Part 20
"Sien--."
"Iya, Sayang." Sienna memotong cepat ucapan Diego. Lantas, memekik saat mendapat jambakan dari Milly. "Iiish! Beraninya kau menjambakku lagi. Belum puas dengan hukuman yang kuberi tadi? Atau sekarang mau aku botakin kepalamu, hah?!" Ia berdecak. Melirik sinis Milly sembari mengusap-usap kepala bekas jambakan.
"Nene Tihil, tida boyeh natal ama Mommy Tien." Ken memberengut. Bersedekap sambil menatap Milly, sengit. "Daddy, nanti Ken mau embak Nene tihil." Ia beralih memandang Diego. Ucapannya berhasil membuat Federic tersedak air liurnya sendiri, terbahak tanpa disengaja.
"Maaf, Tuan." Sadar telah lancang, Federic berhenti tertawa. Tetapi, masih ingin tertawa sehingga ia menggunakan salah satu tangannya untuk membekap mulut.
"Mil, duduk sebelah Sienna dan jangan ada keributan lagi. Waktunya makan."
"Tapi, aku mau duduk di sini, Diego."
"Menurut atau tidak usah ikut makan malam," ucap Diego tegas, tak terbantah.
Milly mengentakkan kaki dengan kedua tangan mengepal. Sementara Sienna menjulurkan lidah kepada perempuan yang duduk di sebelahnya.
"See! Diego akan membelaku. Ibarat bunga segar, aku memiliki madu yang enak untuk dinikmati kumbang jantan. Sedangkan dirimu, bunga busuk yang tidak memiliki madu dan sudah waktunya dicampakkan. Poor, Milly Bitch." Sienna berucap lirih, terdengar sombong. Ia menatap remeh Milly, dan mendapat tatapan tajam dari perempuan itu.
"Kau mengajakku perang, Sienna Bitch! Kita lihat siapa yang akan bertahan hidup di dunia ini," ucap Milly penuh penekanan, tak ingin kalah.
"Dan aku tidak akan pernah takut dengan dirimu. Berdirinya aku di sini untuk kakakku. Dia sakit karenamu. Dia meninggal karenamu. Dan kau ... akan merasakan hal yang sama di tanganku." Sienna menyipitkan mata, bibir mengatup rapat. Ia dan Milly saling melemparkan tatapan permusuhan, tak luput dari pandangan Federic.
Lelaki itu sudah bisa menyimpulkan sendiri soal Sienna. Tak perlu penjelasan dari Diego, ia tahu Sienna memiliki kedudukan penting di mansion megah sang bos. Mungkin, juga benar jika perempuan itu kekasih Diego yang baru, dilihat dari Ken dekat dengannya dan memanggilnya Mommy.
'Tapi, secepat itukah? Istri pertama belum lama meninggal. Baru juga menikah. Tapi, sekarang sudah ada yang baru lagi?' batin Federic bingung sendiri. Masih tak masuk akal rasanya. 'Tapi, apa sih, yang tidak mungkin untuk Diego? Dia lelaki tampan, mapan, trillionaire. Mencari istri lebih dari satu dalam waktu singkat, tentu sangat mudah. Tinggal menjentikkan jari langsung terkabul detik itu juga,' imbuhnya lagi.
"Ken mau ama Mommy, Daddy."
Pikiran Federic membuyar mendengar suara Ken. Pandangannya beralih ke Ken yang turun dari pangkuan Diego dan berlari ke arah Sienna. Dengan cepat bocah itu duduk di pangkuan perempuan bergaun bunga-bunga tali spaghetti. Bahunya tampak putih, mulus, tak ada noda sedikit pun di sana. Bahkan, tak ada bekas belang sengatan matahari di lengan. Kulitnya terlihat sehat, mungkin juga kenyal seperti jelly. Rambutnya yang berikal bawah digerai bebas.
Federic masih betah memerhatikan Sienna yang sedang berbicara sesuatu kepada Ken sambil mengembangkan senyum. Jika dilihat-lihat memang cantik dan lebih cantik dari Milly. Aura wajahnya terlihat segar dan menawan. Pantas saja bosnya sangat cepat pindah haluan. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, Sienna persis Morgan jika sedang tersenyum.
"Jaga pandanganmu, Fed," tegur Diego, menyadari Federic sedang mengagumi Sienna. Ia menatap dingin sang sekretaris sembari mengunyah makanannya yang baru di santap.
"Ah, iya. Maaf, Tuan." Federic merasa salah tingkah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil menyengir. Lalu, mengambil hidangan makan malamnya.
Makan malam berlangsung tenang meskipun setiap orang merasakan ketidaknikmatan, kecuali Sienna dan Ken yang terlihat begitu menikmati. Keduanya saling bertukar cerita dengan Sienna menyuapi Ken sembari makan untuk dirinya sendiri.
Dalam diam, Diego memerhatikan keduanya. Terkadang menatap Milly yang menampilkan wajah muram. Dan berakhir menatap Federic.
"Selesai makan, kita perlu meeting, Federic," ucap Diego. Ia meraih gelas berisi air mineral, meneguknya sekali.
"Baik, Tuan." Federic mengangkat kepala, menatap Diego, mengangguk mengiyakan.
"Ken mau tidul ama, Daddy." Bocah itu menyahut, seakan tahu ayahnya akan pergi meninggalkan.
"Nanti Daddy tidur di kamarmu, okay. Daddy ada pekerjaan dengan Uncle Fed. Kau tidur dulu dengan Mommy."
"Ote, Daddy." Ken manggut-manggut. "Tida boyeh ama, ya," ucapnya lagi sambil menatap Diego, memelas.
"Iya, Sayang." Diego mengangguk, mengulas senyum.
"Pasti kau yang mengajarinya, kan? Kau yang meminta bocah itu agar Diego tidur di kamarnya. Dasar jalang. Licik sekali caramu agar bisa tidur dengan Diego." Milly berkata lirih, seperti berbisik. Sienna langsung menoleh menatapnya.
"Ngiri? Uups! Pisah ranjang, kan, sekarang? Kasihaaan. Kurang belaian, dong." Sienna terkekeh sinis. "Ah, iya. Kau, kan, wanita murahan. Pasti sana-sini mau lah, ya. Enggak ada Diego pun masih bisa main sama lelaki lain."
Mendengarnya, Milly membanting garpu dan sendok ke piring. Ia mengetatkan rahang, menatap tajam Sienna. Sementara dirinya sudah menjadi bahan perhatian Diego dan Federic.
"Tuan, apa mereka tidak bahaya tinggal satu rumah? Dari tadi aku perhatikan, mereka saling bermusuhan," tanya Federic lirih tanpa menatap Diego, karena pandangan masih fokus kepada Milly.
"Tidak."
"Anda yakin? Saya khawatir ada perang besar di mansion ini."
"Bahkan, sudah dari jauh hari keduanya perang. Dan kemarin malam justru ada perang sungguhan." Diego menyangga dagu, masih memerhatikan Milly dan Sienna. Ia sengaja membiarkan keduanya saling adu tatap.
"Sayang, kita sudah selesai makannya. Kita ke kamar sekarang, yuk! Lanjut telepon Uncle Max lagi gimana? Dia masih kangen sama kita katanya." Sienna sengaja mengucapkan itu untuk alasan. Dan lihat, kali ini Diego yang menatapnya dingin. Sorot matanya seolah mengatakan, 'awas kau berani menelepon Maxime.' Namun, ia tidak peduli. Justru tersenyum penuh kemenangan kepada Milly dan Diego.
Federic sendiri dibuat penasaran lagi. 'Maxime, siapa lagi lelaki itu? Bukankah Diego kekasihnya? Tapi, kenapa perempuan itu dengan beraninya menyebut nama lelaki lain di hadapan Diego? Aiiih! Pusing sendiri aku sama perempuan satu itu.'
***
Diego dan Federic berada di ruang kerja sudah tiga jam setelah selesai makan malam. Keduanya melakukan zoom meeting bersama para petinggi perusahaan dan pabrik untuk mengecek kondisi serta keadaan di sana. Masing-masing memberi kabar jika semua masih aman dan terkendali. Tidak ada masalah, kecuali peningkatan produksi pangan yang harus diekspor ke berbagai negara.
Diego bersyukur untuk itu. Eduardo tidak membabi buta menyerang dirinya, tapi tetap saja sangat mengkhawatirkan.
"Apa kau yakin mereka akan tertangkap DEA dengan cepat?"
Federic yang duduk di sofa single, mengangguk mantap. "Saya yakin mereka akan bekerja keras untuk menangkap Eduardo dan kelompoknya, Tuan."
"Aku khawatir mereka akan kembali ke sini lagi untuk menyerang. Oke, kalau hanya ada aku. Aku tidak peduli dengan diriku sendiri. Tapi, ada anakku yang masih kecil. Untung kemarin malam ada Sienna yang melindunginya."
Mendengar nama Sienna disebut, penasaran Federic kembali muncul. "Tuan, kalau boleh tahu, perempuan itu siapa? Wajahnya mirip dengan mendiang istri Anda."
"Adik Morgan."
"Ah, pantas saja sangat mirip. Tapi, kenapa dia mengaku-ngaku kekasih Anda? Apa benar, dia kekasih Anda?" Federic menatap Diego serius. Sementara yang ditatap melemparkan tatapan curiga.
"Kenapa kau jadi ingin tahu urusan pribadiku?"
Federic menyengir. "Tidak, Tuan. Hanya penasaran saja."
"Dia bukan kekasihku. Memang suka berkata seperti itu di depan Milly untuk memanasinya."
"Berarti dia masih single, dong." Federic berkata ceria. "Asyiik! Masih punya kesempatan mendekatinya."
"Berani kau mendekatinya? Aku tidak mengizinkan."
Federic terdiam seketika. Senyum menghilang dari bibirnya. Dibuat bingung lagi dengan tingkah sang bos.
"Berani kau mendekati Sienna, hancur tubuhmu menjadi beberapa bagian. Atau ... kepalamu pecah dengan timah panas dan aku yang menembakmu langsung, Fed."
Federic bergidik. Diego terkenal tegas, tegaan, dan kejam kepada orang yang tidak disukai. Apalagi yang berbuat salah kepadanya. Bisa-bisa dirinya akan bernasib sama seperti para musuhnya yang berakhir kehilangan nyawa.
"Keep calm, Tuan. Kalau kau sudah berucap seperti itu, aku mundur. Angkat tangan." Federic mengangkat kedua tangannya di kanan-kiri kepala, tanda menyerah. Ia masih sayang diri sendiri dan masih ingin hidup lebih lama lagi. Ia tidak akan menyiakan waktu untuk mengejar perempuan yang susah digapai. Terlebih lagi perempuan itu memiliki ipar posesif. Belum sampai ia membawa ke pelaminan, nyawa dirinya bakal melayang lebih awal. Dan itu terlihat mengerikan.
"Bagus. Jangan coba-coba mendekatinya." Diego beranjak dari sofa, meninggalkan Federic di ruang kerjanya menuju kamar Ken.
Sampainya di sana, ia terlambat karena sang anak sudah terlelap. Sementara, Sienna masih berbincang dengan seseorang melalui ponsel. Suara lelaki, sudah bisa ditebak jika itu Maxime.
Langkah Diego semakin dekat mengarah ke Sienna yang berbaring. Perempuan itu masih masa bodoh. Namun, ia menggeram seketika saat ponsel dalam genggaman langsung berpindah tangan ke Diego. Lelaki itu memutuskan sambungan telepon dan menyimpan ponselnya ke saku celana depan.
"Kembaliin, Diego." Sienna menekankan suaranya. Ia beranjak berdiri, berusaha mengambil ponselnya dari saku celana Diego. Namun, kedua tangan ditahan lelaki itu, mempersulit dirinya bergerak.
"Sudah kubilang, Maxime bukan pria baik untukmu. Berhenti mendekatiya dan jauhkan Ken darinya."
"Tahu apa dirimu tentang dia, hah? Dia bukan dirimu. Berkacalah kalau dirimu yang bukan pria baik-baik."
"Aku mungkin memiliki kesalahan besar dalam hidupmu. Tapi, aku memiliki kepedulian besar dalam hal apa pun, termasuk melindungimu dan Ken. Mau bilang aku telat berbuat seperti itu kepada Morgan? Ya, aku mengakui itu karena kebodohanku, Sienna. Semua sudah berlalu. Mau aku menyesal sampai tubuhku kurus kering pun, tetap tidak akan bisa mengembalikan Morgan ke dunia ini." Diego masih menahan kedua tangan Sienna, dan saling beradu tatap.
"Tapi, kau tidak berhak ikut campur urusan pribadiku. Apalagi asmaraku."
"Kenapa tidak berhak? Aku kekasihmu bukan? Seperti yang kau bilang tadi." Diego tersenyum licik melihat Sienna membisu. Ia akan mengikuti permainan perempuan itu. Hati pun dibuat meradang sedari tadi mendengar Sienna menyebutkan nama Maxime. Belum lagi sekretarisnya yang diam-diam mengagumi Sienna secara terang-terangan.
Cemburu? Benarkah seperti itu perasaan yang sedang dialaminya sekarang? Satu hal yang pasti, ia tidak suka Sienna dekat dengan lelaki lain.
"Aku tidak bersungguh-sungguh mengucapkannya." Sienna melototkan mata.
"Aku tidak peduli."
"Ada apa dengan dirimu?" tanya Sienna, mendengar suara Diego semakin dingin.
"Masih bertanya? Jangan. Pernah. Dekati. Maxime, Sienna," ucap Diego penuh penekanan di setiap kata.
"Ka---."
Diego menarik Sienna ke dekapannya, langsung membungkam mulut perempuan itu. Memagutnya rakus, tidak memberi celah melepaskan.
"Di---."
Diego semakin memperdalam ciumannya. Tidak peduli Sienna memukuli dirinya. Merasakan dada sesak kekurangan oksigen, ia melepaskan ciumannya.
"Aku bisa berbuat lebih dari ini kalau kau masih berhubungan dengan Maxime," peringat Diego. Sienna masih didekap erat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top