerja rumah tangga yang melihat dirinya tersenyum. Yeah, senyum ejek yang mereka lemparkan.

Sementara di ruang santai, dua orang beda usia itu melanjutkan obrolannya lagi. Mereka merencanakan sesuatu untuk memberi surprise kepada Sienna. Dan siang harinya, keduanya datang ke butik Sienna tanpa sepengetahuan perempuan itu. Diego telah mengabari George dan Javier, bertanya kepada keduanya apakah Sienna di sana atau sedang di luar.

"Kita beli bunga dulu untuk Mommy. Ken bantu memilihkan, ya." Diego menepikan mobil di depan toko bunga, tidak jauh dari butik Sienna. Ia keluar, berjalan mengitari mobil lalu membuka pintu di mana Ken duduk dan membopong bocah itu.

Sebelum memasuki toko bunga, Diego mengisyaratkan kepada anak buahnya yang ikut membuntuti di mobil lain agar berjaga di depan toko. Mereka menurut, dengan siap siaga mengawaskan pandangan ke sana-kemari.

"Mommy Tien tuta buna ini, Daddy." Di gendongan Diego, Ken menunjuk segerombolan mawar merah segar. Ia tahu Sienna menyukai mawar merah, karena sering melihatnya di rumah perempuan itu.

"Kau benar. Di rumah Mommy banyak mawar merah. Kau masih ingat?"

Ken manggut-manggut. Diego pun memerintahkan pelayan toko untuk membuatkan buket mawar merah berukuran besar.

***

"Konsep dari fashion busana kali ini aku mengambil tema Golden Muse. Diambil dari dua muse yang menjadi sumber inspirasi dari seorang pelukis legendaries Gustav Klimt, Adele Bloch-Bauer dan Emilie Floge. Jadi, aku ingin view dan backgroundnya menyatu dengan gaun-gaun yang dipakai para model nanti," jelas Sienna, kepada Ellena--seorang strategic planner dari Saviour Group. Perempuan itu datang ke butiknya, melihat langsung design busana yang akan digunakan untuk fashion show.

"I see." Ellena mengangguk. "Di dalam gedung, dengan dinding memiliki ukiran rumit dan padat, sangat cocok untuk para model memamerkan design busanamu. Aku memiliki beberapa target gedung yang pas. Eeehm, nanti aku akan survey langsung ke sana. Kalau kau cocok tempatnya, aku akan segera melakukan reservasi ke pihak gedung."

"Ya." Sambil berjalan melihat-lihat busana desainan miliknya, Sienna mengangguk. "Selebihnya, aku pasrahkan ke teammu untuk pengaturan persiapan tempatnya."

"Kami akan berusaha melakukan yang terbaik untukmu, Sien."

"Terima kasih, Ellen."

Keduanya saling pandang. Ellena mengangguk dan bertukar senyum kepada Sienna. Setelah paham konsep yang akan diusung dalam acara fashion show, ia pamitan dan berlalu dari butik sang klien.

Sienna mengantar perempuan itu ke lantai bawah. Tepat dirinya menginjakkan kaki di sana, Ken dan Diego masuk dengan lelaki itu membawa buketan mawar segar cukup besar.

"Mommyyy!" Ken berlari ke arah Sienna sembari merentangkan kedua tangan.

Semua mata tertuju kepada bocah itu, dari costumer, karyawan, pun dengan Ellena.

"Sayang, kau tidak bilang sama Mommy mau datang kemari?" Sienna berjongkok, menerima pelukan bocah itu.

"Tata Daddy, tatih telpais bua Mommy." Ken menoleh ke Diego yang berdiri tidak jauh darinya. Sienna ikut menatap lelaki itu, tersenyum kepada dirinya.

"Ken tama Daddy beyi buna untu, Mommy. Mommy Tien, tuta?" Bocah itu menatap polos Sienna yang mengangguk.

"Iya, Sayang. Mommy suka. Terima kasih, ya." Sienna mengulas senyum. Lantas, mengecupi pipi Ken berulang kali.

"Ekheeem!" Eliz berdeham keras, membuat Sienna langsung menatapnya. "Sudah ada tanda-tanda ternyata, ya," godanya. "Ken, kau rindu dengan Aunty Eliz tidak? Kau mau bermain dengan Aunty? Aunty sangat merindukanmu tahu."

Eliz menghampiri Ken sambil mengulurkan kedua tangan. Bocah itu mengangguk, menjauh dari Sienna lalu menerima uluran tangannya. Eliz meminta karyawan lain untuk menggantikan posisinya di kasir, sedangkan dirinya mengajak Ken ke lantai dua. Ruangan cukup lebar untuk bocah itu bermain di sana.

"Besar sekali buket bunganya." Sienna menerima buket bunga dari Diego, lalu membawanya ke ruang kerja diikuti lelaki itu.

"Ken yang memilih mawar itu, dan aku yang request ukurannya. Kalau tadi kau menolak, kau akan mematahkan perasaannya." Diego membukakan pintu, membiarkan Sienna masuk lebih dulu.

"Bukan yang tua?" Perempuan itu mengulum senyum kepada Diego. Ia kebingungan mau menaruh buket bunga itu. Ruangannya sudah penuh dengan barang-barang dan peralatan kerja.

"Taruh sini." Diego menyingkirkan tumpukan kertas di atas lemari plastik, menaruhnya ke meja kerja.

"Kenapa request bentuk hati?"

"Aku ingin."

"Alasannya?"

"Tidak memiliki alasan." Diego memerhatikan Sienna dari samping. Detik itu juga ia teringat kejadian semalam.

"Aku punya jawaban sendiri." Sienna menghadap Diego. Lalu, mengikis jarak dan mengalungkan kedua tangan ke leher lelaki itu. "Mencoba mengambil hatiku, hum?" bisiknya di samping telinga kiri Diego.

"Kau merasa seperti itu?" Diego menenggerkan kedua tangan ke pinggang Sienna.

Perempuan itu memandangi wajah lelaki beraroma parfum yang begitu menyegarkan. Ia mengangguk. "Ya."

"Then, anggap saja seperti itu."

"Ah, pantas saja Morgan dan Milly langsung jatuh cinta kepadamu. Ternyata ... caramu mendekati mereka seperti ini, Diego? Sayangnya, aku tidak akan membuka hati untukmu." Sienna tersenyum penuh arti.

"Ucapanmu sangat beda jauh dengan reaksi tubuhmu."

"Yaaa." 'Karena aku ingin kau hancur Diego. Tidak peduli harus merendahkan harga diriku lebih dulu,' lanjut Sienna dalam hati. Lantas, ia mengecup bibir lelaki itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top