Part 23
Melihat para anak buahnya kembali dengan membawa serta Sienna adalah keinginan Eduardo. Namun, lelaki itu dibuat geram karena mereka pulang dengan tangan kosong. Sialan! Bagaimana ia bisa mengancam Diego? Satu-satunya cara untuk memudahkan rencananya adalah perempuan itu. Diego sangat menjaganya, sangat melindunginya, tentu akan berhasil jika ia menyekap Sienna. Lalu, ia juga akan dengan mudah mengambil alih pabrik senjata api lelaki itu.
"Bodoh! Kalian semua bodoh! Menculik satu perempuan saja tidak becus!" seru Eduardo, melotot menatap setiap anak buahnya yang berjajar di hadapan.
"Bos, dia dijaga dua bodyguard dan bukan orang sembarangan."
"Aku tidak peduli!" Seruan Eduardo yang melengking, terdengar membahana di ruang kerjanya yang kedap suara. "Aku tidak mau tahu. Kalian harus mendapatkan perempuan itu dan jangan kembali tanpa membawanya ke hadapanku. Atau ... nyawa kalian yang akan melayang dari tanganku langsung."
Mendapat ancaman seperti itu membuat nyali para anak buah Eduardo menciut. Mereka menunduk dan mengangguk. Kabur pun tak mungkin. Ke mana pun bersembunyi, Eduardo pasti akan menemukan dan berakhir membunuhnya tanpa ampun. Terbukti dari para anak buahnya yang melanggar aturan, mereka akan meninggal secara tragis.
"Baik, Bos," ucap salah satunya, pasrah.
"Keluar dari ruanganku. Dan kerjakan perintah. Ingat! Jangan pulang tanpa membawa perempuan itu ke hadapanku."
Tidak ingin mendengar omelan sang bos lebih lama, para anak buah Eduardo segera mengangkat kaki dari ruangan kedap suara tersebut. Dan dibuat kaget lagi saat membuka pintu, karena Maxime telah berdiri di hadapannya. Tangan kanan lelaki itu terangkat, akan mengetuk pintu. Mereka saling bertatapan sejenak, sebelum akhirnya Maxime menyingkir, memberi jalan kepada anak buahnya berlalu.
"Ed." Lelaki bertato di lengan dan bagian tubuhnya yang lain itu mengayunkan kaki masuk, menghampiri sang kakak. "Aku baru menelepon Alonso. Dia menerima kerja sama dari kita. Tapi---."
"Duduk." Eduardo memotong ucapan sang adik yang belum selesai. Napasnya masih memburu, raut wajahnya jelas menahan geram. Ia melangkah menuju sofa dan mendaratkan pantat di sana. "Tapi, apa?" tanyanya sembari menatap Maxime yang ikut duduk di sebelahnya.
"Tawaran harga yang diminta terlalu tinggi. Mereka mau memberi stok dua ton cocaine dengan total harga tiga puluh lima miliar dollar." Maxime duduk di sebelah sang kakak. Eduardo terdiam seketika sambil membuang wajah menatap lantai. Lelaki itu tampak berpikir keras, raut wajahnya semakin serius dan kaku.
"Bagaimana? Kau mau ambil atau menunggu dari Moreno yang belum jelas datangnya?" tanya Maxime, sebab, Eduardo masih bertahan diam.
"Kita membutuhkan barang itu segera. Banyak costumer yang tidak ingin menunggu lama," lanjut Maxime. Eduardo langsung menatap dirinya. Diam, tidak lama mengangguk.
"Iya, ambil saja. Kita bisa menjualnya dengan harga lebih tinggi dibanding harga sebelumnya. Dan aku memintamu yang ke sana. Ajak Matt dan empat orang lainnya untuk menemanimu ke tempat Alonso. Kau harus teliti apakah barang itu bagus atau tidak. Suruh Matt untuk mencicipinya lebih dulu, dia paham enak dan tidaknya."
"Oke." Maxime manggut-manggut. "Kapan harus datang ke sana?"
"Besok. Malam ini kita siapkan uangnya."
Maxime mengangguk. Ia ikut beranjak saat sang kakak beranjak dan berjalan menuju brankas yang menyatu dengan ruang kerja. Eduardo tentu dengan senang hati mengirim adiknya ke Mexico. Hal itu akan memudahkan dirinya untuk melancarkan aksinya menculik Sienna. Jika lelaki itu tahu, tentu akan menggagalkan rencana dirinya. Tidak. Memang sebaiknya Maxime tidak tahu tentang kesepakatan dirinya dengan Milly. Itu di luar rencana Maxime meskipun lelaki itu memiliki rencana lain mendekati Sienna. Dan sebelum lelaki itu kembali ke negaranya, Sienna harus sudah lenyap tanpa nyawa. Dan tinggal nama.
***
Diego meminta Milly datang ke ruang kerjanya setiba di mansion. Dalam suasana hening, sepasang suami-istri itu duduk saling berhadapan dengan Diego duduk di kursi kebesaran. Lelaki itu menatap sang istri tak berkedip dan serius.
Sementara Milly yang mendapatkan tatapan seperti itu merasakan hawa tak enak. Dalam hati menerka-nerka apa tujuan Diego memanggilnya. Sebab, tidak biasanya lelaki berahang tegas itu memanggil dirinya ke ruang kerja. Tampak formal, seolah dirinya adalah rekan kerja. Bahkan, lelaki itu masih menggunakan pakaian kerja. Namun, jas hitamnya sudah terlepas dan tersampir di punggung kursi kebesarannya.
"Diego, kau membuatku salah tingkah dengan tatapanmu yang seperti itu." Meskipun agak gugup, tetapi Milly berusaha bersikap biasa. Ia dan Diego seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu. Sekat di antara keduanya terasa semakin tebal.
"Kau juga pulang tengah malam sekali, membuatku khawatir memikirkan keadaanmu, Sayang." Milly mencoba melemparkan perhatiannya seperti dulu. Berharap, bisa menyentuh perasaan lelaki itu dan mengajaknya kembali tidur sekamar.
Diego menautkan kedua alis. Mengkhawatirkan dirinya? Mendengar itu, ia menyimpan senyum dalam hati. Bukankah Milly suka bepergian sampai lupa waktu, juga sering tidak pulang? Bulshit jika perempuan itu mengkhawatirkan dirinya.
"Aku ada urusan. Dan ... aku ada sesuatu untukmu." Suara Diego yang berat dan santai, membuat Milly semakin penasaran.
"Apa itu?"
Tidak langsung dijawab oleh Diego. Lelaki itu justru sibuk membuka tas kerja yang tergeletak di atas meja depannya. Milly tidak mengeluarkan suara sembari menunggu dan memerhatikan gerak tangan Diego. Tidak lama, lelaki itu mengambil map cokelat, kemudian menyingkirkan tasnya ke lantai. Kening Milly semakin melipat melihat map itu disodorkan ke hadapan dirinya.
"Apa ini?" tanya Milly lagi bertambah penasaran. Ia meraih map tersebut.
"Surat cerai."
Milly langsung mengangkat kepala, tercengang tak percaya mendengar jawaban Diego. "Surat cerai?" tanyanya lirih, suara terdengar bergetar. "Di ... aku ... aku minta maaf sudah membuatmu marah kepadaku. Tapi, bisakah kita memperbaiki hubungan kita lagi seperti dulu? Aku masih mencintaimu, dan sebaliknya kau pun masih mencintaiku, bukan?" Ia menjeda ucapannya sejenak. "Kenapa harus cerai, Diego? Aku tidak ingin cerai darimu," lanjutnya sedih, matanya berkaca-kaca.
"Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan kita lagi, Milly. Keputusan ini sudah matang kupikirkan. Kita cerai. Silakan tanda tangani surat itu," tegas Diego seraya menyodorkan bolpoin kepada Milly, dan mendapat gelengan keras dari perempuan itu.
"Karena Sienna alasan kau ingin menceraikanku, hah? Kau bilang, kau mencintaiku, Diego. Kau bilang, perasaanmu kepadaku masih sama seperti dulu. Kau sendiri yang mengatakan itu padaku sebelum kita menikah, dan kau sendiri yang mengkhianati istrimu untuk menikahiku. Tapi, kenapa sekarang kau berubah secepat ini?"
"Jangan menyalahkan Sienna. Ini tidak ada hubungannya dengan dia. Ini urusan kita berdua. Ini keputusanku sendiri."
"Ini memang salah perempuan itu! Dia yang merecoki rumah tangga kita. Dia yang mempengaruhi otakmu agar membenciku dan menceraikanku. Dia bahkan berniat merebutmu dariku. Dan kau, Diego. Seharusnya kau sadar kalau ada aku di sini, istrimu!"
"Tidak beda jauh dengan posisimu waktu merebutku dari Morgan. Kalau kau bisa menilai Sienna seperti itu, secara tidak sadar kau juga sedang menilai dirimu sendiri. Kalau aku bisa setega itu menyakiti Morgan, berarti aku bisa melakukan hal yang sama dengan siapa pun."
"Morgan yang mengambilmu dariku! Bukan aku! Dan kau sadar itu! Coba kutanya? Kenapa kau tetap kekeh ingin menikahiku, walaupun kau sudah memiliki istri?" Milly terdiam sesaat sembari menatap nanar Diego. Tidak menunggu jawaban dari lelaki itu, ia berkata lagi, "Itu karena kau mencintaiku, Diego. Kita masih saling mencintai! Kau sering mengatakan itu padaku sebelum kedatangan Sienna di antara kita." Ia meluruhkan air matanya, mengalir bebas di wajah.
"Sekarang aku sadar telah mengambil keputusan salah untuk menikahimu. Aku menyesali perbuatanku dan sanksi terhadap anakku. Kau tidak bisa menjadi ibu dari anakku. Kau hanya mencintai dirimu sendiri, tidak bisa mencintai anakku. Sudah cukup aku menilai sikap dan sifat luar-dalammu yang sebenarnya. Untuk menebus rasa penyesalanku terhadap Morgan, kita cerai. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini lagi."
Luruhan air mata Milly semakin deras dengan ia melemparkan tatapan sengit kepada lelaki di depannya. Dada mencelus, sakit. Ia tentu tidak setuju atas perceraian sepihak dari Diego. Bagaimana pun juga ia akan mempertahankan pernikahannya. Tidak sudi jika harus menandatangani surat sialan di hadapannya.
"Aku. Tidak. Mau. Cerai. Darimu, Diego," ucap Milly penuh penekanan di setiap katanya.
Akan tetapi, Diego tampak tak peduli. Lelaki itu menyandarkan punggung seraya menautkan jemarinya di atas meja.
"Aku beri waktu untukmu," kata lelaki itu serius. "Sampai esok hari surat itu belum juga ditandatangani, angkat kaki dari rumah ini tanpa membawa barang apa pun kecuali pakaian yang kau pakai. Atau ... menandatangani surat cerai itu dan kau masih mendapatkan uang sesuai yang tertera di sana serta satu mobil dariku."
"Sudah kutakan, sampai kapan pun aku tidak akan sudi menandatangani surat sialan ini! Aku tidak akan cerai darimu!" Milly tetap berkeras hati.
"Pikirkan lagi. Aku sudah memberimu dua opsi, jangan buat dirimu menyesal atas perpisahan kita yang sesungguhnya." Suara Diego terdengar serius dan tak terbantah. Lelaki itu tidak goyah oleh Milly yang terlihat begitu memelas. Ia tetap dalam tekatnya menceraikan sang istri.
"Sudah tidak ada lagi yang ingin kubicarakan. Silakan keluar dari ruang kerjaku." Diego mengedikkan dagu ke arah pintu, mengusir Milly seolah mengusir bawahannya.
Milly yang mendapat perlakuan seperti itu semakin naik pitam. Napas memburu membuat dada naik-turun. Ia menggebrak meja, melampiaskan rasa gemas dan kesal secara bersamaan. Beranjak sambil meraih map dengan cepat, lantas ia mengayunkan kaki keluar ruangan.
Milly membanting pintu sampai menimbulkan bunyi bedebum keras. Ia berjalan seperti orang kesurupan, rahangnya mengetat dengan sorot mata menajam dan bibir mengatup rapat. Sementara seluruh tubuh terasa gerah, darah berdesir cepat, diimbangi dengan degub jantung bertaluan dan napas memburu.
Bertemu dengan Sienna di lantai bawah sedang berjalan menuju tangga, ia langsung berlari, menghampiri perempuan itu dan melayangkan tamparan kencang.
Sienna terpelanting. Tercengang. Hari ini ia tidak membuat keributan kepada perempuan yang menampar dirinya seenak jidat. Ia berangkat kerja sangat pagi, pulang jam tujuh, bermain dengan Ken sebentar, lalu lanjut olahraga bersama George dan Javier. Jam dua belas malam ini ia bahkan baru selesai. Ia belum bertemu Milly.
"Bitch! Kau ...." Sienna menegakkan tubuh sambil menatap Milly. Ia memegangi pipinya yang nyeri dan panas. Kemudian, ia mendapatkan tamparan yang kedua kali di pipi berbeda. Tidak sampai di situ, Milly juga menjambaknya tanpa ampun.
"Kau puas sudah berhasil mempengaruhi Diego, hah?!" Milly menekankan ucapannya. Melihat para penjaga berdatangan, ia melemparkan tatapan tajam kepada mereka. "Berani mendekat, perempuan ini mati sekarang," ancamnya kepada mereka.
Tenaga Milly tidak seperti biasanya. Kali ini lebih kuat, Sienna merasakan itu. Bahkan cengkeraman dirambutnya membuat kepala terasa pusing. Namun, Milly salah jika ia akan mati di tangan perempuan itu sekarang juga. Ia baru saja belajar bela diri bersama dua bodyguardnya, yang melatih bagaimana cara menangkis dan melawan musuh.
"Kalian tenang saja. Aku tidak apa-apa," ucap Sienna di sela kesakitannya, melihat para penjaga gelisah. Ia belum memberontak dari Milly, masih bersikap tenang. Namun, ia juga sedang berpikir cara melumpuhkan perempuan itu.
"Kau tanya aku puas atau tidak bisa mempengaruhi Diego? Tentu sangat puas, Bitch! Kenapa? Sakit hati, hah?" Suara Sienna terdengar menantang. Ia tersenyum licik, tidak peduli dengan rasa sakit di kepalanya. Agak memutar tubuh menghadap Milly, ia langsung memukul bawah dagu perempuan itu sampai menimbulkan bunyi gigi baradu. Milly memekik, refleks melepaskan jambakannya.
Sienna langsung memutar tubuh, pindah posisi di belakang Milly dan menahan kedua tangan perempuan itu di belakang badan. "Aku sangat puas Diego lebih memilihku daripada dirimu. Aku sangat puas melihatmu hancur, sehancur-hancurnya, seperti yang dirasakan Morgan." Ia tertawa licik. Merasakan kulit perutnya tergesek sesuatu, pandangan turun ke bawah. Ada map cokelat yang tergenggam Milly.
"Tolong, ambilkan map ini. Cek dalamnya. Aku curiga itu kontrak kerja sama kelicikan dia dengan seseorang yang akan merugikanku atau bos kalian," perintah Sienna kepada para penjaga.
Salah satu menuruti, melangkah mendekat dan mengambilnya. Lantas, membuka dan membacanya. Ia memperlihatkan kepada Sienna. "Surat cerai, Nona."
Sienna terbahak seketika, kesenangan. Sementara Milly semakin emosi.
"Oh, God! Akhirnya, kekasihku sadar siapa yang harus dibuang!" Sienna mendorong Milly, membuatnya hampir terjerembab. Kemudian, ia berlari menaiki tangga ingin bertemu langsung dengan Diego.
***
Guys, mau tanya dong.
Sepanjang perjalanan cerita ini, kalian bingung gak sama alurnya?🤣🤣 Soalnya fokus konflik di sini bukan cuma satu sampai ke konflik klimaksnya.
Btw, aku kalem kan, mainnya? ~Sienna~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top