Part 24

"Hai, boleh masuk?" Sienna menyembulkan kepala di pintu ruang kerja Diego yang dibukanya sedikit. Lelaki di dalam sana tampak termenung, setelahnya terkejut saat mendengar suara dirinya. Lalu, terlihat mengangguk sambil menaruh figura ke meja.

"Kau ... kenapa tengah malam masih berpakaian seperti itu?" Diego membetulkan posisi duduknya. Dahi mengernyit melihat Sienna masih berpakaian sport bra dan celana legging ketat atas paha. Memperlihatkan pusar, serta perutnya yang ramping tak tertutup lemak berlebih.

"Baru saja olahraga bersama George dan Javier," jawab Sienna sambil melangkah santai menghampiri sang ipar. "Ah, tepatnya berlatih bela diri." Ia mengembangkan senyum lebar.

"Bersama mereka?" Diego agak menaikkan oktaf suaranya. "Fuck!" umpatnya lirih.

"Kau sengaja menggoda mereka dengan pakaianmu seperti itu?" Lelaki yang duduk di kursi kebesarannya menyipitkan mata. Tatapannya seolah ingin mengintimidasi Sienna.

"Bukan urusanmu." Sienna berkata ketus. Ia mendaratkan pantat di tepi meja seraya bersedekap. "Anyway ... aku baru mendapat kabar menakjubkan. Kau serius menceraikan si Nenek Sihir itu, Diego?" Ia ingin memastikan lagi. Langsung dari mulut lelaki itu.

"Bukan urusanmu." Diego meniru jawaban Sienna sembari menyandarkan punggungnya. Kedua siku ia tumpukan di penyangga lengan kursi, sementara jari saling bertautan.

"Hei, kau mengcopy ucapanku! Ck!" Sienna berdecak sebal, menampilkan wajah kesal. Diego mana bisa diajak serius. Kecuali ... ah, lupakan. Sienna menepis jauh-jauh ingatan kemarin malam saat lelaki itu menciumnya brutal, dan melemparkan ancaman jika ia berdekatan dengan Maxime. Namun, petuah-petuah Eliz juga mengganggu otaknya.

"Kau juga harus berbuat lebih berani dari Diego. Kalau lelaki itu menciummu, balas ciumannya. Kalau lelaki itu bersikap manis, bersikap yang sama. Kalau lelaki itu menyentuhmu, seperti ... sentuhan intim. Lakukan hal yang sama. Itu akan memudahkanmu mengambil hati Diego, dan rencanamu ... akan berjalan sempurna untuk memporak-porandakan hati lelaki itu. Percaya denganku."

Itu salah satu petuah Eliz saat ia menceritakan masalah ciuman Diego kemarin malam. Ia sempat menolak, tetapi juga membenarkan saran dari sahabatnya. Namun, apakah dirinya harus melakukan itu? Sienna masih belum yakin dengan dirinya sendiri.

"Kau bisa, Sien. Lakukan! Kau harus bermain totalitas untuk memghancurkan mereka."

Suara dukungan Eliz kembali terngiang di pendengaran. Sienna menarik napas panjang menandakan dirinya telah siap.

'Oke. Aku siap. Maafkan aku, Morgan. Aku tidak akan sampai hati bermain dengan Diego. Tujuanku hanya untuk balas dendam atas kesakitan yang kau rasakan dan penyebab kematianmu. Hanya itu,' batin Sienna, mantap.

"Tidak memiliki hak paten ucapanmu barusan. Siapa pun berhak mengatakan. Jadi, tidak ada kamus aku mengcopy ucapanmu," balas Diego santai, membuat Sienna tersadar dari pikirannya.

"Aku berpapasan dengan Milly dan mendapat amukan dari dia. Ini ... mukaku yang jadi korban." Sienna menunjuk kedua pipinya.

Diego melihat ada bekas merah di sana dan baru menyadari itu. "Ditampar?"

"Terus? Dicium?" Sienna sengaja membuat nada suaranya dimenye-menye. "Bukan cuma itu. Dijambak juga. Tapi, biasa lah, dia kena balasan kalau ribut denganku."

Diego mengangguk. Sudah paham keributan macam apa antara kedua perempuan itu.

"Jadi benar? Kau sudah menceraikan dia?" tanya Sienna, ingin mendapat kepastian.

"Seperti yang kau tahu." Lelaki itu mengedikkan bahu. "Kau senang, aku sudah menceraikan dia?"

"Tentu!" Sienna berkata semangat, senyumnya mengembang lebar. Ia beranjak dari duduknya, lalu berpindah posisi ke pangkuan Diego, duduk berhadapan. Ia merasakan tubuh lelaki menegang, mungkin reaksi dari keterkejutannya.

"Aku senang kau benar-benar menceraikan dia." Sienna berbisik di sebelah kiri telinga Diego. Dada agak bertempelan dengan dada lelaki itu. 'Dan sebentar lagi dirimu yang akan hancur, Diego,' lanjutnya dalam hati. Ia masih mengembangkan senyum, lalu mengecup bibir Diego dengan berani.

Lelaki itu mengerjab. Menahan napas sesaat, bersamaan dengan darahnya berdesir menimbulkan gelenyar aneh pada dada. Tatapannya terpaku pada mata Sienna, yang juga menatapnya. Sementara benak kebingungan dengan tingkah Sienna yang berani seperti sekarang. Dibandingkan tadi pagi, perempuan itu seolah ingin mengibarkan bendera perperangan.

Sienna beranjak berdiri. Namun, Diego menahannya dan ia kembali duduk seperti semula. Lelaki itu mengecek kepala dirinya, di putar ke kanan, kiri, lalu dilihatnya bagian belakang.

"Kau mengalami cedera kepala? Tapi, kenapa tidak ada yang luka?" tanya Diego masih memeriksa kepala Sienna. Dengan rambut perempuan itu yang dikuncir, membuatnya agak kesusahan. Ia menarik kuncirannya, lantas membiak rambutnya perlahan. Menyeluruh. Tidak mendapat bantahan dari Sienna.

"Tidak ada luka," kata Diego, belum berhenti membiak kepala Sienna.

"Aku tidak mengalami cedera, Diego. Penyerangan tadi siang tidak melukai tubuhku sedikit pun. George dan Javier bekerja dengan baik untuk melindungiku. Kalau aku terluka, aku sudah terkapar di rumah sakit."

"Tapi, ini ...." Diego menghentikan aktivitasnya. Ia masih kebingungan dengan tingkah Sienna. Bahkan, pikiran pun dibuat ngeblank.

"Kenapa? Aku yang duduk di pangkuanmu dan berani mengecup bibirmu?"

"Yeah." Diego mengangguk, menatap lembut perempuan dengan rambut tergerai acak-acakkan.

"Seperti yang kau lakukan kemarin malam. Kau juga berani dengan brutal menciumku bahkan mengancamku. Apa alasannya? Aku ingin tahu."

Skakmat. Tidak mungkin ia mengatakan cemburu. Sedangkan perasaan dirinya dengan Sienna belum pasti ada apanya. Ia hanya tidak terima saja Sienna dikagumi oleh sang sekretaris, juga membandingkan ciuman dirinya tidak ada apa-apanya dari Maxime.

"Diego, jawab. Aku ingin tahu alasannya." Sienna menenggerkan kedua tangan di bahu Diego. "Kenapa kau marah saat aku membandingkan ciumanmu dengan Maxime?"

"Jangan menyebut nama lelaki itu lagi." Padahal pikiran Diego sedang diusik oleh bayang-bayang Maxime yang mencium Sienna.

"Kau cemburu?" Desak Sienna, menatap intens lelaki itu sambil menggigit bibir bawahnya.

Kefokusan Diego beralih pada bibir merah muda yang terlihat begitu lembab. Sienna sialan! Sengaja sekali menggodanya.

"Kalau aku mengatakan ciumanmu memang kalah dengan ciuman Maxime, kau tidak terima?" Demi apa pun, dalam posisi dan keadaan seperti sekarang membuat jantung Sienna menggila, berdetak cepat tak berirama. Ia merasakan tubuhnya ditarik Diego semakin rapat ke tubuh lelaki itu. Dan kali ini, ia merasakan pasokan oksigen menipis. Dadanya terasa sesak. Ia beberapa kali harus menahan napas.

"Kau ingin tahu rasa ciumanku yang sesungguhnya? Yang terasa nikmat, membuat ketagihan, setelah ini kau juga akan mengatakan ciuman Maxime tidak ada apa-apanya dariku."

Wajah keduanya sudah tak berjarak. Napasnya memburu saling bersahutan. Sienna merasakan tubuhnya panas dingin saat Diego perlahan mendekatkan bibir ke bibirnya. Ia terpejam, tidak lama merasakan lembut sapuan kecupan di bibirnya.  Jantung semakin menggila, tak hentinya berdebaran begitu cepat.

"Kau cukup merasakan dan ikuti permainan ciumanku." Diego berkata lirih, sebelum akhirnya benar-benar meyatukan bibir. Ia menangkup tengkuk Sienna, memagut pelan penuh perasaan. Sementara satu tangannya melingkar di pinggang perempuan itu.

Ciuman yang berbeda dari sebelumnya, Diego benar-benar memperlakukan Sienna penuh cinta. Merasakan setiap cecapan, pelan, membuat desiran gairahnya membuncah. Ia merasakan Sienna telah menerima ciumannya, menikmatinya, terasa dari reaksi tubuhnya yang meliuk, balasan ciumannya yang mengikuti gerakan lidah dirinya, juga cengkeraman di kepala belakang seakan menjadi pelampiasan gairahnya.

Keduanya masuk begitu dalam. Saling menikmati. Tak ingin menyudahi. Setiap terlepas dalam jeda mengambil napas, akan menyatukan bibirnya lagi dan melanjutkan. Berulang kali.

"Cukup." Sienna benar-benar melepaskan ciumannya. Napasnya terengah dengan dahi masih saling menempel. Dibagian bawah, ia merasakan sesuatu mengeras.

"Kau masih ingin bilang, ciuman Maxime lebih hebat dariku?" tanya Diego lirih.

"Maybe."

"Apa perlu sambil bercinta agar kau mengakui ciumanku lebih hebat darinya?"

"Kenapa kau butuh akuan dariku kalau ciumanmu lebih hebat dari Maxime?"

"Karena ... aku tidak suka kau dengan lelaki itu."

"Lalu, kau maunya aku dengan siapa? Denganmu?" Salah satu tangan Sienna menangkup wajah Diego, sedangkan satunya lagi masih melingkar di leher lelaki itu. Ia merasakan geli saat telapak tangannya menyusuri wajah bercambang tipis itu. Ini kali pertama ia berani menangkup wajah Diego secara intens, juga membalas ciumannya.

"Kalau aku mengatakan iya?" Diego terpejam, merasakan telapak tangan Sienna yang lembut di wajahnya.

"Aku yang tidak mau." Sienna mengulum senyum. Pandangannya menyusuri wajah Diego dari kening, alis tebalnya, mata yang terpejam, hidung mancung, kumis tipis, dan terakhir bibir tipisnya yang baru saja menciumnya. Dan ... yeah, ia akui ciuman kali ini lebih nikmat dari ciuman Diego sebelumnya.

"Kau pemain perempuan. Hatimu tidak bisa setia dengan satu perempuan yang sudah kau ikat dalam pernikahan. Kalau aku bersamamu ...." Sienna menjeda ucapannya ketika Diego membuka mata. "Aku yang akan menjadi korbanmu selanjutnya. Jadi ... aku tidak mau." Ia mengulas senyum. Lantas, beranjak dari pangkuan Diego. Tepat saat akan menjauh, tatapan tidak sengaja melihat foto Morgan yang tersenyum lebar di figura.

Dada Sienna mencelus seketika. Tercabik. Sakit. Desir emosi membuncah antara marah dengan dirinya yang berciuman dengan Diego di hadapan foto sang kakak. Seolah-olah dirinya lah yang mengkhianati perempuan itu. Namun, di sisi lain, ia melakukan itu juga untuk Morgan--membuat hancur Diego dengan cara seperti sekarang. Perlahan namun pasti, lelaki itu akan jatuh cinta kepada dirinya. Dan ....

"Aku pergi dulu, mau mandi. Kau juga jangan lupa mandi," ucap Sienna di sela senyuman yang menyembunyikan tangis. Ia merasakan matanya telah memanas. Cairan bening di dalamnya seperti tersedot dan mengelupuk di pelupuk bawah.

Tanpa menunggu jawaban dari Diego, Sienna berjalan cepat keluar dari ruangan, lantas berlari menuju kamarnya. Air mata tak terbendung lagi, meluruh deras menyusuri wajah. Ia mengusapnya secara kasar. Tidak ada yang boleh tahu dirinya menangis, terlihat lemah dan rapuh. Ia wanita kuat, dengan pendirian dan tekat yang tak mudah menyerah.

'Mor, aku minta maaf.' Dalam lubuk hatinya, Sienna merasa begitu bersalah. 'Tapi, aku harus melakukan ini untukmu.'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top