Part 21
Canggung, salah tingkah, itu yang dirasakan Sienna pagi ini ketika berpapasan dengan Diego di selasar lantai dua. Ciuman semalam masih membekas. Sensasinya, gelenyar yang ia rasakan, debaran jantung yang tak biasa, sangat mengganggu dirinya sampai detik ini. Ia berpikir, dirinya sudah gila karena lelaki yang masih memakai kimono tidur itu.
"Kau mau berangkat kerja?" Diego mengernyit, menatap Sienna dari atas sampai bawah. Adik iparnya sudah rapi dengan blazer kulit biru muda yang membalut dress putih berdada rendah. Ia sangat yakin, model dress itu bertali spaghetti. Jika blazer itu dilepas, bahu mulusnya akan menjadi santapan objek pandangan para lelaki. Astaga, peduli apa dirinya.
Sementara, Sienna mengangkat dagu, angkuh. "Pergi clubbing," jawabnya tak acuh.
"Masih jam tujuh, terlalu pagi berangkat kerja." Diego tentu paham jawaban Sienna yang asal-asalan. "Kau terlihat salah tingkah kepadaku. Apa karena ciuman semalam, huh?" Ia melangkah mendekati sang adik. Sebelah alis terangkat satu.
Sienna mundur, memberi jarak. Harus waspada sekarang. "Jangan ge-er. Ciumanmu sama sekali tidak membekas untukku. Berbeda dengan ciuman Maxime." Ia melemparkan tatapan menantang kepada Diego. Terlihat jelas, rahang lelaki itu mengetat. Tatapannya mendingin.
Sienna tidak memedulikan. Ia berjalan menyamping, melewati Diego. Kakinya yang beralaskan heels putih, melangkah cepat menuruni tangga. Ia sudah memasrahkan Ken kepada Marlin pagi tadi. Mendatangi kamar sang nanny dan meminta perempuan itu berpindah tidur ke kamar Ken, juga memintanya untuk memberi kabar kepada dirinya apa pun itu. Di mansion ada Milly, ia merasa sangat tidak aman untuk Ken. Namun, ia juga tidak bisa membawa keluar bocah itu berhubung bahaya sedang di mana-mana.
Sampai di teras, George dan Javier sudah menunggu dirinya. Alpard hitam telah disiapkan di sana. Sienna memasuki mobil dengan pintu belakang sudah dibukakan. Dua lelaki itu ikut masuk, duduk di jok depan. Javier yang mengemudi. Lantas, melajukan mobil dengan kecepatan rendah meninggalkan mansion. Memasuki jalanan beraspal, Javier menambah kecepatan laju.
"Sebelum sampai butik, sebaiknya kita sarapan dulu di restoran dekat sana."
George dan Javier menatap perempuan yang sedang menunduk dari cermin atasnya--sibuk dengan iPad.
"Baik, Nona," balas George, mengangguk, meskipun perempuan yang duduk di belakangnya tidak melihat.
Sienna sibuk melihat potret busana-busana yang telah selesai dijahit. Hari ini ia akan melakukan pengecekan langsung, sekaligus mendatangi Saviour Group, meminta bantuan kepada mereka merancang fashion show yang akan digelar.
Dalam perjalanan, suasana dalam mobil begitu hening. George dan Javier akan diam selama sang nona tidak melemparkan pertanyaan. Mobil memasuki jalan raya kota. Gedung-gedung terlihat aktif dengan orang-orangnya yang silih berganti berdatangan memasuki gedung-gedung tersebut. Kebanyakan dari mereka yang hidup di tengah kota, akan berjalan kaki maupun berkendara umum. Sudah turun temurun dari nenek moyang yang lebih suka berjalan kaki, dibanding mengendarai kendaraan pribadi.
Siang harinya, Sienna tampak begitu sibuk di butik. Ditemani Flora, ia dengan serius mengecek setiap busana yang telah terpajang di maneken. Mengecek kualitas jahitan; ia tidak ingin ada sedikit pun sisa benang jahitan serta kerapian benar-benar harus sempurna. Seperti; model busana harus sama dengan rancangannya. Juga, ketelitian dari pemasangan payetan tidak boleh melebihi batas dari garis yang telah disesuaikan. Ia ingin busana rancangannya sesuai dengan ekspektasinya, memiliki kuwalitas terbaik.
Di lantai dua, maneken-maneken itu berjajar rapi. Ia puas dengan kinerja para karyawannya yang tidak mengecewakan. Meskipun beberapa hari ini ia tidak datang ke butik, mereka tetap mengerjakannya dengan penuh hati.
"Kita memerlukan dua puluh lima model, Sienna. Sepatu yang digunakan juga harus menyesuaikan pakaian yang digunakan. Sepertinya, bekerja sama dengan Alexandra, ide bagus. Sepatu rancangannya memiliki model yang mendukung dengan busana rancanganmu." Flora memberi usul. Alexandra adalah perancang sepatu perempuan dengan model yang dikeluarkan selalu menjadi incaran.
"Bagaimana kalau fashion show ini, aku menggandeng sekalian perempuan itu? Jadi, aku memperkenalkan fashion busana keluaran terbaruku, pun dengan dia mengenalkan koleksi sepatu-sepatunya. Jika kami bergabung jadi satu, akan menambah power lebih."
"Yeah, akan lebih baik seperti itu. Jadi, kalian memiliki keuntungan masing-masing dalam fashion show ini."
"Oke. Setelah mendatangi Saviour Group, aku berpikir akan menemui perempuan itu sekalian. Berharap, dia menerima ajakanku, Flo." Sienna menatap Flora penuh harap, dan mendapat anggukan.
Setelah puas mengecek busana rancangannya, Sienna meninggalkan Flora menuju ruang kerjanya di lantai satu. Ia melihat ada beberapa pengunjung yang sedang dilayani oleh karyawannya. Eliz tetap setia berdiri di belakang kasir, lalu mengulas senyum melihat Sienna berjalan di depannya.
"Bagaimana penjualan hari-hari kemarin, Eliz?" tanya Sienna, berdiri di depan meja kasir.
"Cukup bagus. Ada beberapa yang chek out melalui toko online kita."
"Syukurlah. Semoga permasalahan yang sedang kualami tidak memengaruhi butik." Sienna mengembuskan napas berat sambil mengatupkan bibir rapat.
"Sien, kau masih hutang cerita padaku."
Tahu yang dimaksud, Sienna mengangguk. "Kalau sudah ada waktu, aku akan menceritakan kepadamu apa yang terjadi. Aku masuk ke ruang kerjaku dulu, Eliz. Mau bikin janji temu dengan Alexandra."
"Oke. Aku tunggu cerita darimu." Eliz menatap Sienna yang mengangguk sembari berlalu menuju ruang kerjanya.
***
"Kita sudah tidak memiliki stok barang. Tidak ada bahan lagi untuk membuat heroin dan cocaine. Ada beberapa costumer yang terus meminta dikirimi." Di gudang pembuatan narkotika, tempat yang sangat tertutup dan berlokasi di bawah tanah, Maxime memberi informasi kepada Eduardo yang baru datang.
Gudang yang biasanya aktif dan ramai oleh para pekerja pembuat barang terlarang itu, kini sepi. Tak ada aktivitas di dalamnya. Terdapat beberapa meja-meja besi; biasanya penuh dengan bubuk putih yang sedang diproduksi. Terdapat deretan rak etalase besi; biasanya penuh dengan bungkusan-bungkusan barang terlarang itu dan siap diedarkan. Namun, dari dua hari lalu, tempat itu kosong, hanya berisi barang-barang peralatan saja.
"Terpaksa kita harus mendatangi Alonso ke Maxico, Max." Eduardo tampak ragu. Alonso hampir mirip dengan Diego, orang yang keras. Tidak mudah bisa menjalin kerja sama dengan mereka. Selain itu, akomodasi dan penawaran harga yang tinggi, begitu memengaruhi minat Eduardo. Berbeda dengan Moreno yang mudah diajak kerja sama. Tapi, kendala kali ini adalah pengiriman senjata api yang diinginkan rekan kerjanya belum siap dari dirinya.
"Aku tidak yakin Alonso akan menerima kerja sama dengan kita. Bagi mereka, kita ini adalah saingan bisnis. Lagipula, hubungan Alonso dan Moreno tidak baik. Itu akan sangat memengaruhi kita, Ed. Bukannya mendapat barang, kita justru perang."
Eduardo tampak berpikir. Benar kata sang adik. Ia tidak memiliki power lebih andai Alonso justru menyerang kelompoknya karena kurang kepercayaan. Ia sudah kehilangan sepuluh anggotanya. Mereka gugur saat menyerang mansion Diego.
"Yang harus kita lakukan sekarang, gencarkan penyerangan ke Diego. Jika perlu langsung menuju ke pabrik senjata api. Tidak perlu pakai ancaman seperti kemarin," usul Matt.
Dari ambang pintu, lelaki itu melangkah mendekati kakak-beradik yang bersandar pada meja besi. Ruangan bawah tanah tampak remang meskipun siang. Lampu yang dinyalakan hanya dua, sementara lainnya dipadamkan. "Kita kumpulkan preman pinggiran untuk bergabung dengan kita. Koleksi senjata tajam milik kita masih cukup memadai. Masih ada stok lumayan," imbuhnya lagi.
"Aku setuju. Lebih baik seperti itu." Eduardo mengangguk mantap. "Kita gerak sekarang," ucapnya lagi. Merasakan ponsel dalam saku jaket bergetar, ia mengambilnya. Nama anak buahnya yang mengikuti Sienna menghubungi. Lantas, ia segera menjauh dari Maxime dan menyambungkan telepon.
"Perempuan itu datang ke butik hari ini. Sekarang aku sedang mengikutinya lagi. Dia baru saja keluar dari butik, ada dua bodyguard yang menjaganya."
"Bagus. Culik dia," perintah Eduardo dengan seringaian mengembang di bibir. Masalah Sienna, itu urusan dirinya dan Milly. Tanpa sepengetahuan Maxime.
"Baik, Bos."
Sambungan telepon pun terputus. Eduardo berganti menguhubungi Milly. Ia menunggu sejenak, untuk dapat mendengar suara perempuan itu.
"Hallo, Ed."
"Hallo, Mil. Sekarang waktunya dirimu beraksi. Perempuan itu tidak ada di mansion, bukan?"
"Penjagaan di sini semakin ketat. Aku belum bisa beraksi, Ed."
"Dengar, kau harus melakukan itu. Kita sama-sama akan mendapatkan keuntungan besar."
"Iya, aku tahu itu."
"Aku tunggu kabar baik darimu."
"Oke, oke."
Eduardo memutuskan sambungan telepon. Ia terdiam sesaat di tempatnya, lalu kembali ke tempat semula bergabung dengan Maxime dan Matthew.
***
Door!
Mendengar suara tembakan mengenai mobilnya, Sienna menjerit histeris. "Ada apa ini?!"
"Nona, bersembunyi! Berlindung!" seru George. Ia dengan sigap mengeluarkan pistol yang diselipkan di ikat pinggang belakang. Pandangan awas ke luar mobil. Dari kaca spion, dua mobil mengikuti mobilnya. Mereka berkendara cukup cepat. Javier yang mengemudi pun menambah kecepatan.
Dua mobil di belakang terus menyerbu tembakan. George sesekali mengeluarkan kepala dan tangan dari jendela untuk menembak balik. Di jalanan yang sepi dari lalu lalang mobil, baku tembak semakin brutal. Sienna bersembunyi di bawah jok, berjongkok, tubuh bergetar ketakutan.
Dua mobil itu berhasil memepet mobil yang ditumpangi Sienna. Javier dan George tampak khawatir sembari menyerbu tembakan tanpa henti. Sementara itu, Sienna berinisiatif menghubungi Diego. Dengan tangan bergetar, jantung berdentuman tak keruan, ia mencari kontak Diego, lantas menghubungi. Sialnya, berulang kali ia menghubungi, lelaki itu tetap tidak mengangkatnya.
"Angkat, Diego," desahnya, gelisah. Ia tidak pantang menyerah. Terus mencoba menghubungi.
"Damn it! Angkat, Diego!" seru Sienna. Ia merasakan mobil agak oleng. Tanpa berpikir panjang, ia mengirim pesan suara kepada lelaki itu.
"Nona, ambil pistol di box belakang. Cepat! Anda harus menggunakannya." George berseru. Ia berhasil menembak ban mobil yang melaju di sebelahnya.
"Aku tidak bisa menggunakan barang itu, George!"
"Lakukan saja, Nona. Untuk perlindungan Anda. Kita harus bersembunyi sementara." Javier ikut menginstruksi. Ia menambah laju kecepatan mobilnya, setelah memepet mobil di sebelahnya. Dua mobil yang menyerang dirinya tertinggal jauh. Kemudian, ia memasuki area gedung bertingkat dan terbengkalai di kiri jalan. Tidak memedulikan itu tempat apa. Terpenting bagi dirinya, ia harus mejaga dan menyelamatkan sang nona.
Javier menyembunyikan mobil jauh dari jalanan, di belakang batu bata yang sudah lumutan. Sekitar gedung itu dipenuhi rumput liar dan ilalang tinggi, cukup memadai untuk bersembunyi.
"Kita harus keluar dari mobil, Nona. Bersembunyi di dalam gedung. Tetap bawa pistol Anda." George keluar dengan hati-hati, pun dengan Sienna dan Javier.
Ketiganya mengendap memasuki gedung terbengkalai itu, lalu menaiki tangga berlari cepat. Dari bentuknya, gedung itu sudah lama berhenti pembangunan.
"Bagaimana kalau mereka tahu kita bersembunyi di sini?" tanya Sienna.
Javier menanggapi. "Setidaknya kami bisa melawan mereka secara fisik, Nona."
Mereka terus berlari sampai di lantai paling atas, lantai lima. Dari sana, George dan Javier bisa mengintai keadaan bawah.
***
Maaf, baru bisa update lagi, ya.😂😂 Kemarin-kemarin sibuk soalnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top